Ciptakan Wow Service Culture Pelayanan Publik di Era Disrupsi Digital
Berbicara pelayanan publik tentu tidak terlepas dari peran masyarakat sebagai pengguna layanan maupun pengawas eksternal atas suatu produk layanan di sebuah penyelenggara pelayanan publik.
Jika masyarakat memiliki pengalaman buruk atas suatu pelayanan publik, maka ia dapat menceritakan pengalaman tersebut kepada pengguna layanan lainnya, baik melalui word of mouth maupun kanal media sosial sehingga dapat memungkinkan terciptanya persepsi masyarakat yang negatif. Menyikapi hal tersebut, maka sudah seharusnya penyelenggara pelayanan publik berpikir keras tentang bagaimana menciptakan wow service culture kepada masyarakat.
Service culture didefinisikan sebagai suatu pelayanan terbaik dalam memenuhi harapan dan kebutuhan customer dengan pemenuhan standar kualitas yang telah ditentukan. Service culture juga dimaknai sebagai suatu bisnis yang menempatkan layanan sebagai inti budaya organisasi (Curtis & Upchurch 2008).
Terdapat tiga faktor penentu wow service culture, yaitu wow marketing, wow product, and wow services. Sudahkah ketiganya benar-benar diperhatikan oleh para penyelenggara pelayanan publik? Ataukah selama ini hanya berfokus pada wow services? Yang hasilnya pun belum tentu mendapatkan hasil maksimal atas penilaian survei kepuasan masyarakat.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh para penyelenggara pelayanan publik agar tercipta wow service culture, yaitu melalui peningkatan kualitas pengalaman (best experience) masyarakat atas sebuah produk layanan. Nasution, dkk. (2004) mengatakan bahwa akumulasi dari pengalaman yang telah dirasakan setelah melakukan konsumsi menimbulkan perubahan berupa perubahan tingkat kepercayaan, kepuasan, hingga kesetiaan pelanggan pada produk atau service tertentu.
Di Era Society 5.0, era yang penuh dengan disrupsi digital tentu dapat menjadi ancaman sekaligus peluang bagi kemajuan sektor pelayanan publik. Dalam buku bertajuk "Hug Your Haters", Jay Baer memberikan gambaran bahwa adopsi teknologi (mobile computing dan media sosial) serta pergeseran perilaku konsumen mengharuskan kita mengubah cara berinteraksi dengan pelanggan.
Dikutip dari laman pqm.co.id, terdapat empat arah layanan pelanggan yang diperlukan di era disrupsi digital, yaitu menyajikan layanan yang proaktif, menyediakan solusi melalui sarana self-service, membangun layanan berbasis komunitas, dan menciptakan aplikasi khusus untuk layanan pelanggan.
Wow service culture melalui pendekatan best experience di era disrupsi digital tentu menghadirkan tantangan tersendiri bagi penyelanggara pelayanan publik, mulai dari kecakapan digital para pertugas pengelola pengaduan, sarana dan prasarana serta pentingnya pemahaman akan tren industri pelayanan publik yang saat ini dibutuhkan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis berharap agar para penyelenggara pelayanan publik dapat memberikan pelatihan-pelatihan yang mendukung terciptanya kecakapan digital bagi para pengelola pengaduan. Selain itu, pihak penyelenggara pelayanan publik juga harus melakukan riset pasar terkait customer behavior agar pelayanan yang diberikan pun sesuai dengan ekspektasi dan kebutuhan masyarakat saat ini.
Fauziah Kurniati - Calas Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Bengkulu