• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Ancaman Normalisasi Pada Kasus Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak
PERWAKILAN: KALIMANTAN SELATAN • Rabu, 19/02/2025 •
 
Rizki Arrida, Asisten Ombudsman

Fenomena eksploitasi atau mempekerjakan anak di bawah umur masih marak terlihat di sekitar kita; khususnya di daerah publik yang ramai seperti pertokoan, area lampu merah, bahkan di lingkungan tempat ibadah yang sering disinggahi masyarakat. Fenomena ini terlihat dalam berbagai bentuk, misalnya anak yang menjajakan makanan ringan dan minuman, anak berkostum atau dikenal sebagai badut jalanan, pertunjukkan manusia silver di pinggir jalan, hingga pelibatan bayi, balita, hingga anak usia pendidikan dasar yang digendong atau diajak untuk mengemis oleh orang tua.

Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana penegakkan hukum untuk melindungi anak dari eksploitasi ekonomi ternyata masih belum berjalan dengan efektif. Hukum di Indonesia secara tegas dan eksplisit melarang eksploitasi ekonomi/mempekerjakan anak, melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian 'eksploitasi' adalah pengusahaan; pendayagunaan; pemanfaatan untuk keuntungan sendiri; pengisapan; pemerasan (tentang tenaga orang). Adapun eksploitasi ekonomi terhadap anak sebagaimana penjelasan pada Pasal 13 ayat (1) huruf b Undang-Undang Perlindungan Anak, berarti 'Perlakuan eksploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.'

Pasal 13 ayat (1) menyebutkan bahwa anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan, salah satunya yaitu dari eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual. Kemudian pada Pasal 76I mengatur bahwa "Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak." Hukuman mengenai tindakan eksploitasi ekonomi terhadap anak juga telah diatur pada Pasal 88, yaitu pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau denda paling banyak dua ratus juta rupiah. Berdasarkan ketentuan hukum ini, larangan dan sanksi tidak hanya dikenakan kepada pelaku, namun juga terhadap setiap orang yang membiarkan terjadinya eksploitasi ekonomi terhadap anak.

Ketentuan mengenai larangan dan sanksi telah dibuat sejak tahun 2002, namun mengapa fenomena ini terus muncul dan penegakkan hukumnya belum bisa berjalan dengan efektif? Menurut penulis, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah kurangnya partisipasi dan kepedulian masyarakat dalam penanggulangan isu ini. Padahal menurut pasal 20 Undang-Undang Perlindungan Anak, unsur masyarakat termasuk dari salah satu pihak yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menyelenggarakan perlindungan anak.

Alih-alih berpartisipasi aktif atau mendukung penyelenggaraan perlindungan anak, seringkali masyarakat justru melakukan kebiasaan yang secara tidak langsung malahan 'menyuburkan' praktik eksploitasi anak tersebut. Budaya berbagi dan saling membantu sesama yang cukup kental di masyarakat menjadi salah satu faktor penyebab mengapa praktik eksploitasi anak secara ekonomi semakin marak. Perasaan simpati ketika melihat ada anak kecil yang berjualan, mengamen, hingga meminta-minta ini kemudian dimanfaatkan untuk meraih keuntungan pribadi oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas anak-anak tersebut. Fenomena yang awalnya bagi sebagian orang terlihat memilukan dan menimbulkan keprihatinan, apabila terus menerus terjadi maka sangat berpotensi menjadi sesuatu yang dianggap normal/wajar. Normalisasi terhadap fenomena eksploitasi anak secara ekonomi inilah yang berbahaya dan sangat berpotensi menghambat upaya bersama untuk menanggulanginya.

Meskipun hukum telah mengatur larangan dan sanksi, namun kurangnya tekanan sosial dari masyarakat yang menunjukkan kepedulian terhadap fenomena ini akan sangat mempengaruhi bagaimana hukum tersebut dapat ditegakkan. Semakin masif perhatian dari masyarakat terhadap fenomena eksploitasi anak ini, maka semakin besar tekanan sosial yang dihasilkan.

Bentuk kepedulian dan perhatian masyarakat yang berdampak dalam penanggulangan eksploitasi ekonomi pada anak dapat dimulai dari menghentikan kebiasaan memberikan uang terhadap segala bentuk eksploitasi ekonomi terhadap anak. Perlu adanya peningkatan kepekaan sosial dan hukum bagi masyarakat, agar semakin mampu memahami bahwa fenomena ini merupakan perbuatan yang tidak normal dan suatu bentuk pelanggaran berat atas hukum yang berlaku, selain itu juga menciptakan kesadaran untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang apabila melihat/menemukan adanya praktik tersebut.

Menteri Sosial melalui Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 telah menghimbau seluruh Kepala Daerah untuk melakukan pencegahan praktik eksploitasi ekonomi pada anak, serta meminta semua pihak untuk dapat melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau ditindaklanjuti melalui Satuan Polisi Pamong Praja di daerah. Semakin banyak masyarakat yang kritis dan mau melapor, maka semakin besar tekanan sosial yang berdampak terhadap penegakan hukum. Khususnya di era digital sekarang, dimana masyarakat luas semakin mudah berkomunikasi, berserikat, dan menyampaikan pendapatnya melalui media sosial maupun grup-grup perpesanan, maka tekanan sosial menjadi lebih cepat dan mudah terbentuk.

Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi aktif dan melaporkan pelanggaran hukum terkait eksploitasi ekonomi pada anak, diharapkan mampu membentuk tekanan sosial yang memberi pengaruh bagi para pemangku kebijakan untuk semakin memperkuat upaya penanggulangan melalui perumusan dan implementasi kebijakan, serta penegakkan hukum terkait eksploitasi ekonomi pada anak. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak terkait inilah yang diharapkan menjadi upaya kolektif sebagaimana amanat Undang-Undang Perlindungan Anak, guna menciptakan kondisi aman dan nyaman bagi semua anak, serta memastikan mereka mendapatkan kesempatan yang layak untuk berkembang dan meraih masa depan yang lebih baik.

 






Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...