Malaadministrasi: Dekat Tapi Tak Tampak

DEWASA ini, media massa dipenuhi dengan berita tentang berbagai kasus megakorupsi di Indonesia. Dari kasus dugaan korupsi bantuan sosial yang terjadi di tengah pandemi hingga korupsi tambang timah di Bangka Belitung dan megakorupsi lain baru-baru ini yang nilainya ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah. Pemberitaan ini mendominasi ruang publik dan menjadi bahan obrolan dari warung kopi hingga ruang kelas. Wajar saja menjadi perhatian, karena korupsi berdampak langsung pada hilangnya triliunan rupiah uang negara.
Namun di balik sorotan terhadap korupsi yang merugikan uang negara, ada bentuk penyimpangan lain yang turut menghambat jalannya roda pemerintahan dan secara perlahan dapat menghilangkan kepercayaan publik. Ia lebih dekat dengan kehidupan masyarakat dan tidak kalah merugikan, namun sering kali dianggap remeh: malaadministrasi. Tidak selalu mencuri perhatian, tidak memunculkan kehebohan nasional, dan tidak membuat aparat "masuk TV", tetapi justru kerap kali lebih berbahaya karena dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat. Begitulah ia, dekat tetapi tak tampak.
Malaadministrasi hadir dalam sunyi. Di loket pelayanan publik, di lorong puskesmas, di meja pelayanan desa hingga meja kerja. Ia menyusup dalam antrean yang tak jelas, dalam "datang saja minggu depan" atau kata "tunggu" yang tidak berujung, dan dalam sistem yang kerap kali membuat masyarakat pasrah. Dan sialnya, ini dianggap biasa karena sering terjadi.
Lantas bagaimana realitas malaadministrasi terjadi dalam kerugian masyarakat? Dalam regulasi, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia didefinisikan bahwa malaadministrasi sebagai perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain, kelalaian, atau pengabaian kewajiban hukum dalam memberikan pelayanan publik.
Sayangnya, istilah malaadministrasi masih asing di telinga banyak orang. Masyarakat lebih mengenal dan geram terhadap korupsi yang melibatkan negara. Padahal, selain korupsi, praktik pelayanan publik yang semrawut, tidak adil, lambat, dan tidak transparan adalah wajah buruk negara yang paling dekat dirasakan langsung oleh rakyat.
Lebih parah lagi, banyak bentuk malaadministrasi yang terabaikan sejak lama telah menjadi bagian dari rutinitas. Masyarakat terbiasa datang pagi-pagi tak jarang dari jarak yang sangat jauh untuk mendapatkan nomor antrean. Sudah dianggap wajar jika sebuah pelayanan hanya bisa berjalan ketika "pejabat terkait sedang di tempat" atau "harus dengan biaya" agar layanan dipercepat. Situasi ini sejalan dengan fenomena yang dikenal dalam kajian sosial sebagai normalisasi penyimpangan yakni ketika sesuai yang seharusnya tidak benar, menjadi lumrah karena terus-menerus terjadi.
Dalam konteks pelayanan publik, tentu hal ini memiliki dampak bahaya besar ketika penyimpangan yang berulang tidak lagi dianggap masalah, tetapi malah diterima sebagai kebiasaan yang lumrah terjadi. Ketika warga terbiasa dengan proses yang berbelit, dengan sistem yang tidak pasti, dan dengan perlakuan tidak adil, maka penyimpangan itu berhenti dianggap sebagai pelanggaran. Inilah mengapa kerap kali malaadministrasi menjadi tak terlihat. Bukan karena tidak ada, tetapi karena kerap sudah dinaturalisasi dalam pengalaman warga.
Dalam hal kerugian, tentu dampak dari malaadministrasi berbeda dari korupsi yang dampaknya terasa jauh. Dalam praktiknya, malaadministrasi menimbulkan kerugian yang langsung dan nyata dalam masyarakat. Ia menyasar dari dua sisi yakni kerugian materiel dan imateriel.
Kerugian materiel terjadi ketika adanya biaya transportasi yang berulang, kehilangan pendapatan harian karena harus bolos kerja demi mengurus layanan, atau tertundanya pencairan bantuan sosial karena aparat desa tidak menjalankan kewajibannya. Semua itu adalah kerugian riil yang ditanggung ketika adanya malaadministrasi.
Kemudian dalam kerugian imateriel ketika munculnya rasa frustrasi, bingung, merasa terintimidasi hingga hilangnya rasa percaya pada institusi negara. Ketika warga merasa tidak dihargai dalam proses pelayanan, sesungguhnya yang rusak bukan hanya sekadar sistem, tetapi juga hubungan negara dengan rakyatnya.
Fakta kerugian ini ditegaskan oleh Ombudsman RI dalam laporan tahunan 2024, yang mencatat bahwa nilai kerugian ekonomi masyarakat yang berhasil diselamatkan akibat penyelesaian malaadministrasi mencapai Rp166,49 miliar. Secara kumulatif sejak tahun 2021, jumlahnya mencapai Rp496,69 miliar. Ini bukan angka yang kecil, dan mestinya cukup untuk membuka mata kita semua bahwa malaadministrasi juga begitu menyakiti.
Malaadministrasi memang tak selalu begitu terlihat, namun ia terus menggerogoti pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik yang baik. Bahkan lebih dari itu, ia juga bisa menciptakan lahan subur bagi korupsi untuk tumbuh. Ketika tidak ada kepastian prosedur, ketika kontrol atas pelayanan publik yang lemah, disitulah celah untuk munculnya pungutan, suap, dan berbagai penyimpangan lain.
Setiap tahun, Ombudsman Republik Indonesia sebagai lembaga pengawas penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia menerima laporan malaadministrasi dalam berbagai sektor penyelenggaraan pelayanan publik, seperti pertanahan, pendidikan, kependudukan, kesehatan, dan kepegawaian. Dengan berbagai jenis dugaan malaadministrasi berupa penundaan berlarut, tidak memberikan pelayanan, dan penyimpangan prosedur yang jelas merugikan masyarakat sebagai penerima layanan.
Namun, karena sifatnya yang "tidak spektakuler" ia jarang masuk dalam pemberitaan utama dan topik yang berkembang di masyarakat. Padahal, pelayanan yang buruklah yang paling dekat dan dirasakan langsung kerugiannya oleh masyarakat.
Sebagai upaya pencegahan diperlukan kembalinya fokus dari puncak hingga ke akar. Jika ingin sistem pemerintahan yang benar-benar adil hingga tercapai pemerintahan yang baik, negara tidak bisa hanya mengejar "ikan besar" dalam kasus korupsi saja, akan tetapi negara juga harus hadir dalam memperbaiki sistem dasar pelayanan publik yang selama ini penuh dengan lubang.
Beberapa langkah penting yang bisa diambil ialah perlunya edukasi publik tentang hak-hak pelayanan sehingga masyarakat tahu bahwa mereka berhak atas pelayanan yang cepat, jelas, adil, dan tidak diskriminatif. Hal ini perlu untuk diperkuat dari desa hingga ke kota.
Kemudian, untuk menunjang pelaksanaannya juga diperlukan memperkuat pengawasan melalui lembaga pengawas dan pengawasan masyarakat sebagai penerima layanan sekaligus menjalankan fungsi pengawas utama dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Selain itu, perlu dilakukan transparansi dan digitalisasi prosedur agar mudah diakses oleh seluruh pihak untuk mencegah celah-celah pelanggaran. Terakhir, secara komprehensif perlu adanya reformasi budaya pelayanan. Jika selama ini aparat masih merasa sebagai "penguasa" layanan, bukan pelayan publik, maka perubahan tidak akan terjadi. Budaya pelayanan yang empatik dan bertanggung jawab haruslah menjadi fondasi.
Pada akhirnya, kita semua harus membuka mata untuk melihat yang dekat dan menyadari yang terlupakan. Malaadministrasi itu dekat, ia hadir dalam antrean panjang tanpa kejelasan, dalam surat yang tak kunjung ditandatangani, dan dalam sikap pejabat yang seolah tak punya waktu untuk rakyat. Tetapi justru karena kedekatannya, ia sering tak tampak kemudian menjadi dianggap biasa dan dianggap bukan masalah. Padahal secara perlahan dari situlah kepercayaan publik mulai retak, dan dari situlah ketimpangan mulai tumbuh.
Maka sudah saatnya kita menaruh perhatian kepada pelanggaran berupa malaadministrasi yang senyap tetapi melukai. Dengan demikian, negara yang kita dambakan benar-benar hadir dengan menjadi negara yang melayani dengan baik, adil, dan manusiawi. (*)