Pelayanan Dukcapil dan Peran Ombudsman dalam Pemberantasan Maladministrasi

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) adalah ujung tombak pelayanan administrasi kependudukan yang setiap hari bersentuhan langsung dengan masyarakat. Namun, dalam praktiknya, masih ditemukan berbagai bentuk maladministrasi yang merugikan publik dan menghambat terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik. Masalah yang paling sering terjadi adalah penundaan pelayanan secara tidak wajar serta praktik pungutan liar yang menyimpang dari ketentuan resmi.
Kondisi ini bertentangan dengan prinsip pelayanan publik yang berkualitas, transparan, dan berintegritas, sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan tentang pelayanan publik.
Sejumlah kasus telah mencuat dalam beberapa tahun terakhir. Di Kabupaten Malang, seorang pegawai honorer Dispendukcapil menjadi tersangka pungutan liar pada 2024. Di Kota Jambi, ditemukan tiga modus pemalsuan KTP oleh oknum petugas: pencetakan di luar jam dinas, akses ilegal ke sistem pencetakan, serta penggunaan material KTP bekas. Di kota lain seperti Bitung dan wilayah perkotaan lainnya, masyarakat mengeluhkan praktik percaloan dan pungutan tidak resmi yang menyulitkan pengurusan dokumen kependudukan.
Fakta-fakta ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan internal serta belum optimalnya pelaksanaan reformasi birokrasi di bidang pelayanan publik.
Lambatnya pelayanan di Dukcapil tidak lepas dari faktor sistemik yang saling terkait. Keterbatasan SDM yang kompeten, minimnya sarana teknologi informasi, hingga prosedur birokrasi yang masih berbelit kerap menjadi kendala. Di samping itu, budaya kerja yang belum responsif dan masih mengandalkan sistem manual turut memperlambat proses pelayanan. Lemahnya pengawasan dan kurangnya sanksi tegas juga memberikan ruang bagi oknum untuk menyalahgunakan kewenangannya, termasuk dengan alasan mempercepat proses yang sejatinya gratis.
Padahal, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mewajibkan setiap penyelenggara memberikan pelayanan sesuai asas kepastian hukum, kesamaan hak, dan profesionalitas. Pasal 15 mengatur bahwa standar pelayanan harus mencakup prosedur, waktu penyelesaian, biaya, hingga sarana dan prasarana yang jelas dan terukur. Waktu penyelesaian layanan Dukcapil seharusnya maksimal tiga hari kerja, dengan jam pelayanan Senin-Kamis pukul 08.00-16.00 WIB dan Jumat pukul 08.00-16.30 WIB.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan menegaskan bahwa dokumen kependudukan diberikan secara cuma-cuma untuk dokumen pertama. Namun dalam praktik, pungutan tidak resmi masih kerap terjadi dan membebani masyarakat.
Dalam konteks ini, Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Kalimantan Tengah memiliki peran penting sebagai lembaga pengawas pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008. Ombudsman berwenang menerima laporan, melakukan investigasi, dan memberikan rekomendasi perbaikan terhadap instansi terkait. Pengawasan terhadap pelayanan Dukcapil dapat dilakukan secara preventif melalui compliance assessment maupun reaktif berdasarkan laporan masyarakat.
Rekomendasi Ombudsman bersifat mengikat secara moral dan administratif, dan menjadi instrumen efektif untuk mendorong perbaikan pelayanan serta memberantas maladministrasi di lingkungan pemerintah daerah.
Upaya pencegahan maladministrasi memerlukan langkah menyeluruh: mulai dari pembenahan sistem, penguatan pengawasan, hingga peningkatan kapasitas SDM secara berkelanjutan. Implementasi sistem pelayanan digital dan e-government dapat memangkas interaksi langsung yang rawan pungutan liar sekaligus mempercepat proses pelayanan. Keterbukaan informasi publik mengenai prosedur, persyaratan, dan tarif resmi melalui media daring juga akan meningkatkan transparansi.
Pengawasan internal yang kuat, dipadukan dengan pengawasan eksternal oleh Ombudsman, serta pemberian sanksi tegas terhadap pelanggaran akan menumbuhkan efek jera. Hal ini juga mendorong lahirnya budaya kerja yang bersih dan profesional.
Optimalisasi pelayanan Dukcapil tidak bisa dilakukan secara parsial. Dibutuhkan komitmen seluruh pemangku kepentingan, termasuk dukungan dari pimpinan daerah dalam bentuk kebijakan, alokasi anggaran, penyediaan teknologi, serta penegakan sanksi tanpa pandang bulu. Peran strategis Ombudsman Perwakilan Kalimantan Tengah dalam melakukan pengawasan, memberi rekomendasi, dan memantau implementasi perbaikan menjadi kunci dalam menciptakan pelayanan publik yang bersih, transparan, dan berkualitas.
Penulis: Bella Eka Saputri (Calon Asisten Perwakilan Ombudsman RI Kalimantan Tengah)