Peran Ombudsman Mencegah Praktik Korupsi dalam Pelayanan Publik
Jejak korupsi di Indonesia sudah terjadi sejak zaman kerajaan. Pungutan yang dibebankan kepada rakyat yang paling umum berupa upeti dan pajak. Berbagai lembaga dan juga peraturan untuk memberantas korupsi juga sudah diupayakan, mulai dari pembentukan Panitia Retooling Aparatur negara (PARAN) pada tahun 1957 yang bertugas untuk memastikan transparansi pejabat pada saat itu hingga pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002 yang bertugas untuk memberantas korupsi hingga saat ini. Namun, tindak pidana korupsi masih kerap terjadi. Lantas bagaimana peran ombudsman sebagai lembaga pengawas penyelenggaraan publik dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih?
Menurut Robert Klitgaardt dalamJournal of Creativity Student (2022), korupsi adalah tindakan menyimpang dari jabatan untuk mendapatkan keuntungan berupa status atau uang. Perbuatan tersebut melanggar nilai moralitas dan hukum, serta merupakan kejahatan kerah putih atau white collar crime. Zainal Abidin dalam Jurnal Hukum Non Diskriminatif (2024) mengelompokkan jenis korupsi menjadi dua berdasarkan kelas pelaku dan besaran nominal yang dikorupsi. Yang pertama, Bureaucratic Corruption atau korupsi yang dilakukan oleh para birokrat dan pegawai. Bentuknya berupa pungutan liar, gratifikasi dan suap-menyuap yang biasanya dilakukan untuk mempermudah atau mempercepat pelayanan publik atau birokrasi. Besaran yang dikorupsi dari masyarakat juga relatif kecil atau disebut sebagai petty corruption. Jenis korupsi inilah yang menjadi fokus pengawasan Ombudsman. Kemudian jenis yang kedua adalah Political Corruptionatau korupsi yang dilakukan oleh para politisi di parlemen, pejabat tinggi di pemerintahan, serta penegak hukum baik yang berada di dalam atau di luar pengadilan. Korupsi jenis ini dilakukan oleh orang yang memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat. Besaran yang dikorupsi juga mencapai jumlah yang fantastis dan berdampak pada masyarakat luas.
Ombudsman sebagai lembaga pengawas penyelenggaraan pelayanan publik memiliki tujuan untuk mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sesuai dengan yang tertera pada pasal 4 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008. Adanya maladministrasi dalam pelayanan publik menjadi salah satu penyebab terjadinya korupsi. Oleh karena itu, Ombudsman memiliki peranan yang penting dalam memastikan akuntabilitas, transparansi, dan daya tanggap pemerintah pada pelayanan publik untuk mencegah terjadinya maladministrasi yang dapat mengakibatkan terjadinya korupsi.
Maladministrasi Pintu Utama Terjadinya Korupsi
Maladministrasi merupakan tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara negara maupun pemerintah dengan melawan hukum atau penggunaan wewenang yang tidak semestinya sehingga menimbulkan kerugian secara materiil maupun immateriil bagi individu maupun masyarakat. Praktik maladministrasi menjadi salah satu pemicu terjadinya praktik korupsi. Bentuk tindakan korupsi telah dijelaskan pada 13 pasal di UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001. Terdapat 30 bentuk tindakan korupsi yang kemudian diklasifikasikan kembali menjadi 7 yaitu tindakan yang menimbulkan kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.
Dalam konteks pelayanan publik komponen utama penyebab korupsi adalah maladministrasi. Bentuk korupsi yang kerap terjadi dalam pelayanan publik adalah adanya permintaan atau penerimaan imbalan dalam bentuk uang, jasa, maupun barang atas layanan yang diberikan terhadap pengguna layanan. Hal ini biasanya terjadi lantaran adanya maladministrasi berupa penundaan berlarut maupun penyimpangan prosedur dalam layanan administratif yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan masyarakat sebagai pengguna layanan ingin mendapatkan penyelesaian dengan segera. Sehingga sebagian masyarakat memilih jalan pintas untuk mengeluarkan dana percepatan dalam mengurus kebutuhan tersebut. Praktik seperti ini adalah salah satu bentuk tindak pidana korupsi berupa suap menyuap karena dilakukan kepada penyelenggara negara dengan maksud agar urusannya dipercepat dengan menyalahi prosedur yang berlaku. Oleh karena itu, dalam pelayanan publik dibutuhkan transparansi dan akuntabilitas untuk mencegah adanya penyalahgunaan wewenang, gratifikasi dan suap menyuap.
Selain permintaan atau penerimaan imbalan, seringkali penyelenggara pelayanan publik dihadapkan dengan konflik kepentingan yang mengancam integritas sehingga memicu terjadinya korupsi. Oleh karena itu, penyelenggara pelayanan publik harus mengimpelementasikan kode etik dan standar perilaku dalam bekerja. Selain itu perlu untuk menguatkan pengawasan dan kontrol baik pengawasan secara internal maupun eksternal. Pengawasan secara internal dapat dilakukan oleh atasan penyelenggara pelayanan publik secara langsung maupun pengawas fungsional. Sedangkan pengawas eksternal dapat dilakukan oleh masyarakat, ombudsman dan juga DPR maupun DPRD.
Peran Ombudsman Dalam Menciptakan Tata Kelola Pemerintahan Yang Bersih
Peran Ombudsman dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih sangat bergantung pada kewenangan konstitusional atau kekuatan undang-undang yang mengikatnya, selain itu tingkat independensi Ombudsman juga berpengaruh terhadap kinerja pengawasan dan kepercayaan masyarakat terhadap Ombudsman. Semakin otonom dan kuatnya kekuatan hukum ombudsman, maka semakin besar peluang Ombudsman untuk mencapai tujuan dalam mengawasi pemerintah dan melindungi hak-hak warga negara. Dan semakin kuatnya kesadaran masyarakat terhadap keadilan dan hukum juga akan berpengaruh terhadap efektivitas kinerja Ombudsman.
Menurut Penulis, beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh Ombudsman dalam mewujudkan pemerintah yang bersih diantaranya; 1) Mendeteksi potensi maladministrasi yang dapat memicu terjadinya korupsi 2) Menerima dan menindaklanjuti laporan terkait dugaan maladministrasi 3) Mencegah maladministrasi dengan memperbaiki sistem administrasi agar lebih transparan dan akuntabel 4) Memberikan saran perbaikan, tindakan korektif, rekomendasi maupun solusi terkait permasalahan pelayanan publik 5) Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terkait dugaan maladministrasi dan melakukan tinjauan sistemik agar tidak terjadi maladministrasi berulang dikemudian hari.
Korupsi merupakan akar permasalahan yang sangat dalam dan menjadi hambatan terbesar dalam pembangunan suatu negara. Untuk menciptakan tata kelola pemerintah yang bersih diperlukan upaya yang terkonsentrasi dan terpadu dari seluruh pihak. Kehadiran Ombudsman menjadi salah satu elemen penting dalam membangun sistem pelayanan publik yang bebas dari korupsi. Sinergi dengan masyarakat dan lembaga lain seperti KPK dan penegak hukum lainnya juga sangat diperlukan untuk memaksimalkan efektivitas peran ini.
Oleh : Leny Suviya Tantri
Calon Asisten Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung