• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Mengurai Benang Kusut Birokrasi: Standarisasi sebagai Solusi
PERWAKILAN: KALIMANTAN TENGAH • Rabu, 12/02/2025 •
 
Bella Eka Saputri, Calon Asisten Perwakilan Kalimantan Tengah

Pelayanan publik seharusnya cepat, murah, dan mudah. Namun kenyataannya, seringkali justru menjadi lambat dan berbelit-belit. Masalah ini terjadi karena banyaknya loket dan proses yang seharusnya sederhana malah menjadi rumit. Terkadang, masyarakat lebih baik mengeluarkan uang untuk membayar jasa calo daripada membuang waktu berurusan dengan birokrasi yang rumit. Kondisi ini menciptakan apatisme publik terhadap jalannya pemerintahan. Salah satu penyebab utamanya adalah pelayanan publik yang tidak terstandarisasi dengan baik.

Hadirnya Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik, tentunya tidak terlepas dari peranannya dalam mengawasi, menilai, menindak, serta memberikan saran terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang tidak sesuai dengan standar dan aturan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan pernyataan Dennis Pearce yang menyebutkan bahwa, "The Ombudsman is undoubtedly the most valuable institution from the viewpoint of both citizen and bureaucrat that has evolved during this century" (Ombudsman tanpa keraguan merupakan lembaga yang paling berharga yang berkembang di abad ini, baik dari sudut pandang warga negara maupun birokrat).

Sebagai lembaga yang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, Ombudsman berfokus pada pengawasan terhadap maladministrasi yang melibatkan penyelenggara negara sebagai pemberi layanan. Dalam pelayanan publik, pedoman dan standar yang ditetapkan oleh penyelenggara negara sangat diperlukan untuk menjamin akuntabilitas serta mencegah maladministrasi. Penerapan standar pelayanan yang konsisten dapat meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Namun, dalam praktiknya, maladministrasi masih sering terjadi akibat ketidakterapan standar pelayanan, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Beberapa instansi bahkan telah memiliki standar pelayanan, tetapi gagal dalam aspek transparansi, sehingga publik tidak mengetahui dengan jelas prosedur dan kriteria layanan yang seharusnya mereka terima. Kondisi ini memperburuk kepercayaan masyarakat dan meningkatkan ketidakpuasan, yang pada akhirnya menghambat tercapainya pelayanan publik yang berkualitas.

Padahal, di sisi regulasi, tepatnya pada Pasal 60 ayat (5) Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (selanjutnya disebut dengan UU Pelayanan Publik), telah diatur dengan jelas bahwa pada intinya penyelenggara layanan wajib menyusun, menetapkan, dan menerapkan standar pelayanan paling lambat 6 (enam) bulan setelah Peraturan Pemerintah mengenai pedoman penyusunan standar pelayanan diundangkan..

Sebagai tindak lanjut dari pedoman penyusunan standar pelayanan, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2009. Pasal 25 dalam PP ini menyebutkan bahwa terdapat 14 komponen standar pelayanan publik, yang meliputi: Dasar hukum; persyaratan; sistem; jangka waktu penyelesaian; biaya atau tarif; produk pelayanan; sarana, prasarana, atau fasilitas; kompetensi pelaksana; pengawasan internal; penanganan, pengaduan, saran, dan masukan; jumlah pelaksana; jaminan pelayanan; jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan; evaluasi kinerja pelaksana. Keempat belas komponen ini menjadi acuan bagi penyelenggara negara dalam menerapkan standar pelayanan guna mewujudkan pelayanan publik yang adil, transparan, dan bebas dari maladministrasi.

Terjadinya maladministrasi tentunya sangat erat kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan publik yang tidak sesuai dengan standar. Berdasarkan definisi maladministrasi menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan yang melawan hukum, melampaui wewenang, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau pemerintahan, yang mengakibatkan kerugian materiil maupun immateriil bagi masyarakat.

Terdapat korelasi yang erat antara maladministrasi dengan implementasi standar pelayananservice delivery. Maladministrasi dapat terjadi akibat ketidaktersediaan standar persyaratan dan sistem mekanisme prosedur yang jelas, serta kegagalan dalam melaksanakan Standar Operasional Prosedur (SOP). Selain itu, ketidaktransparanan dalam publikasi SOP kepada masyarakat juga menjadi penyebab terjadinya maladministrasi.

Fenomena lain yang mencerminkan maladministrasi adalah penundaan berlarut dalam penyelesaian layanan, dimana masyarakat terpaksa bolak-balik hanya untuk menanyakan status permohonan layanan mereka, karena jangka waktu penyelesaian tidak diinformasikan sejak awal. Masalah ini sering kali diperparah oleh alasan penyelenggara pelayanan publik yang mengklaimoverload atau kelebihan beban layanan tanpa konfirmasi lebih lanjut kepada penerima layanan.

Berdasarkan data laporan pengaduan masyarakat yang diterima oleh Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Tengah pada periode Tahun 2019-2024, mayoritas pengaduan maladministrasi berkaitan dengan tidak diberikan pelayanan dan penundaan berlarut. Contohnya, ketika pelapor mengalami penundaan berlarut, penyelenggara negara sering kali mengklaim bahwa produk layanan yang dimohonkan belum selesai akibat keterbatasan jumlah pelaksana atau bahkan ketiadaan petugas yang menangani. Selain itu, dalam kasus tidak diberikan pelayanan, sering terjadi kurangnya komunikasi antara penyelenggara layanan publik dan masyarakat mengenai status permohonan, yang menyebabkan ketidakpastian dan kebingungan. Kondisi ini mencerminkan ketidakmampuan penyelenggara dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar yang seharusnya diterapkan.

Untuk itu, Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Tengah terus berupaya mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik. Upaya ini diwujudkan melalui penilaian kepatuhan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Regulasi terkait penilaian ini diatur dalam Peraturan Ombudsman Nomor 22 Tahun 2016 tentang Penilaian Kepatuhan Terhadap Standar Pelayanan Publik. Penilaian kepatuhan mencakup 10 variabel, yaitu: standar pelayanan; maklumat layanan; sistem informasi; sarana dan prasarana; pelayanan khusus; pengelola pengaduan; penilaian kinerja; visi; misi; moto pelayanan; atribut; dan pelayanan terpadu. Data yang dikumpulkan dan dirata-ratakan untuk menentukan kategorisasi nilai, yang terbagi dalam zona hijau, kuning, atau merah.

Survei kepatuhan ini digunakan sebagai acuan dalam menilai kualitas pelayanan publik oleh penyelenggara layanan. Penilaian ini bertujuan untuk mempercepat peningkatan mutu pelayanan publik. Selain itu, hasil penilaian kepatuhan juga berperan dalam mencegah maladministrasi serta meningkatkan standar pelayanan publik yang berkualitas. Pelaksanaan penilaian kepatuhan terhadap instansi oleh Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Tengah merupakan wujud komitmennya dalam menjaga dan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik. Kegiatan ini dilakukan setiap tahun sebagai alat introspeksi penyelenggaraan pelayanan publik dengan output berupa seremoni penganugerahan predikat penilaian kepatuhan.

Oleh karena itu, untuk menciptakan kestabilan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang baik, diperlukan dukungan dari sistem pelayanan publik yang berkualitas. Suatu sistem yang baik harus dilengkapi dengan mekanisme kontrol bawaan (built-in control) agar segala bentuk penyimpangan dapat dideteksi dengan mudah. Selain itu, sistem pelayanan perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini mengharuskan organisasi (termasuk pemerintah) untuk dapat merespons kebutuhan dan keinginan masyarakat serta menyediakan sistem pelayanan dan strategi yang tepat.

Saat ini, pelayanan publik sedang ditransformasikan menuju digitalisasi guna memangkas birokrasi dan memperluas jangkauan layanan. Upaya ini perlu didukung dengan penyusunan standar pelayanan yang mencakup jumlah pelaksana serta penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Penyelenggaraan pelayanan publik yang terstandar perlu diterapkan guna mencegah maladministrasi sedari awal. Selain itu, standar pelayanan juga digunakan sebagai alat ukur kepatuhan terhadap asas-asas pelayanan publik, seperti kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, keterjangkauan, serta perlakuan yang setara tanpa diskriminasi. Pada akhirnya, pelayanan publik yang berkualitas diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperkuat kepercayaan publik, serta memastikan pemerintahan berjalan dengan baik di negara kita.





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...