Mengupas Pelayanan Publik Sebagai Panggung Sosial

Pelayanan publik merupakan arena interaksi sosial yang kompleks antara negara dan warganya. Di balik prosedur dan regulasi yang terkesan teknokratis, terdapat realitas sosial yang sarat makna simbolik. Salah satu pendekatan yang mampu membongkar realitas ini adalah teori dramaturgi daninteraction order dari Erving Goffman. Dengan mengibaratkan interaksi sosial sebagai "pertunjukan teater", Goffman membuka cara pandang baru bahwa pelayanan publik sejatinya adalah panggung di mana para aktor (petugas atau Penyelenggara pelayanan dan warga atau pemohon layanan) memainkan peran, mengatur kesan, dan mereproduksi struktur sosial.
Dalam kerangka dramaturgi, Goffman memandang bahwa setiap individu yang terlibat dalam interaksi sosial menampilkan "performa" di hadapan orang lain. Konsep utama dalam dramaturgi mencakup panggung depan (front stage), panggung belakang (back stage), peran, kostum, dan pengelolaan kesan (impression management). Dalam konteks pelayanan publik, arena panggung depan (front stage) direpresentasikan dalam ruang pelayanan pada instansi penyelenggara seperti kantor dinas-dinas penyelenggara layanan, kantor desa, rumah sakit, hingga layanan digital pemerintah. Di sini, petugas dituntut menampilkan peran ideal seperti sikap ramah, informatif, dan efisien. Warga pun memainkan peran sebagai pengguna layanan yang sopan, patuh pada prosedur, dan menghargai otoritas.
Sementara itu, terdapat arena panggung belakang (back stage) di ruang-ruang yang tak terlihat publik, seperti ruang istirahat pegawai atau grup internal, dimana pada ruang tersebut terjadi relaksasi peran. Di sinilah realitas sebenarnya sering muncul seperti kekecewaan terhadap sistem, kritik internal, bahkan praktik tidak etis seperti diskriminasi atau pilih kasih, bahkan pungli.
Selain itu, aktor juga memiliki peran dan skrip dalam pertunjukkan sosial di ruang pelayanan publik. Sebagai contoh, petugas pemberi layanan memiliki skrip yang harus dihafalkan, seperti : "Ada yang bisa dibantu?", "Silakan isi formulir ini". Namun sering kali peran ini dijalankan secara mekanis, kurangnya empati yang justru menciptakan jarak dan ketegangan dengan publik.
Goffman juga menekankan pentingnya "interaction order" sebagai tatanan halus namun menentukan dalam setiap pertemuan tatap muka. Dalam pelayanan publik,interaction order tercermin dalam norma, ritual, dan simbol yang mengatur bagaimana individu bersikap dan menanggapi satu sama lain. Pengaturan antrean, Senyum-Salam-Sapa, penggunaan bahasa yang formal merupakan ritual penting dalam menciptakan kesan tertib. Namun sering kali ritus ini bersifat semu, hanya menjaga wajah institusi tanpa menjamin kualitas substantif pelayanan.
Petugas berusaha menampilkan diri sebagai profesional, padahal di baliknya bisa terjadi kebingungan, tekanan target, atau ketidaktahuan. Warga juga mengelola kesan dengan berdandan rapi, berbicara sopan, atau membawa surat rekomendasi atau surat pengantar sebagai bentuk "strategi impresi" agar dilayani lebih baik. Seringkali kita lihat adanya ketimpangan kekuasaan dalam interaksi di ruang pelayanan publik. Tidak semua warga memiliki kemampuan atau sumber daya untuk tampil meyakinkan di panggung pelayanan. Akibatnya, mereka yang tidak mampu mengelola kesan sesuai ekspektasi institusi sering kali diperlakukan lebih rendah atau diabaikan. Mereka inilah kelompok rentan dalam pelayanan publik.
Meskipun pelayanan publik seringkali didesain seolah netral, adil, dan berbasis sistem, namun melalui teori dramaturgi kita dapat membongkar bahwa netralitas ini bisa menjadi ilusi. Sistem antrean, standar pelayanan, bisa menjadi "set panggung" yang direkayasa untuk mempertahankan relasi kuasa tertentu. Misalnya, praktik percaloan atau akses khusus bagi warga yang "punya kenalan" menunjukkan bahwa panggung pelayanan tak sepenuhnya terbuka bagi semua. Mereka yang mampu memainkan peran dengan "kostum sosial" yang diakui seperti pejabat, orang berpengaruh, atau berpakaian rapi, lebih mudah memperoleh pelayanan cepat.
Oleh karena itu, perlu transformasi positif dalam pelayanan publik, antara lain: 1). Pendidikan Etika Interaksi Publik bagi petugas pemberi layanan agar memahami dan sadar perannya bukan hanya menjalankan sistem, tapi menciptakan pengalaman interaksi yang bermartabat. 2). Perlunya merancang ulang ruang pelayanan agar panggung depan dan belakang tidak terlalu kontras secara moral dan performatif. 3). Optimalisasi partisipasi warga dalam evaluasi pelayanan, bukan hanya dari sisi kepuasan teknis, tapi juga dari pengalaman interaksi simbolik di ruang pelayanan. 4). Pemanfaatan teknologi yang setara, agar interaksi digital tidak menghasilkan bias baru yang hanya menguntungkan warga berpendidikan tinggi dan melek teknologi.
Perubahan tidak cukup hanya di level regulasi, tapi juga dalam cara interaksi yang dikelola secara simbolik dan sosiologis. Jika negara ingin menjadi pelayan rakyat yang sesungguhnya, maka ia harus mengubah bukan hanya sistemnya, tetapi juga naskah dan peran yang dimainkan di panggung pelayanannya.
Penulis : Marzuqo Septianto
Asisten Ombudsman RI Jawa Barat