• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Dualisme Interoperabilitas Data Sektor Pelayanan Publik Menuju Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE)
PERWAKILAN: BENGKULU • Selasa, 20/06/2023 •
 
Fauziah Kurniati - Calon Asisten Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Bengkulu

"Presiden Jokowi minta K/L tidak bangun aplikasi baru karena ada SPBE terintegrasi", arahan tersebut tentu bukan tanpa alasan. Menteri Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Abdullah Azwar Anas mengatakan bahwa saat ini terdapat sekitar 27.400 aplikasi pemerintah, baik pusat maupun daerah yang di dalamnya saling tumpah tindih dan dapat menyulitkan masyarakat, terlebih jika harus membuat satu persatu akun pada aplikasi tersebut.

Melalui Sistem Pemerintah Berbasis Elektronik (SPBE), diharapkan semua aplikasi tersebut dapat diinteroperabilitaskan. Kata "interoperabilitas" terdiri dari 3 kata, yaitu inter yang artinya antar (beberapa hal), operate yang berarti bekerja, dan ability adalah kemampuan/kebisaan. Ketika digabungkan menjadi interoperabilitas, maka berarti kemampuan untuk bekerja di antara banyak hal.

Sementara, menurut Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1 Tahun 2023 tentang Interoperabilitas Data dalam Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik dan Satu Data Indonesia mendefinisikan interoperabilitas data sebagai sebuah kemampuan sistem elektronik dengan karakteristik yang berbeda untuk berbagi pakai data dan informasi secara terintegrasi dalam penyelenggaraan SPBE. 

United Nations (UN) e-Government Survey 2022 telah menempatkan Indonesia pada peringkat ke-77 atas kinerjanya dalam pengembangan dan pelaksanaan SPBE. Hasil survei tersebut membuat Indonesia naik 11 peringkat dari urutan 88 pada 2020. Di sisi lain, angka e-partisipasi masyarakat pada 2022 menempati peringkat 37 dunia, dari sebelumnya peringkat ke-57 pada 2020. Ke depan, e-partisisipasi masyarakat diprediksi akan terus meningkat, hal ini berkaitan dengan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang mencatat bahwa penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 78,19% pada 2023 atau menembus 215.626.156 jiwa dari total populasi yang sebesar 275.773.901 jiwa, hal tersebut dapat menjadi potensi baik bagi Indonesia untuk meningkatkan capaian e-partisipasi masyarakat.

Ketika kita berbicara SPBE, tentu sangat erat kaitannya dengan transformasi digital. Terkadang kita terlalu fokus dengan digitalisasinya, di mana kita menyibukkan diri membangun aplikasi super app, tetapi lupa bahwa ada kata transformasi. Transformasi yang dimaksud berkaitan dengan people tools process, sehingga yang harus diubah pertama kali adalah mindset  manusianya yang akan menggunakan aplikasi tersebut, begitu halnya pada sektor pelayanan publik, di mana inovasi itu selalu diidentikkan dengan munculnya aplikasi baru, sementara masyarakat belum begitu memahami mekanisme penggunaan aplikasi tersebut.

Berkaca pada 27.400 aplikasi pemerintah, jika kita konversi ke dalam rupiah maka lebih dari 4 triliun rupiah anggaran negara digunakan hanya untuk membuat aplikasi, dengan asumsi satu aplikasi minimal menghabiskan dana sebesar Rp150.000.000,00 (belum termasuk biaya maintenance server  tahunan, bug error, dan lainnya). Dengan adanya arahan presiden untuk tidak membangun aplikasi baru, ke depan tentu dapat menekan dan mengantisipasi penggunaan anggaran negara yang lebih besar, namun apakah dengan interoperabilitas data dapat menjamin kualitas pelayanan publik yang kita berikan benar-benar baik dan memiliki tingkat kepuasan masyarakat yang maksimal? Berdasarkan hal tersebut, dualisme interoperabilitas wajib kita ulas lebih lanjut.

Saat ini di Indonesia terdapat sekitar delapan aplikasi umum berbasis interoperabilitas, satu di antaranya, yaitu penerapan Sistem Pengelolan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional -  Layanan Aspirasi dan Pengaduan online Rakyat (SP4N-LAPOR!). Menteri Kemenpan RB menyebutkan bahwa hasil survei yang melibatkan 1.123 responden pada 2022 sebanyak 73.7% pengguna layanan merasa puas dengan sistem tersebut, di mana rata-rata SLA (Service Level Agreement) nasional tindak lanjut pengaduan yaitu selama 6,1 hari.

Sementara hasil penilitian Afif dan Setiyono (2022) yang berjudul "Efektivitas Pelayanan Publik melalui Sistem Pengelolaan Pengaduan Aplikasi SP4N-LAPOR" mengatakan bahwa sistem pengelolaan pengaduan publik pelayanan publik melalui aplikasi SP4N-LAPOR belum berjalan efektif, hal tersebut terlihat dari masih dibutuhkannya adaptasi untuk meningkatkan jumlah input ke dalam aplikasi, belum ada kejelasan standar kategorisasi laporan, dan perlunya penambahan waktu sosialisasi kepada masyarakat.  

Fakta lainnya juga berhasil diungkap oleh Suri et.al (2022) dalam penelitiannya yang berjudul "Efektivitas Layanan Pengaduan Terpusat: Studi Tentang Layanan Pengaduan SP4N LAPOR! Kota Metro", di mana efektivitas penggunaan SP4N LAPOR! belum berjalan dengan baik, hal tersebut dapat dilihat dari jumlah laporan pengaduan yang belum ditindaklanjuti dan belum memberikan respons cepat. Permasalahan lainnya, yaitu kurangnya komitmen dan sanksi yang kuat antar OPD terkait, sehingga menghambat tujuan dilaksanakannya layanan SP4N LAPOR! Kota Metro.

Perbedaan antara hasil survei kepuasaan masyarakat terhadap penggunaan SP4N LAPOR! yang dilakukan oleh KemenpanRB dengan temuan pada hasil penelitian tentu dapat menjadi gambaran, bahan diskusi menarik, dan catatan penting bagi kita bersama, jika ke depan interoperabilitas akan benar-benar dijalankan.

Dilansir dari gametechno.com, interoperabilitas data sesungguhnya memiliki lima tujuan, diantaranya meningkatkan proteksi privasi, menyediakan data dengan lebih berkualitas, meningkatkan produktivitas dan mengurangi pengeluaran biaya, meningkatkan kepuasan pengguna jasa, serta meminimalisir keuangan.

Interoperabilitas data yang hendak dilakukan terhadap 27.400 aplikasi pemerintah bukan hal yang mudah, pemerintah harus menganalisis lebih lanjut mengenai aplikasi-aplikasi mana saja yang memang tumpang tindih ataupun sejenis. Kendala kolaborasi pun dapat menimbulkan konflik kepentingan, baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Menurut hasil penelitian Roosmawandari & Purbokusumo (2022) yang berjudul "Kendala Kolaborasi dalam Mewujudkan Interoperabilitas: Studi pada Penerapan SIPD dalam Pengendalian Pengembangan Daerah Istimewa Yogyakarta" menyebutkan bahwa interoperabilitas sistem masih memiliki beberapa kendala. Kendala tersebut merupakan kendala kolaborasi yang telah mengakibatkan interoperabilitas tidak kunjung terjadi.

Pertama, kendala kekuasaan dan sumber daya. Kedua, terdapat tantangan komunikasi, dan ketiga, yaitu belum terdapat kesepakatan mengenai tujuan bersama untuk mengintegrasikan sistem dan terdapat perbedaan kepentingan di balik tujuan masing-masing organisasi.

Kendala lainnya, yaitu terkait mekanisme tata kelola data terpusat. Seperti hasil penelitian Rinjani & Permanasari (2018) yang berjudul "Penerapan Interoperabulitas dan Keterbukaan Data di Dalam Proses Penegakan Hukum dan Peradilan Pidana", menunjukkan bahwa kesulitan di dalam mendapatkan akses data terpusat menyebabkan sering terjadinya dualisme pengembangan sistem, menimbulkan persaingan tidak sehat di lingkungan pemerintahan, kebutuhan untuk mempublikasi informasi publik menjadi terbatas dan belum sepenuhnya mendukung keterbukaan data.

Terakhir, dengan adanya interoperabilitas data diharapkan keamanan data menjadi pertimbangan utama oleh entitas yang tercakup saat menerapkan teknologi baru. Seperti yang tertulis dalam lthitsecurity.com berjudul "Pertimbangan Keamanan Data dalam Interoperabilitas Layanan Kesehatan" menyebutkan bahwa kekhawatiran keamanan data dapat membuat entitas tertutup dan pasien ragu-ragu untuk bergabung dengan dorongan interoperabilitas.

Berdasarkan ulasan di atas, penulis berpendapat bahwa interoperabilitas data sektor pelayanan publik memiliki dualisme, di satu sisi memang memiliki dampak yang postif terhadap proses tranformasi digital masyarakat Indonesia melalui penerapanan SPBE nasional, di sisi lain juga terdapat beberapa catatan terkait hambatan dan potensi terjadinya maladministrasi berupa konflik kepentingan dalam proses kolaborasi antarpemerintah, baik pusat maupun daerah. Melalui tulisan ini, penulis berharap agar pemerintah dapat mempertimbangkan hal-hal yang sudah penulis ungkap sehingga interoperabilitas dapat terwujud dengan maksimal dan kepuasaan masyarakat terhadap kualitas pelayanan pun terus meningkat. 

Saat ini eranya teknologi, mari bersama-sama mendukung upaya interoperabilitas data sektor pelayanan publik agar ke depan tidak ada lagi inovasi pelayanan publik dalam bentuk aplikasi baru, tetapi sudah saling terintegrasi, dan pada akhirnya masyarakat pun dipermudah dalam mengakses produk layanan maupun penyampaian aduan masyarakat. 



Fauziah Kurniati - Calon Asisten Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Bengkulu





Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...