Dua Lensa Pengawasan: Disipliner ala Panopticon vs Persuasif ala Ombudsman

Dua Lensa Pengawasan: Disipliner ala Panopticon vs Persuasif ala Ombudsman
Oleh: Leny Suviya Tantri
(Asisten Ombudsman Bangka Belitung)
Dalam sistem kelembagaan, pengawasan selalu menjadi pilar penting untuk memastikan bahwa segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya. Pengawasan kerap dimaknai sebagai alat kontrol yang tegas dan mendisiplinkan. Namun, bentuk pengawasan tidak selalu sama. Terdapat model pengawasan yang menekankan kontrol ketat dan pengaruh psikologis dan ada juga pengawasan yang mengandalkan pengaruh moral serta bersifat persuasif untuk mendorong perubahan. Perbedaan ini tampak jelas ketika kita membandingkan konsep pengawasan panopticon dan konsep pengawasan persuasif ala ombudsman. Keduanya sama-sama berbicara tentang mekanisme pengawasan, tetapi melalui jalur yang sangat berbeda. Pengawasan dengan mekanisme panopticon menciptakan kepatuhan melalui rasa diawasi, sementara pengawasan persuasif oleh Ombudsman menumbuhkan perbaikan melalui keyakinan dan legitimasi etis. Dengan dua pendekatan yang bertolak belakang ini, pengawasan seperti apa sebenarnya yang lebih relevan untuk mendorong perubahan berkelanjutan dalam praktik pelayanan publik?
Panopticon: Kepatuhan yang Dibentuk oleh Rasa Diawasi
Konsep The Panopticon pada awalnya diperkenalkan oleh Jeremy Bentham yang terinspirasi ketika mengunjungi Samuel Bentham di Rusia. Ia melihat bangunan melingkar dan terdapat satu titik dimana seorang manajer dapat mengawasi seluruh ruangan bangunan melalui titik tersebut. Dari arsitektur sederhana itu, Bentham menangkap sebuah prinsip penting yaitu pengawasan tidak harus dilakukan terus-menerus untuk membuat orang patuh, cukup dengan kemungkinan diawasi, kepatuhan terbentuk dengan sendirinya. Artinya pengawasan ini bersifat visible karena seseorang selalu ditempatkan dalam pemantauan permanen dan sekaligus unverifiable, sebab seseorang tidak pernah benar-benar tahu kapan ia sedang dipantau. Dengan kata lain prinsip konsep ini adalah "one is totally seen without ever seeing and one sees everything without ever being seen". Pengawasan bisa dilakukan diskontinu namun tetap memberikan efek kesadaran pengawasan yang kontinu.
Panoptikon menjadi mesin yang mengotomatisasi dan menginternalisasi kuasa sehingga seseorang akan menaklukan dirinya sendiri untuk selalu bertindak baik karena merasa terawasi. Michel Foucault kemudian mengangkat panopticon sebagai cara memahami bagaimana kekuasaan bekerja dalam masyarakat modern. Ia melihat bahwa mekanisme pengawasan tidak hanya hidup di penjara, tetapi juga meresap ke sekolah, pabrik, kantor, rumah sakit melalui apa yang ia sebut panoptisisme yaitu internalisasi pengawasan atau pengawasan yang tidak selalu hadir, tetapi selalu terasa. Kekuasaan menjadi tampak, namun tidak pernah bisa benar-benar dipastikan kapan bekerja. Justru ketidakpastian inilah yang membuat orang tetap menjaga perilaku.
Dalam praktiknya, panopticon bekerja dengan menanamkan kesadaran bahwa setiap tindakan mungkin sedang dipantau. CCTV, aturan ketat, hingga kode etik mampu berperan sebagai "mata" yang tidak selalu aktif, tetapi cukup kuat untuk menciptakan disiplin dan pada titik tertentu dapat menimbulkan rasa takut. Tak heran jika konsep ini banyak diterapkan pada ruang-ruang yang menuntut kontrol tinggi seperti penjara, sekolah, rumah sakit, atau asrama. Mekanisme ini terbukti efektif menjaga keteraturan. Namun efektivitas itu tidak datang tanpa risiko. Rasa selalu diawasi dapat menumbuhkan kepatuhan, tetapi sekaligus menimbulkan tekanan psikologis. Dalam situasi tertentu, mekanisme ini dapat berubah dari self-control yang sehat menjadi self-policing yang menekan, bahkan membuat seseorang bertindak bukan karena kesadaran, tetapi karena ketakutan.
Di titik inilah muncul pertanyaan penting: apakah pengawasan yang berbasis rasa diawasi cukup untuk mendorong perbaikan perilaku secara berkelanjutan, terutama di ruang pelayanan publik yang idealnya menumbuhkan kepercayaan, bukan kecemasan? Pertanyaan ini membawa kita pada model pengawasan lain yang tidak mengandalkan rasa takut atau tekanan, melainkan pengaruh moral, persuasi, dan legitimasi etis yaitu Magistrature of Influence.
Magistrature of Influence: Kepatuhan yang Muncul dari Kesadaran dan Pengaruh Moral
Berbeda dari pengawasan ala Panopticon yang menumbuhkan kepatuhan melalui rasa diawasi, konsep Magistrature of Influence bekerja melalui pendekatan yang jauh lebih manusiawi. Ia bertumpu pada keyakinan bahwa perubahan yang paling bertahan lama lahir dari kesadaran, bukan ketakutan. Dalam kerangka ini, pengawasan tidak hadir sebagai menara pengawas, tetapi sebagai otoritas moral yang memengaruhi, mengingatkan, dan mendorong perbaikan melalui dialog serta legitimasi etis. Di Indonesia, pendekatan ini paling jelas tercermin dalam cara kerja Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik. Inti dari Magistrature of Influence adalah menjaga martabat manusia. Pendekatan ini mengutamakan tindakan korektif yang dilakukan secara sukarela daripada sekadar menjatuhkan sanksi. Kesalahan tidak otomatis diperlakukan sebagai pelanggaran yang harus dihukum, melainkan sebagai peluang perbaikan. Kerahasiaan pun dijaga, kecuali jika pengungkapan informasi diperlukan untuk kepentingan publik. Dengan demikian, pengawasan tidak menekan, tetapi mendampingi. Model ini juga menganut stelsel aktif, yakni bersikap proaktif dalam menemukan fakta dan menyelesaikan masalah. Sebagai lembaga pengawas pelayanan publik Ombudsman tidak menunggu laporan semata, ia dapat mengambil inisiatif sepanjang langkah itu didasari kepentingan umum dan bertujuan mencegah dampak yang lebih besar. Pendekatan ini memungkinkan pengawasan hadir lebih awal, sebelum kerugian publik terlanjur terjadi. Di sisi lain, Magistrature of Influence membuka ruang bagi inklusivitas dan informalitas. Meski tetap berpegang pada fakta serta peraturan, penyelesaian melalui dialog, klarifikasi, dan pendekatan persuasif menjadi pilihan utama. Pengawasan dilakukan dengan bahasa yang menenangkan, bukan mengancam, selama tidak melanggar kepatutan maupun prinsip keadilan.
Yang tidak kalah penting, pendekatan ini mendorong perlakuan yang bijak. Standar tetap ditegakkan, tetapi ruang afirmasi diberikan bagi kelompok rentan yaitu mereka yang berpotensi tersingkir oleh penerapan prosedur yang kaku. Pengawasan menjadi tidak hanya soal memeriksa kepatuhan, tetapi juga memastikan agar keadilan substantif tetap hadir bagi semua pihak. Dengan demikian, Magistrature of Influence menawarkan wajah pengawasan yang berbeda bukan kekuasaan yang mengintimidasi, tetapi otoritas yang mengayomi. Bukan rasa takut yang menggerakkan, melainkan kesadaran dan penghormatan terhadap nilai-nilai moral. Pendekatan inilah yang menjadi penyeimbang bagi model-model pengawasan klasik dan semakin relevan dalam pelayanan publik yang menuntut empati, transparansi, dan kepercayaan.
Pada akhirnya, kedua model pengawasan ini Panopticon dan Magistrature of Influence menawarkan dua jalan berbeda dalam membentuk kepatuhan. Panopticon mengandalkan kekuatan struktur dan rasa diawasi untuk menciptakan disiplin, sementara Magistrature of Influence bertumpu pada kesadaran internal, dialog, dan legitimasi moral untuk menghadirkan perbaikan. Keduanya memiliki ruang dan relevansinya masing-masing. Dalam situasi tertentu, mekanisme disipliner memang dibutuhkan untuk menjaga keteraturan. Namun dalam pelayanan publik yang bertumpu pada kepercayaan, empati, dan interaksi manusiawi, pendekatan persuasif kerap menjadi pilihan yang lebih berkelanjutan.
Justru sintesis keduanya yang perlu dipertimbangkan yaitu pengawasan yang tegas ketika diperlukan tetapi tetap memberi ruang pada pendekatan humanis yang mendorong perbaikan. Pengawasan yang tidak hanya membuat orang takut berbuat salah, tetapi juga memahami mengapa mereka harus berbuat benar. Dalam konteks itulah Ombudsman hadir, bukan untuk menjadi menara pengawas yang mengintimidasi, tetapi sebagai penuntun moral yang menjaga agar pelayanan publik tetap berpihak pada masyarakat. Jika pelayanan publik ingin benar-benar bertransformasi, maka pengawasan tidak cukup sekadar menciptakan kepatuhan, tetapi harus mampu membangun kesadaran. Karena pada akhirnya, pelayanan yang baik bukan lahir dari tekanan, melainkan dari komitmen untuk menghormati hak-hak warga dan menjunjung martabat manusia dan pengawasan yang efektif adalah pengawasan yang membuat sistem berjalan bahkan ketika tidak ada yang sedang mengawasi.








