• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Hak Inklusivitas dalam Pelayanan Publik: Analisis Regulasi dan Fakta Lapangan
PERWAKILAN: JAWA BARAT • Rabu, 22/10/2025 •
 

Inklusivitas pada dasarnya merupakan prinsip keterbukaan dan kesetaraan, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dalam kerangka ini, inklusivitas tidak sekadar berarti memberikan akses formal yang sama, tetapi juga mengupayakan kesetaraan substantif-yakni memastikan bahwa perbedaan kondisi fisik, sosial, ekonomi, maupun budaya tidak menjadi penghalang bagi seseorang untuk memperoleh haknya.

Secara filosofis, inklusivitas merupakan turunan dari nilai-nilai universal Hak Asasi Manusia (HAM) yang menekankan prinsip non-diskriminasi dan keadilan sosial. Secara normatif, prinsip ini telah banyak diakui dalam berbagai dokumen internasional seperti Universal Declaration of Human Rights (1948) dan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (2006), yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Artinya, inklusivitas bukan sekadar pilihan kebijakan, melainkan kewajiban moral sekaligus hukum bagi negara.

Dalam konteks pelayanan publik, prinsip inklusivitas memiliki peran yang sangat penting karena pelayanan publik merupakan instrumen utama negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warganya. Hak atas inklusivitas dalam pelayanan publik bukanlah konsep abstrak, melainkan mandat konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945, diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Regulasi-regulasi tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara, khususnya kelompok rentan, berhak memperoleh layanan yang adil, setara, dan sesuai dengan kebutuhannya.

Namun, terdapat kesenjangan yang cukup signifikan antara norma hukum dan realitas di lapangan. Meskipun regulasi telah cukup memadai, praktik pelayanan publik masih menghadapi berbagai kendala, mulai dari keterbatasan infrastruktur ramah disabilitas, sulitnya akses layanan bagi masyarakat di wilayah terpencil, hingga keterbatasan sumber daya manusia dalam memahami standar pelayanan yang inklusif.

Kesenjangan antara aturan dan kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pembahasan mengenai pelayanan publik inklusif menjadi semakin penting. Salah satu wujud nyata dari inklusivitas dapat dilihat melalui pelayanan publik yang pada dasarnya mencakup setiap upaya penyelenggara negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas barang, jasa, maupun administrasi. Agar benar-benar bersifat inklusif, pelayanan publik harus dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi, serta menyesuaikan diri dengan keberagaman kebutuhan masyarakat.

Pelayanan publik yang inklusif berarti layanan tidak berhenti pada penyediaan fasilitas formal semata, tetapi juga menciptakan kondisi yang memungkinkan seluruh warga menikmati manfaat layanan secara adil. Prinsip inklusivitas dalam pelayanan publik mencakup beberapa aspek penting, antara lain aksesibilitas, kesetaraan, kebutuhan khusus, partisipasi, dan non-diskriminasi. Layanan harus tersedia, mudah dijangkau, serta ramah bagi semua kalangan. Setiap orang berhak mendapatkan layanan secara adil tanpa diskriminasi berdasarkan kondisi fisik, sosial, ekonomi, maupun geografis.

Pelayanan juga perlu disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan kelompok tertentu agar semua warga dapat memperoleh manfaat yang sama. Di sisi lain, kelompok rentan harus dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi layanan, sehingga kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan mereka.

Praktik pelayanan publik inklusif sudah mulai diterapkan di berbagai sektor. Dalam bidang kesehatan, misalnya, sejumlah puskesmas telah menyediakan jalur ramp, ruang pemeriksaan yang ramah bagi penyandang disabilitas, serta layanan home visit bagi pasien yang tidak dapat datang langsung. Di bidang pendidikan, sekolah-sekolah inklusi kini menerima siswa penyandang disabilitas dan dilengkapi guru pendamping khusus. Pada sektor transportasi, fasilitas umum seperti MRT Jakarta telah menghadirkan guiding block, lift khusus, dan kursi roda gratis bagi pengguna yang membutuhkan. Sementara itu, dalam administrasi kependudukan, program Jemput Bola Dukcapil melayani masyarakat di daerah terpencil, termasuk penyandang disabilitas dan lansia.

Tak kalah penting, layanan digital kini juga mulai mengadopsi prinsip inklusivitas, misalnya dengan menyediakan fitur text-to-speech bagi tunanetra dan subtitle otomatis bagi tunarungu.

Meski praktik baik tersebut terus berkembang, berbagai tantangan masih perlu diatasi. Fasilitas ramah disabilitas masih jarang ditemukan di banyak daerah, sementara sebagian besar petugas pelayanan belum memiliki pemahaman memadai tentang prinsip akomodasi yang layak. Kesenjangan akses digital juga masih menjadi persoalan karena tidak semua kelompok masyarakat dapat memanfaatkan layanan daring secara optimal. Selain itu, keterbatasan anggaran sering membuat kebutuhan pelayanan inklusif dianggap sebagai tambahan, bukan prioritas. Kurangnya partisipasi publik, terutama dari kelompok rentan, juga menghambat upaya perbaikan layanan secara menyeluruh.

Kehadiran pelayanan publik yang inklusif bukan sekadar pilihan kebijakan, melainkan konsekuensi dari hak dasar yang dimiliki setiap warga negara. Hak atas inklusivitas merupakan turunan langsung dari hak konstitusional yang dijamin UUD 1945, yang menegaskan persamaan di hadapan hukum (Pasal 28D), hak atas kesehatan (Pasal 28H), dan hak atas pendidikan (Pasal 31). Lebih jauh, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mempertegas bahwa setiap orang berhak memperoleh layanan yang adil, tidak diskriminatif, dan sesuai dengan kebutuhannya.

Dari uraian tersebut, jelas bahwa inklusivitas bukan hanya prinsip universal, melainkan juga mandat konstitusional yang wajib diimplementasikan dalam setiap aspek pelayanan publik. Melalui penyediaan layanan yang aksesibel, responsif, dan nondiskriminatif, negara dapat memastikan bahwa seluruh warga-tanpa kecuali-memperoleh haknya sebagai warga negara secara adil dan bermartabat.

Penulis: Rifki Septiawan - Magang Ombudsman RI di bawah bimbingan Ujang Solihul Wildan - Asisten Ombudsman RI





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...