Tingginya Kasus PMI Non-Prosedural, Ombudsman NTT Desak Perbaikan Layanan dan Pengawasan

KUPANG - Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Nusa Tenggara Timur menegaskan pentingnya peningkatan kualitas pelayanan publik dalam perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Hal ini disampaikan dalam pertemuan dengan Deputi Bidang Koordinasi Hak Asasi Manusia Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan RI, Ibnu Chuldun dan jajaran di Kantor Ombudsman NTT, Rabu (22/10/2025).
Kunjungan tersebut bertujuan memperkuat koordinasi dan sinkronisasi kebijakan pelayanan publik di bidang hak asasi manusia, khususnya dalam perlindungan PMI di NTT. Berdasarkan data Kemenko Polhukim, sepanjang tahun 2025 terdapat 295 pengaduan terkait PMI asal NTT, di mana 277 di antaranya (93,9%) merupakan PMI non-prosedural. Tingginya angka penempatan non-prosedural menunjukkan masih lemahnya tata kelola pelayanan publik di sektor ketenagakerjaan.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi NTT, Darius Beda Daton, menegaskan bahwa perlindungan PMI harus dimulai sejak tahap awal proses penempatan. "Pelayanan publik dalam bidang ketenagakerjaan harus menjamin hak-hak buruh migran sejak pendaftaran hingga pemberangkatan. Prinsipnya, layanan harus mudah, murah, cepat, aman, dan terintegrasi," ujarnya.
Ombudsman NTT menilai, keberadaan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) perlu dioptimalkan agar benar-benar berfungsi sebagai pusat pelayanan dan perlindungan bagi calon PMI. LTSA diharapkan mampu mengintegrasikan seluruh proses administrasi yang melibatkan berbagai instansi, seperti Dinas Tenaga Kerja, Imigrasi, Dukcapil, Kepolisian, BPJS Ketenagakerjaan, hingga layanan kesehatan. "LTSA dibentuk untuk memastikan pelayanan pekerja migran berlangsung transparan dan terkoordinasi, sehingga potensi maladministrasi dapat dicegah sejak awal," lanjut Darius.
Selain optimalisasi LTSA, Ombudsman NTT juga menekankan pentingnya pengawasan terhadap Balai Latihan Kerja (BLK) di NTT. Ia mendorong agar perusahaan penempatan PMI bekerja sama dengan BLK lokal untuk melaksanakan pelatihan pra-penempatan, sekaligus mempermudah pengawasan terhadap standar pelatihan. "Kami ingin memastikan bahwa setiap calon PMI mendapatkan pelatihan yang layak dan sesuai standar, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8 Tahun 2017 tentang Standar Balai Latihan Kerja," tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Koordinasi HAM, Dr. Ibnu Chuldun, mengapresiasi langkah Ombudsman NTT dalam pengawasan pelayanan publik terkait PMI. Ia menilai sinergi antara pemerintah daerah, Ombudsman, dan instansi teknis sangat penting untuk menekan angka penempatan non-prosedural. "Perlindungan pekerja migran tidak bisa dilakukan secara parsial. Diperlukan regulasi daerah, literasi masyarakat, dan kolaborasi lintas instansi," ujarnya.
Ombudsman NTT berkomitmen untuk terus melakukan pengawasan dan memberikan rekomendasi perbaikan kepada instansi terkait agar pelayanan publik di bidang penempatan dan perlindungan pekerja migran berjalan sesuai prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan.
"Perlindungan pekerja migran adalah bentuk nyata hadirnya negara. Ombudsman RI akan terus memastikan setiap warga negara mendapat pelayanan publik yang manusiawi dan berkeadilan," tutup Darius.








