Dari Duka ke Tindakan: Memperkuat Perlindungan untuk Keluarga Rentan di Kabupaten Bandung

Awal September lalu, warga Banjaran, Kabupaten Bandung, dikejutkan oleh kabar duka yang mendalam. Seorang ibu, Eli Nurlaeli (34), meninggal dunia bersama dua anaknya, Alif (9) dan Arlan (11 bulan). Kisah di baliknya membuat hati kita terenyuh: suaminya, Yadi Suryadi, terjebak utang, terus ditekan penagih, dan perlahan kehilangan daya juang menghadapi himpitan ekonomi. Tragedi ini bukan hanya meninggalkan luka bagi keluarganya, tetapi juga mengguncang tetangga sekitar yang masih diliputi rasa trauma.
Namun, kisah Eli dan keluarganya lebih dari sekadar tragedi personal. Ia seperti cermin yang memantulkan betapa jaring pengaman sosial kita masih rapuh, dan dukungan psikologis yang seharusnya ada sering kali tak sampai tepat waktu. Yang memilukan, setidaknya masih ada keluarga lain di kampung yang sama yang menghadapi masalah serupa akibat jeratan rentenir. Kepergian Eli dan anak-anaknya adalah pengingat pahit bahwa sering kali, bantuan datang ketika segalanya sudah terlambat.
Data yang Mengkhawatirkan
Tragedi ini harus dilihat dalam gambaran yang lebih luas. Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung mengungkapkan, sekitar 1,4% penduduk berusia 15 tahun ke atas mengalami depresi. Namun, hanya 12,7% di antaranya yang pernah mendapatkan pengobatan. Artinya, hampir sembilan dari sepuluh orang yang berjuang dengan depresi berjalan sendiri tanpa layanan kesehatan yang memadai.
Secara nasional, gangguan jiwa bahkan menjadi penyebab utama kedua hilangnya tahun produktif akibat disabilitas. Angka bunuh diri di Indonesia tercatat 1,64 per 100.000 penduduk pada 2021 dan angka sebenarnya mungkin lebih tinggi. Jawa Barat termasuk daerah dengan prevalensi gangguan jiwa tertinggi. Sayangnya, hanya 44% puskesmas di Kabupaten Bandung yang memiliki tenaga kesehatan jiwa terlatih dan obat-obatan sesuai standar. Kesenjangan inilah yang membuat banyak keluarga rentan seperti berjalan di tepi jurang tanpa pengaman.
Regulasi Ada, tapi Implementasi Masih Lemah
Sebenarnya, Kabupaten Bandung telah memiliki Perda Nomor 12 Tahun 2022 tentang Pembangunan Ketahanan Keluarga. Perda ini menekankan delapan fungsi keluarga, mulai dari agama, sosial, perlindungan, hingga ekonomi. Tujuannya mulia: membangun keluarga yang tangguh secara psikologis dan ekonomi.
Namun, yang terjadi di lapangan sering berbeda. Program seperti Kampung KB, kelas parenting, atau trauma healing masih sering gagal menjangkau keluarga-keluarga yang paling membutuhkan, yang justru ada di ujung tanduk. Bantuan biasanya baru mengalir setelah tragedi terjadi seperti sembako, dukungan psikologis, atau janji pemberdayaan. Bagi warga, itu terasa seperti tambalan di atas luka yang sudah menganga. Yang mereka butuhkan sebenarnya adalah pendampingan sejak dini, sebelum masalah menjadi terlalu berat.
Di Sinilah Ombudsman Memainkan Peran
Lembaga seperti Ombudsman hadir bukan hanya untuk mengawasi prosedur administrasi, tetapi memastikan bahwa hak warga atas layanan publik terpenuhi. Dalam kasus Banjaran, terlihat adanya indikasi maladministrasi: lambatnya layanan, akses kesehatan jiwa yang terbatas, dan koordinasi antarinstansi yang belum optimal. Sebagaimana yang disampaikan oleh Dan Satriana, Kepala Perwakilan Ombudsman Jawa Barat yang turut menegaskan, "Bahwa perlunya sinergitas antar dinas dalam menyelenggarakan program pelayanan kepada kelompok rentan di Kabupaten Bandung".
Ombudsman dapat mendorong pemerintah daerah untuk memperbaiki sistem secara menyeluruh. Mulai dari memastikan skrining kesehatan jiwa tersedia merata di puskesmas, ketersediaan obat, hingga perlindungan nyata bagi warga dari jerat rentenir. Lebih dari itu, Ombudsman dapat mengawal agar kebijakan yang ada, seperti Perda Ketahanan Keluarga, tidak hanya jadi dokumen, tapi benar-benar dijalankan dengan semangat melindungi.
Baru-baru ini, pada 17 September 2025, Perwakilan Ombudsman Jawa Barat telah duduk bersama Sekda Kabupaten Bandung dan jajaran dinas terkait. Mereka membicarakan langkah konkret untuk memperkuat dukungan psikososial dan ketahanan keluarga rentan, agar tragedi serupa tidak terulang.
Harapan di Tengah Duka
Tragedi Banjaran mengajarkan bahwa bunuh diri bukan sekadar keputusan individu. Ia adalah hasil dari kegagalan kolektif untuk mendengar, merangkul, dan menopang sesama yang sedang terpuruk. Keluarga rentan tidak boleh dibiarkan sendirian menghadapi badai kehidupan.
Seperti disampaikan oleh Marzuqo Septianto, Asisten Ombudsman Jawa Barat, "Bahwa yang paling dinanti warga bukan hanya bantuan sembako, tapi kepastian bahwa tragedi seperti ini tidak akan terjadi lagi. Pemerintah perlu melakukan upaya untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada bantuan dan mendorong pemberdayaan ekonomi keluarga miskin. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Bandung perlu kembali melakukan refleksi atas penerapan Perda Nomor 12 Tahun 2022 tentang Pembangunan Ketahanan Keluarga yang sudah disusun baik dengan penguatan kelembagaan forum koordinasi ketahahn keluarga, pembentukan konselor ketahanan keluarga maupun aspek sistem informasi dan data ketahanan keluarga sebagai sistem deteksi dini terhadap potensi krisis psikologis pada keluarga rentan".
Di balik duka, ada harapan yang harus terus kita jaga. Kehadiran negara melalui lembaga seperti Ombudsman adalah pintu menuju perubahan untuk memastikan bahwa setiap keluarga, seberat apa pun masalahnya, tetap merasakan bahwa ada tangan yang siap menggenggam dan membimbing mereka keluar dari kesulitan.
Penulis: Marzuqo Septianto
Asisten Ombudsman RI Provinsi Jawa Barat