• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Menyoroti Pengelolaan Pengaduan Pemda
PERWAKILAN: KALIMANTAN SELATAN • Selasa, 16/05/2023 •
 
Benny Sanjaya, S.H., M.H., Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Ombudsman RI Provinsi Kalsel

Padahal sekadar hanya menyediakan kotak saran, sudah menganggap menyediakan pengelolaan pengaduan layanan publik. Ketika diminta untuk membuka isi kotak, cukup lama menunggu petugas mencari kuncinya karena lupa menaruh, kotak kayu usang tadi justru berisi uang kecil seolah dianggap kotak amal/sumbangan oleh masyarakat. Ada nomor kontak dipampang sebagai kanal informasi dan penerimaan kritik/saran, ketika dihubungi nomor tersebut sudah tidak aktif. Hal tersebut adalah beberapa kondisi sarana akses pengaduan yang penulis temukan, ketika melaksanakan Penilaian Penyelenggaraan Pelayanan Publik (P4) di salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan.

Pengelolaan pengaduan publik merupakan salah satu dari komponen P4 di tahun 2022, komponen lainnya adalah kompetensi pejabat dan petugas layanan, sarana prasarana pelayanan, dan pengawasan tindak lanjut laporan di Ombudsman RI. Dalam tulisan ini, penulis akan mengulas salah satu komponen P4, di sisi pengelolaan pengaduan publik.

Membuka kanal penerimaan pengaduan, berarti instansi/dinas pemberi layanan publik berani membuka diri, tidak anti kritik, siap untuk menerima masukan supaya berbenah dalam melayani bukan justru minta dilayani. Komitmen tadi menjadi timpang, apabila tidak diikuti dengan wujud konkret dalam pelaksanaannya. Cukup banyak ditemukan instansi/dinas yang tidak menyediakan sarana pengaduan layanan.

Di sisi aturan, mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 tentang Pelayanan Publik, penyelenggaraan pelayanan publik sekurang-kurangnya mesti memuat enam komponen, salah satunya pengelolaan pengaduan masyarakat, sebagaimana inti dari Pasal 8 UU Pelayanan Publik. Penyelenggara wajib mencantumkan alamat, tempat mengadu dan sarana untuk menampung keluhan masyarakat yang mudah diakses, antara lain telepon, SMS yang lazimnya WhatsApp saat ini, website, email, dan kotak pengaduan, sarana tadi diatur dalam Pasal 13 UU Pelayanan Publik.

Termasuk pula diatur hak masyarakat salah satunya untuk mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan, sebagaimana dimuat dalam Pasal 18 huruf c UU Pelayanan Publik. Namun, bagaimana dapat menerima tanggapan terhadap pengaduan, bila sarana pengaduannya saja tidak tersedia?

Sebenarnya, Menpan RB telah membuat regulasi, untuk menuangkan kewajiban-kewajiban pengelolaan pengaduan layanan publik yang diatur dalam UU Pelayanan Publik, regulasi tadi mengatur di setiap instansi penyelenggara layanan publik dari level pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota, untuk menerapkan Sistem Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N Lapor). Diatur dalam Peraturan Menpan RB Nomor 62 Tahun 2018 tentang Pedoman Sistem Pengaduan Pelayanan Publik Nasional.

Ada kewajiban penyelenggara pelayanan publik, untuk menyediakan sarana dan prasarana penunjang kelancaran pengelolaan pengaduan pelayanan publik, menyusun mekanisme pengelolaan pengaduan pelayanan publik, dan menugaskan pelaksana yang berkompeten dalam pengelolaan pengaduan pelayanan publik, sebagaiman ditentukan dalam Pasal 1 Permenpan RB tersebut. Namun, dalam pelaksanaannya di daerah, belum berjalan sebagaimana road map yang ditentukan.

Menurut penulis, di instansi/dinas daerah seolah masih dibingungkan dengan kewajiban menyediakan pengelolaan pengaduan pelayanan publik. Menunjuk petugas khusus untuk mengelola pengaduan layanan publik, seolah menjadi "tugas tambahan" yang memberatkan, padahal tugas tersebut telah wajib dan melekat bagi instansi/dinas yang menyelenggarakan pelayanan publik.

Pimpinan daerah, bupati melalui Diskominfo, telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) yang menetapkan tim koordinasi serta petugas administrator pengelola pengaduan SP4N Lapor di lingkungan SKPDnya. Namun, dalam pelaksanaannya, SK ketua tim yang lazimnya ditunjuk kepala bidang tertentu dan seorang petugas administrator di instansi/dinas, tidak sesuai pelaksananya/berbeda di instansi/dinasnya. Kebanyakan disebabkan karena rotasi jabatan. Padahal, pembekalan tata cara dan mekanisme pengelolaan pengaduan telah disampaikan oleh Diskominfo. Alhasil, banyak terjadi kekosongan ketua tim maupun petugas administrator di instansi/dinas. Tidak ada transfer pengetahuan sepeninggal pejabat/petugas sebelumnya kepada pejabat/petugas baru yang ditujuk.

Bahkan yang penulis anggap lucu, penulis menemukan adanya petugas yang terkejut bingung, karena tidak tahu bahwa dirinya ditunjuk sebagai petugas administrator pengelola pengaduan SP4N Lapor di dinasnya. Padahal penulis mengkonfirmasinya berdasarkan SK yang telah ditetapkan pimpinan daerah. Kesimpulannya, pastinya pengelolaan pengaduan di dinas tersebut tidak berjalan.

Kebanyakan instansi/dinas, di daerah khususnya, menganggap pengelolaan terhadap pengelolaan pengaduan pelayanan publik, tidak mendesak dan tidak terlalu dibutuhkan publik. Karena hampir tidak ada pengguna layanan mereka yang mengeluhkan terhadap layanan, apalagi sampai mengadukan.

Padahal menurut penulis, tidak adanya keluhan/pengaduan yang diterima instansi/dinas, bukan berarti layanan telah bagus, boleh jadi karena tidak adanya sarana pengaduan yang disediakan untuk diakses pengguna, atau masyarakat sudah melazimi pelanggaran yang terjadi di instansi/dinas tadi, sehingga sia-sia bila melapor, tidak ada respons bahkan malah akan merugikannya. Kemudian banyaknya keluhan/pengaduan yang diterima instansi/dinas, bukan berarti layanan yang diberikan buruk, boleh jadi karena layanan yang diberikan betul-betul dirasakan oleh masyarakat, sehingga ada kepedulian masyarakat untuk memberikan masukan dalam bentuk kritik, agar layanan di sana dapat lebih baik lagi.

Tidak sedikit perusahaan besar, secara sengaja membayar orang khusus untuk memberikan kritik, mencari celah kekurangan perusahaannya, agar dapat memperbaiki mutu produk atau kualitas pelayanannya. Maka keluhan/pengaduan yang diterima oleh penyelenggara layanan publik, merupakan evaluasi "gratis" yang berarti, apabila memang penyelenggara berkomitmen meningkatkan pelayanan publik yang baik bagi masyarakat.

Penyelenggaraan pelayanan publik yang transparan, salah satunya adalah pelaksana penyelenggaraan layanan publik terbuka tidak antikritik terhadap saran/masukan dan pengaduan dari pengguna layanan. Keterlibatan publik untuk turut mengawasi, dalam bentuk koreksi sebagai pengguna layanan, apabila dikelola dengan baik, maka selain berfungsi sebagai pijakan memperbaiki kualitas layanan bagi internal, juga akan berdampak baik secara eksternal, yakni meningkatnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Terakhir, adanya kontrol publik dalam bentuk penyampaian saran masukan dan pengaduan, dapat mencegah terjadinya tindakan maladministrasi penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, sikap tidak patut, dan permintaan uang barang jasa (pungli) bagi oknum-oknum penyelenggara layanan publik yang culas.


Benny Sanjaya, S.H., M.H.

Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Ombudsman RI Provinsi Kalsel





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...