Ombudsman: Mengedepankan Pengaruh Melalui Instrumen Pencegahan

Sebagai insan Ombudsman, kita cenderung terjebak pada branding bahwa Ombudsman adalah lembaga negara yang memiliki tugas dan fungsi untuk menyelesaikan laporan masyarakat atas penyelenggaraan pelayanan publik. Sehingga hampir dominan energi dan sumber daya kelembagaan terfokus pada upaya untuk menyelesaikan laporan masyarakat tersebut. Bahkan tugas penyelesaian laporan dimaknai sebagai substansi dari tubuh Ombudsman itu sendiri. Padahal pada Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI secara eksplisit disebutkan "Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik...".
Pengawasan/mengawasi menurut Sondang P. Siagian adalah "proses pengamatan pada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan". Berdasarkan definisi tersebut, dapat dilihat bahwa fungsi pengawasan tidak hanya sebatas aduan masyarakat, namun banyak mekanisme lain yang mesti diterjemahkan secara menyeluruh dan utuh dari pasal ke pasal. Undang-Undang Ombudsman sendiri menjabarkan beberapa bentuk pengawasan seperti investigasi atas prakarsa sendiri, menjalin koordinasi dan kerja sama dengan lembaga lain serta melakukan upaya pencegahan maladministrasi lewat metode-metode yang ada.
"Kita tidak bisa terus-menerus menampung air dari waduk yang bocor lalu kita berpikir permasalahan itu telah selesai. Kita hanya bertumpu pada persoalan yang berulang, padahal kita diberi pilihan dengan mekanisme lain yang lebih solutif dan efektif, yakni menutup/menyumbat kebocoran itu".
Ombudsman RI diberikan kewenangan untuk mengawasi pelayanan publik dengan banyak metode pengawasan. Dan beriring dengan hal tersebut, dalam menjalankan tugas dan fungsinya Ombudsman RI memposisikan diri sebagai Lembaga pemberi pengaruh (magistrature of Influence), tentu jauh berbeda dengan Lembaga-lembaga lain yang melekat pada fungsi pengawasan dan biasanya juga melekat sanksi hukum (magistrature of sanction) sebagaimana lembaga peradilan dalam proses penyelesaian laporan masyarakat. Dalam mengimplementasikan itu, maka Langkah-langkah pencegahan dengan metode progresif dan partisipatif tentu harus mampu diterjemahkan dengan baik oleh insan Ombudsman itu sendiri dalam menjawab tantangan pelayanan publik kedepan yang semakin hari semakin kompleks.
Pada kesempatan kali ini penulis ingin mencontohkan satu di antara beberapa metode Ombudsman dalam melakukakan pengawasan. Yakni metode kajian kebijakan, output yang dihasilkan dari kajian kebijakan ini dapat memberikan efek yang lebih signifikan terhadap pelayanan publik di ruang pelaksanaannya. Selain itu, hasil dari kajian tersebut juga akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas, pola diskusi yang lebih berimbang dan menghasilkan kebijakan yang lebih matang.
Maka mengedepankan metode pendekatan persuasif dan inklusif lewat kajian kebijakan merupakan peran penting Ombudsman yang cukup efektif untuk menyelesaikan permasalahan maladministrasi ataupun sebagai detektor awal untuk mencegah potensi maladministrasi pada tingkatan kebijakan atau regulasi. Metode ini menyediakan ruang bagi Ombudsman untuk memberi pengaruh yang lebih luas, tidak hanya menyelesaikan permasalahan maladministrasi pada tingkat pelaksanaan namun juga melakukan langkah proaktif untuk mencegah terjadi maladministrasi dari akar kebijakan.
Lantas kenapa pencegahan potensi maladministrasi dari akar kebijakan ini penting? Pada tingkatan pemerintah daerah misalnya, pembaruan kebijakan melalui Peraturan Daerah cenderung minimal, hal ini pernah disampaikan oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah Era Presiden Joko Widodo, Soni Sumarsono menyatakan bahwa Kemendagri mencatat ada sekitar 30 ribu perda di Indonesia yang kemungkinan di dalamnya masih ada yang berpotensi bermasalah. Di antaranya adalah diakibatkan oleh terjadinya perubahan pada Peraturan Perundang-Undangan yang menjadi dasar atas Perda itu sendiri. Selain itu, masih kerap kita jumpai rendahnya kemauan (Political Will) dari aparatur yang berwenang untuk melakukan pembaruan terhadap regulasi yang sudah tidak relevan, bahkan ada yang sudah puluhan tahun tidak pernah dilakukan penyesuaian (red.Perubahan). Belum lagi soal rendahnya partisipasi masyarakat, kurang diperhatikannya kualitas produk regulasi, hingga lemahnya instrumen ukur atas potensi penghambat pelayanan publik yang terselip dalam sebuah kebijakan.
Beberapa contoh permasalahan regulasi di atas merupakan problem yang berpotensi memunculkan terjadinya maladministrasi yang luput dari perhatian kita. Mengutip tulisan Singgih Samsuri, Asisten Ombudsman RI dalam opininya yang berjudul Ombudsman: Lembaga Pemberi Pengaruh, yang dipublikasikan pada Senin (25/01/2021) di website Ombudsman RI, ia menegaskan "Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Ombudsman sama sekali tidak memiliki instrumen pengawasan yang menakutkan. Sebagai contoh, Ombudsman itu tidak memiliki borgol, tidak memiliki penjara, dan tidak memiliki senjata. Ombudsman hanya memiliki pengaruh yang sifatnya memberi kesadaran baik bagi masyarakat maupun penyelenggara pelayanan".
Dari pernyataan di atas dapat kita lihat bahwa instrumen pengawasan Ombudsman RI melalui penyelesaian laporan masyarakat masih cukup lemah (setidaknya untuk saat ini sebelum adanya revisi UU Ombudsman). Maka yang patut menjadi pembeda dan ruh kelembagaan adalah memberikan pengaruh melalui mekanisme pencegahan. Di antaranya adalah metode pengawasan melalui kajian kebijakan yang output/sarannya disampaikan kepada pemangku kebijakan.
Menutup, Ombudsman sebagai lembaga yang memberi pengaruh (magistrature of Influence) maka perwujudan metode-metode pengawasan ada baiknya lebih diperhatikan dan tidak kaku, agar manuver lembaga memiliki banyak opsi dan cita-cita reformasi sebagai dasar lahirnya lembaga ini dapat segera terwujud. Pola dan tolok ukur atas prestasi kinerja secara kelembagaan juga seharusnya tidak lagi terbatas pada seberapa banyak laporan masyarakat yang mampu diselesaikan. Melainkan juga seberapa luas Ombudsman mampu memberi pengaruh pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik.
Dovi Eka Wiranata, S.IP
Calon Asisten Ombudsman RI
Perwakilan Provinsi Kalimantan Barat