‘No Viral No Justice’, Kritik Terhadap Penerapan Standar Pelayanan
Fenomena 'no viral no justice' mencerminkan bahwa pelayanan publik dapat berjalan baik hanya apabila mendapat intervensi berupa atensi dari publik, hal ini mengindikasikan bahwa penerapan standar pelayanan yang seyogyanya dilaksanakan dalam penyelenggaraan pelayanan publik tidak sebagaimana mestinya.
Tak ubahnya seperti memperlihatkan praktik maladministrasi secara terang-terangan, berkaca pada kasus-kasus yang menyorot perhatian publik cenderung di antaranya merupakan pelayanan yang terindikasi berlarut-larut. Penundaan berlarut sebagai salah satu jenis maladministrasi merupakan bentuk pelanggaran terhadap baku mutu waktu yang seharusnya dipenuhi dalam pemberian layanan kepada masyarakat.
Daya dorong pelayanan prima yang terletak pada atensi, jelas jauh meninggalkan esensi pelayanan publik itu sendiri yang merupakan bentuk pelaksanaan kewajiban oleh instansi penyelenggara. Sekiranya, yang menjadi bahan bakar dalam menjalankan pelayanan yang berkualitas adalah komitmen penyelenggara terhadap pemenuhan standar pelayanan maka masyarakat tidak perlu menguras energi untuk menaruh persoalan yang dialami dalam pusaran perhatian khalayak ramai demi memperoleh tindak lanjut dari penyelenggara yang memang seharusnya sedari awal berhak diperoleh.
Standar pelayanan merupakan tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.
Ibarat sebuah tangga, ke-viral-an sesungguhnya merupakan kondisi yang melangkahi banyak anak tangga dalam kondisi ideal, sebab pada prinsipnya penyelenggaraan pelayanan publik secara sistematis telah ditata sedemikian melalui adanya kewajiban instansi penyelenggara untuk memenuhi dan menerapkan standar pelayanan, namun naasnya substansi hukum yang baik tidak dieksekusi dengan sama baiknya.
Step pertama, setiap instansi penyelenggara pelayanan publik seyogyanya menyusun standar pelayanan, salah satu di antaranya ialah standar 'Waktu Pelayanan' yang merupakan jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh proses dari suatu layanan, maka sepatutnya setiap jenis layanan memiliki jangka waktu berapa lama seharusnya layanan itu ditindak lanjuti dan memperoleh penyelesaian.
Dari 14 (empat belas) komponen standar pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, terdapat 6 (enam) komponen di antaranya merupakan kategori service delivery yang sifatnya wajib dipublikasikan agar diketahui oleh masyarakat. Ke enam komponen tersebut meliputi : persyaratan, jangka waktu, biaya/tarif, sistem mekanisme dan prosedur, produk layanan, dan penanganan pengaduan.
Step kedua yaitu penerapan standar pelayanan, hal yang cenderung dinafikan dalam tahapan ini ialah proses internalisasi di lingkup instansi penyelenggara itu sendiri, merupakan sebuah ironi dimana petugas/pelaksana di suatu instansi tidak mengetahui standar pelayanan yang berlaku pada instansinya tersebut, sehingga bagaimana mungkin publik memperoleh layanan yang sesuai tolak ukur dari pelaksana yang bahkan tidak mengetahui eksistensi tolak ukur itu sendiri, ibarat 'jauh panggang dari api'.
Idealnya dilakukan mekanisme kontrol terhadap komitmen dan konsistensi pelaksana dalam menerapkan standar pelayanan, salah satunya dengan pemberian punishment and reward terhadap petugas/pelaksana sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Pelayanan Publik.
Step ketiga ialah pengelolaan pengaduan, secara normatif pengaduan diatur eksplisit melalui Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanaan Publik, dimana setiap instansi pelayanan publik berkewajiban untuk menyediakan sarana pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten untuk mengelola pengaduan.
Sekiranya instansi pelayanan publik melaksanakan kewajiban ini, maka setiap bentuk keluhan masyarakat akan menemukan muaranya, apabila layanan yang diakses mulai menunjukkan gejala ketidaksesuaian dengan standar maka masyarakat dapat segera memanfaatkan sarana pengaduan ini untuk menyampaikan komplain. Dengan terakomodirnya keluhan masyarakat melalui mekanisme ini, maka tentu tidak perlu berbuntut panjang.
Step terakhir adalah pengawasan internal, baik yang dilakukan oleh atasan langsung maupun oleh struktur yang dibentuk untuk melakukan tugas pengawasan dalam internal penyelenggara misalnya inspektorat, siwas, itwasda, maupun struktur quality assurance lainnya. Dengan terlaksananya fungsi pengawasan internal secara berkala dan berkelanjutan, maka potensi maladministrasi pada instansi pelayanan publik dapat segera dideteksi dan ditangani sebelum kemudian merugikan pengguna layanan.
Menurut van Meter dan van Horn, implementasi yang berhasil seringkali membutuhkan mekanisme dan prosedur dimana pejabat (atasan) mendorong pelaksana (bawahan) bertindak secara konsisten pada aturan, mengingat para pejabat (atasan) dalam organisasi mempunyai pengaruh oleh posisi hierarkisnya (Budi Winarno : Kebijakan Publik, hal 162). Dengan pimpinan yang mampu memerankan posisi strategisnya tentu secara signifikan akan memengaruhi kinerja pelaksana.
Dengan menapaki tahapan demi tahapan di atas, diharapkan hak masyarakat atas pelayanan yang berkualitas dapat terpenuhi tanpa perlu mengerahkan effort yang lebih dari seharusnya. Oleh karena masyarakat berhak atas pelayanan publik yang berkualitas, wajar, dan adil tanpa harus berjuang melalui atensi publik.
oleh : ST Dwi Adiyah Pratiwi, SH.,MH.,MAP
Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Ombudsman RI Prov Sulsel