Pungutan Sekolah Negeri Dikeluhkan Wali Murid, Ombudsman NTT Minta Sekolah Patuh pada Arahan Rasionalisasi Biaya

KUPANG - Tahap pendaftaran ulang Penerimaan Murid Baru (PMB) tahun ajaran 2025 untuk SMA, SMK, dan Madrasah di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur akan berakhir pada Rabu (25/6/2025). Namun, keluhan dari para orangtua terkait besarnya biaya pendaftaran ulang di sekolah-sekolah negeri terus berdatangan ke Ombudsman RI Perwakilan NTT.
Berbagai item pungutan yang dimasukkan ke dalam biaya pendaftaran ulang dianggap memberatkan orang tua. Beberapa sekolah negeri seperti SMAN 5 Kota Kupang, SMAN 2 Kota Kupang, dan SMAN 1 Fatuleu dilaporkan masih membebankan biaya untuk seragam batik khusus, topi, dasi, uang pembangunan, serta sumbangan 8 standar pendidikan. Sebagai contoh, SMAN 5 Kota Kupang disebut memungut biaya pendaftaran hingga Rp 2,2 juta yang mencakup sumbangan 8 standar pendidikan sebesar Rp 900 ribu, belum termasuk sumbangan komite sebesar Rp 150 ribu per bulan per siswa, sama seperti tahun sebelumnya.
Praktik serupa juga terjadi di berbagai sekolah negeri lainnya, baik yang telah dilaporkan maupun belum. Padahal, Dinas Pendidikan Provinsi NTT sebelumnya telah menginstruksikan seluruh kepala sekolah untuk melakukan rasionalisasi sumbangan komite, dengan menyesuaikan jumlah guru honorer yang telah dialihkan menjadi ASN-P3K serta mengurangi honor tugas tambahan guru yang sebelumnya menggunakan dana dari sumbangan komite.
Arahan tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil pertemuan antara Gubernur NTT, Dinas Pendidikan, dan Ombudsman RI NTT beberapa waktu lalu.
"Kami telah menghubungi sejumlah kepala sekolah yang dilaporkan untuk meminta peninjauan ulang terhadap besaran biaya pendaftaran ulang yang dibebankan kepada orang tua murid," ujar Kepala Perwakilan Ombudsman RI NTT, Darius Beda Daton.
Selain itu, pada Selasa malam (24/6/2025), Ombudsman juga telah berkoordinasi langsung dengan Gubernur NTT dan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi NTT, guna meminta atensi khusus terhadap sekolah-sekolah yang belum melakukan rasionalisasi pungutan dan bahkan menambah item baru seperti pungutan uang pembangunan atau sumbangan 8 standar pendidikan.
Pungutan semacam itu seharusnya menjadi tanggung jawab negara, atau minimal diambil dari sumbangan komite yang telah tersedia dan disepakati sesuai regulasi.
Tak hanya di tingkat menengah, praktik pungutan juga masih terjadi di jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) negeri yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Padahal, pendidikan dasar 9 tahun semestinya gratis.
Pungutan di jenjang SD dan SMP dilaporkan berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000, terdiri dari biaya seragam nasional, seragam pramuka, batik khusus, topi, dasi, pungutan komite (Rp 20.000-50.000/bulan/siswa), pungutan paguyuban kelas (Rp 10.000-15.000/bulan/siswa, seperti di SMPN 1 Soe), hingga pungutan uang pembangunan, uang cenderamata (seperti di SMPN 1 Adonara Barat), dan tes IQ.
"Kami minta agar seluruh sekolah mematuhi arahan Dinas Pendidikan dan tidak membebankan pungutan yang tidak perlu. Tujuannya agar tidak ada anak-anak NTT yang kehilangan kesempatan untuk bersekolah karena alasan biaya," tegas Darius.
Ombudsman RI NTT mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama mewujudkan pendidikan yang inklusif, adil, dan menjangkau semua anak-anak NTT, baik dari keluarga mampu maupun tidak mampu.
"Mari kita wujudkan pendidikan untuk semua. Kita bisa," tutupnya.








