Tantangan Pendidikan di NTT, dalam Upaya Meningkatkan Akses Dan Mutu

KUPANG - Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi NTT Darius Beda Daton menghadiri undangan RRI Kupang dalam dialog Kupang Pagi dengan tema "Tantangan Pendidikan di NTT, Upaya Meningkatkan Akses dan Mutu" Kamis (20/6/2024).
Dialog ini menghadirkan Ayub Sanam, Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Provinsi NTT dan Prof. Tans Feliks, Direktur Pascasarjana Undana Kupang. Dalam dialog ini, Dinas Pendidikan Provinsi NTT menggambarkan kondisi pendidikan di NTT, mulai dari mutu layanan pendidikan, akses dan tata kelolah pendidikan (akreditasi). Saat ini, provinsi NTT memiliki jumlah sekolah menengah sebanyak 1.013 sekolah, baik negeri maupun swasta yang menampung 351.577 siswa/siswi.
Angka ini mencatat NTT sebagai 10 besar provinsi dengan sekolah menengah terbanyak dimana 615 adalah SMA dan 351 SMK serta 47 SLB. 164 sekolah diantaranya terakreditasi A. Jumlah guru yang mengajar sebanyak 31.000 dan hanya 8000 yang berstatus PNS. Dari sisi kompetensi guru, jumlah guru SMA yang disertifikasi baru sejumlah kurang lebih 5.000 dari 18.000 guru atau baru 22%. Sedangkan untuk tingkat SMK, guru sertifikasi baru mencapai 2.585 guru dari 9.000 guru SMK.
Ratio guru di NTT adalah 1 : 11 siswa dibanding ratio guru nasional 1 : 36 siswa. Artinya jumlah guru di NTT sudah cukup. Yang perlu menjadi atensi seluruh stakehoder pendidikan adalah mutu layanan pendidikan, akses yang belum merata dan tata kelolah.
"Pada kesempatan tersebut saya menegaskan bahwa pendidikan adalah hak dasar warga yang diatur konstitusi," ujar Darius dalam dialog.
"Karena itu setiap anak seharusnya memiliki hak untuk mendapat pendidikan yang layak agar mereka memiliki masa depan dan meraih cita-cita mereka. Akses pendidikan yang layak masih belum dirasakan oleh semua anak, khususnya anak-anak di wilayah 3 T (Tertinggal, Terpinggir dan Terluar)," lanjutnya.
Kondisi pendidikan yang demikian disebabkan beberapa hal; pertama, tingkat ekonomi masyarakat masih rendah; kedua, akses lokasi yang sulit dijangkau; ketiga, kurang tenaga pengajar. Keempat, fasilitas pendidikan yang tidak merata, dimana anyak gedung sekolah yang rusak sedang dan berat.
Darius menggarisbawahi bahwa akses pendidikan di NTT belum sama juga disebabkan karena biaya pendidikan yang relatif mahal. Pungutan satuan pendidikan di sekolah negeri yang berkisar Rp 50.000 - Rp. 200.000/siswa/bulan terasa cukup memberatkan, terutama bagi para siswa yang orang tuanya tidak mampu. Diperlukan afirmasi khusus bagi anak-anak tidak mampu agar mereka memiliki kesempatan yang sama untuk sekolah.
"Banyak anak-anak yang tidak bisa mengambil ijasah setelah menamatkan pendidikan di sekolah menengah karena tidak mampu membayar tunggakan pungutan satuan pendidikan. Karena itu khusus pungutan satuan pendidikan dan sumbangan komite, perlu dihitung dengan baik agar tidak memberatkan orang tua tidak mampu. Untuk menentukan besaran pungutan satuan pendidikan, sekolah wajib menghitung berapa kebutuhan riil siswa per tahun setelah dihitung kebutuhan yang didanai BOS," lanjutnya.
Menutup, Darius menegaskan tahapan yang memerlukan konstribusi orang tua diperlukan komunikasi bersama agar transparan serta penggunannya akuntabel.