Penyelenggaraan Pelayanan Publik Harus Good Governance dan Good Judisial

Jakarta- Ombudsman RI memiliki tugas untuk mengawasi terjadinya dugaan maladministrasi dan memeriksa penggunaan anggaran negara digunakan dengan baik atau tidak. Pada penyusunan hukum peradilan terdapat dasar penyelenggaraan pelayanan publik yang harus berbasis prinsip good governance dan good judisial dengan melakukan sinkronisasi dan harmonisasi regulasi.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih saat menjadi narasumber dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) "Keputusan Ketua Mahkamah Agung tentang Transformasi Pelayanan Publik pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya" pada Kamis (03/08/2023) di Hotel Holiday Inn Kemayoran.
"Ketika regulasi tidak tepat, akan menimbulkan ketidak kepastian hukum yang akhirnya akan terjadi ketidakadilan dalam hukum," ungkap Najih.
Dalam paparannya, Najih menjelaskan terkait tujuan dari pelayanan publik yaitu, terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaran pelayanan publik. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik. Terpenuhinya sistem penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaran pelayanan publik.
"Untuk pelayanan pada peradilan mungkin berupa terpenuhinya layanan-layanan untuk terselenggarakannya peradilan. Seperti pemenuhan standar layanan bagi difabel, penerjemah bahasa asing, posisi bagi penerjemah bahasa asing, pemenuhan sarana yang dapat bermanfaat bagi pemohon informasi, dan layanan administrasi berupa output dari hasil peradilan. Ini semua diperlukan perhatian konstruksi yang baik sehingga standar pelayanan dapat terpenuhi," terang Najih.
Komponen standar pelayanan publik berupa dasar hukum, persyaratan, sistem, mekanisme, prosedur, jangka waktu, biaya, produk layanan, sarana prasarana pendukung, kompetensi pelayanan, dan penanganan pengaduan. "Ombudsman RI menggunakan komponen tersebut untuk menilai standar pelayanan publik di pemerintahan daerah, kementerian, dan lembaga. Namun, kami belum melakukan penilaian pada lembaga peradilan karena kami ingin melakukan dialog terlebih dahulu sebelum melakukan penilaian," jelas Najih.
Terkait transformasi pelayanan publik pada peradilan, Najih mengatakan implikasi transformasi pelayanan publik terhadap pelayanan di lingkup peradilan dapat dalam bentuk konvensional, e-court, dan e-litigasi. Bentuk konvensional dapat berupa pelayanan manual dengan cara face to face, e-court berfungsi untuk pendaftaran gugatan pembayaran perkara notifikasi secara online serta pemanggilan (relasi panggilan) secara online, sedangkan e-litigasi dilakukan secara menyeluruh terhadap persidangan mulai dari permohonan pendaftaran perkara sampai persidangan hingga putusan.
Diakhir paparannya, Najih memberikan saran terhasap draft regulasi transformasi pelayanan publik dalam lingkup peradilan yaitu pertama, penguatan pada kepatuhan pada asas-asas hukum (prisip pelayanan publik dan good governance). Kedua, membuka ruang inovasi partisipatif dengan menyempurnakan blue print Mahkamah Agung, membentuk unit penanggung jawab, dan kebijakan satu pintu. Ketiga, menjamin keberlanjutan dan kesinambungan penyelenggaraan. Keempat, menghadirkan kepercayaan kepada lembaga peradilan disemua tingkatan.
"Selain kita melakukan sinkronisasi dan harmonisasi, perlu melakukan model lain dengan mengkoreksi regulasi yang ada dan diringkas menjadi satu untuk menghindari ketidak sinkronisasi dan harmonisasi, ini dapat diterapkan di regulasi lain," saran Najih. (HA/MFDM)