Dampak Sikap Prokrastinasi terhadap Kinerja Instansi

Ada jargon yang akrab kita dengar. Kalau bisa dipercepat, kenapa diperlambat. Kalau bisa sekarang, kenapa menunggu besok. Dalam urusan pelayanan publik, tidak sedikit masyarakat kecewa menyampaikan keluhan melalui kolom komentar media sosial penyelenggara layanan, menyampaikan pengaduan ke kanal pengelola pengaduan internal instansi, atau menyampaikan laporan ke Ombudsman, dikarenakan urusan permohonan layanan publik yang diaksesnya tidak kunjung selesai, lambat hingga melewati batas waktu yang telah diatur. Bila ingin urusan cepat selesai, terkadang berupaya menggunakan jasa perantara atau calo, atau berpikiran lebih baik hilang uang dari pada hilang waktu, secara sengaja atau justru diminta membayar biaya lebih dari tarif biaya resmi, bila dilakukan oleh penyelenggara disebut istilah pungli, bila dilakukan oleh pemohon dengan maksud demikian maka terkategori sebagai gratifikasi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi urusan pelayanan publik menjadi lambat. Di luar dari kendala sistem yang menyebabkan gangguan secara teknis penyelesaian urusan layanan, faktor tadi diantaranya disebabkan oleh instansi yang tidak menyusun atau mematuhi standar pelayanan jangka waktu, tidak transparan mempublikasikan informasi jangka waktu penyelesaian layanan, dampaknya layanan yang diberikan tidak akuntabel mengacu pada standar operasional prosedur yang seharusnya. Padahal publikasi jangka waktu penyelesaian layanan, termasuk dalam standar yang wajib disusun untuk disampaikan kepada publik (service delivery) merupakan hak publik untuk turut mengawasinya, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 huruf b UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Tidak menyusun, menaati, dan mempublikasikan standar jangka waktu penyelesaian, berarti penyelenggaraan pelayanan publik yang dilaksanakan tidak sesuai dengan asas pelayanan publik menyangkut keterbukaan, akuntabilitas, dan ketepatan waktu, sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 UU Pelayanan Publik.
Kemudian bila instansi penyelenggara layanan telah menetapkan dan mempublikasikan standar jangka waktu penyelesaian, serta semua layanan telah terjamin bersih dari calo dan uang pelicin, akan tetapi pelayanan masih lambat berdasarkan adanya respon publik. Maka faktor penyebabnya adalah dari sisi pelaksana layanan yang masih terjebak dalam kebiasaan yang disebut istilah "Prokrastinasi". Istilah ini secara umum menggambarkan suatu kebiasaan seseorang yang suka menunda-nunda pekerjaan.
Kebiasaan ini tidak hanya merugikan bagi diri pribadi pelaksana layanan, karena kurangnya motivasi untuk memberikan pelayanan prima, maka produktifitas seolah diam di tempat. Bekerja hanya dilandasi dikarenakan tuntutan hak, sedikit kesadaran bahwa dirinya sebagai Aparatur Sipil Negara, dibebani kewajiban sebagai pelayan publik untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Sedangkan kerugian bagi instansi penyelenggara layanan, sikap Prokrastinasi membawa dampak tidak baik terhadap ritme pola kerja, pembagian beban kerja menjadi tidak seimbang, termasuk mempengaruhi suasana semangat kerja di lingkungan kerja secara internal, secara eksternal, pelayanan yang lambat berbelit, menimbulkan apatisme publik bahwa layanan yang diberikan oleh instansi sebenarnya berorientasi pada kepentingan publik.
Upaya yang dapat dilakukan, untuk menjamin kepastian layanan sesuai standar waktu yang ditetapkan, merujuk pada dua aspek. Pada aspek sistem penyelenggara pelayanan, perlu disusun, ditetapkan, diterapkan, dan mempublikasikan secara transparan terkait standar jangka waktu pelayanan. Karena sudah menjadi kewajiban bagi penyelenggara layanan publik untuk menyusun standar pelayanan publik, dimana salah satunya adalah standar jangka waktu pelayanan, paling lama 6 (enam) bulan setelah PP No. 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2009 diterbitkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 Ayat (1) PP tersebut.
Kemudian penyelenggara pelayanan perlu memuat kompensasi pelayanan kepada publik, apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan, salah satunya ketepatan waktu penyelesaian pelayanan. Kompensasi pelayanan yang diterapkan, kemudian perlu dibunyikan dalam maklumat pelayanan sebagai janji penyelenggara memberikan pelayanan sesuai prosedur. Adapun kompensasi pelayanan tersebut, tidak mesti berupa barang atau materi, tetapi dapat berupa layanan prioritas contohnya mengantarkan produk layanan langsung ke alamat pemohon secara gratis. Tujuannya, agar kompensasi layanan ini menjadi rambu pengingat bahwa segala layanan yang tidak sesuai prosedur, berkonsekuensi keterikatan terhadap hak pemohon dengan adanya tanggung jawab dari penyelenggara layanan.
Upaya selanjutnya perlu mencakup kepada aspek pelaksana layanan. Ketepatan waktu dalam memberikan pelayanan dan menyelesaikan tanggung jawab pekerjaan dengan baik, termasuk dalam salah satu tujuan dari pelayanan prima, serta termasuk dalam prestasi kerja. Maka instansi penyelenggara layanan perlu memberikan penghargaan, kepada pelaksana layanan yang memiliki prestasi kerja. Sebaliknya penyelenggara layanan perlu memberikan hukuman, kepada pelaksana layanan yang melakukan pelanggaran ketentuan internal instansi, termasuk menunda-nunda urusan layanan. Adapun ketentuan pemberian reward and punishment tersebut, telah diwajibkan kepada penyelenggara sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (2) dan (3) UU Pelayanan Publik.
Diharapkan dengan adanya penghargaan, akan membuat pelaksana merasa diakui akan upaya kerja keras dan etos kerjanya yang baik dalam melaksanakan pelayanan publik. Hukuman yang diberikan, ditujukan agar pelaksana dapat mengevaluasi diri, tepat waktu menyelesaikan seluruh urusan tugas, tidak terjebak dalam sikap Prokrastinasi yang lambat laun akan menurunkan produktifitas kinerja yang bersangkutan.
Tidak dipungkiri, sulit untuk menemukan instansi atau dinas yang telah melaksanakan fungsi kinerja kedinasan, sesuai dengan jumlah sumber daya manusia yang dibutuhkan dinas, sebagaimana idealnya menurut analisis beban kerja (ABK) yang ditetapkan. Keadaan yang diketahui Penulis, bahwa instansi atau dinas kekurangan jumlah ASN. Dampaknya, ASN sebagai pelaksana layanan akan melakukan pekerjaan ditambah beban kerja kedinasan lainnnya, yang berpotensi menimbulkan keadaan stress. Sistem reward dan punishment bertujuan menciptakan lingkungan kerja yang produktif, memotivasi pelaksana terus berinovasi guna melaksanakan pelayanan publik yang efektif dan efisien, dengan penghargaan yang pantas atas usahanya. Suasana kerja yang produktif, diharapkan mendorong pelaksana yang masih terjebak dalam sikap Prokrastinasi, membawa semangat untuk berubah ke arah etos kerja positif dan produktif.
Oleh:
Benny Sanjaya
Asisten Ombudsman