• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Gratifikasi dalam Penerimaan Murid Baru
PERWAKILAN: KALIMANTAN SELATAN • Kamis, 14/08/2025 •
 
Sopian Hadi, Asisten Ombudsman

Problem Penerimaan Murid Baru (PMB) setiap tahun selalu ramai diperbincangkan. Sejak sebelum diterapkannya sistem zonasi, persoalan ini sebenarnya sudah bermasalah. Belakangan, isu ini semakin mendapat perhatian publik, terutama karena peran media sosial yang kian marak. Dulu, praktik koruptif di sekolah kerap terjadi, bahkan ironisnya ada di sekolah-sekolah di bawah naungan Kementerian Agama, yang seharusnya justru terhindar dari perilaku semacam itu. Pungutan terhadap peserta didik dilakukan secara terang-terangan.

Jutaan rupiah harus dikeluarkan calon siswa agar bisa masuk sekolah. Mereka yang masuk lewat jalur belakang bahkan ditempatkan dalam kelas tersendiri sehingga mudah dikenali. Cerita dari mulut ke mulut pun memperkuat bukti bahwa masuk sekolah tidaklah gratis, ada harga bangku yang mesti dibayar. Namun, karena pada masa itu media sosial belum masif, praktik koruptif ini jarang terekspos.

Kini, dengan semakin berkembangnya media sosial, masyarakat semakin kritis dan berani menyuarakan ketidakadilan yang mereka rasakan dalam PMB. Sejak diberlakukan sistem zonasi, pemerintah berharap label "sekolah favorit" bisa dihapuskan. Konsepnya, semua sekolah setara dan tidak ada lagi yang dianggap unggulan.

Sayangnya, persepsi masyarakat tetap melekat pada kualitas tenaga pendidik, kondisi bangunan sekolah, dan rekam jejak lulusannya. Faktor-faktor ini tetap dijadikan tolok ukur sehingga orang tua berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah yang dianggap favorit. Akibatnya, persoalan PMB paling banyak terjadi di jenjang SMA dan SMK Negeri, terutama di kota-kota besar pada sekolah yang masih dianggap unggulan.

Tidak sedikit orang tua yang melakukan berbagai cara untuk menyiasati aturan. Ada yang menitipkan anaknya dalam Kartu Keluarga dengan domisili dekat sekolah, bahkan menumpang pada keluarga penjaga sekolah. Praktik pemalsuan sertifikat prestasi nonakademik juga marak terjadi. Selain itu, pengaturan nilai rapor anak di SMP kerap dilakukan, terutama di SMP swasta, di mana orang tua bisa bernegosiasi dengan guru untuk menaikkan nilai rapor agar anak lolos jalur akademik. Ternyata praktik serupa juga ditemukan di SMP Negeri. Di sinilah transaksi gratifikasi patut diduga terjadi, merugikan calon siswa yang benar-benar berhak karena domisilinya dekat dengan sekolah.

Selain praktik dari orang tua, faktor internal sekolah juga turut berperan. Tingginya minat terhadap sekolah negeri tertentu, sementara kuota terbatas, mendorong pihak sekolah menerima gratifikasi dari calon peserta didik. Penyalahgunaan wewenang, konflik kepentingan, dan permintaan gratifikasi yang mengarah pada korupsi dapat terjadi baik saat proses PMB maupun setelahnya. Gratifikasi paling sering berbentuk uang dengan dalih "sumbangan". Hasil pungutan digunakan untuk pembangunan sekolah, pembelian tanah, pengadaan meubelair, dan lain-lain. Orang tua bahkan diminta mengisi formulir berapa besar sumbangan yang sanggup diberikan jika anaknya diterima. Niat membangun sekolah memang baik, tetapi cara ini keliru. Partisipasi masyarakat seharusnya dalam bentuk sumbangan sukarela, bukan pungutan yang dipaksakan. Minimnya pemerataan pembangunan infrastruktur sekolah oleh pemerintah juga menjadi salah satu faktor yang menumbuhkan praktik koruptif ini.

Tidak jarang pula orang tua calon siswa yang bekerja di instansi tertentu menggunakan posisinya untuk menekan pihak sekolah agar anaknya diterima. Sekolah swasta pun ikut dirugikan karena dijadikan pilihan terakhir, meski banyak sekolah swasta memiliki kualitas baik. Akibatnya, sekolah swasta sering kekurangan murid.

Masyarakat juga semakin permisif terhadap perilaku koruptif. Hal ini tercermin dari hasil survei Indeks Persepsi Anti Korupsi (IPAK) 2024 yang menurun. Indeks pengalaman tahun 2023 sebesar 3,89, turun 0,07 poin dibandingkan 2022 yang mencapai 3,96. Artinya, masyarakat yang mengalami korupsi kecil relatif lebih banyak.

Sebagai respons, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2024 menerbitkan Surat Edaran Nomor 7 tentang Pencegahan Korupsi dan Pengendalian Gratifikasi dalam Penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik Baru. Surat edaran ini bertujuan mewujudkan PMB yang objektif, transparan, dan berintegritas. Tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan yang menerima gratifikasi terkait PMB seharusnya melaporkannya dalam waktu 30 hari sejak diterima.

Pencegahan penyalahgunaan wewenang dalam PMB harus dimulai dari penyelenggara, antara lain dengan penandatanganan fakta integritas sebagai komitmen menolak segala bentuk penyimpangan. Pimpinan lembaga juga harus berperan aktif menindak tegas bawahannya bila terbukti menyalahgunakan jabatan untuk mengintervensi proses penerimaan siswa. Selain itu, peran Inspektorat Daerah dan Dinas Pendidikan juga penting dalam mengawal proses PMB yang berintegritas melalui pengawasan dan kanal pengaduan terbuka.

PMB yang objektif dan transparan hanya dapat terwujud jika semua pihak-mulai dari pembina, penyelenggara, hingga orang tua calon siswa-memiliki komitmen kuat untuk menolak gratifikasi.

 

 Oleh: Sopian Hadi

Asisten Ombudsman

Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan

 





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...