• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Pengelolaan Manajemen SDM Papua Barat Masih Buruk
PERWAKILAN: PAPUA BARAT • Senin, 10/08/2020 •
 
Musa Yosep Sombuk. [FOTO: PBNEWS/NANU BELANG]

Manokwari, papuabaratnews.co - Penetapan 1.283 pegawai honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) dilingkungan Pemerintah Provinsi Papua Barat, dinilai tidak terbuka dan tidak transparan oleh sejumlah kalangan.

Sejumlah laporan dari warga terkait data siluman dalam pengangkatan 771 CPNS dan 512 P3K yang masuk ke Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Papua Barat, mengindikasikan permasalahan tersebut.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Papua Barat, Musa Yosep Sombuk, memandang permasalahan itu muncul karena masih buruknya pengelolaan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) di Papua Barat.

"Kami menilai pengelolaan manajemen SDM masih buruk, karena masih ada laporan yang kita terima terkait keluhan tenaga honorer yang namanya hilang dan ada juga yang selama ini tidak  bekerja tapi diangkat jadi CPNS," ujar Musa Yosep Sombuk kepadaPapua Barat newsdi Manokwari, Kamis (6/8/2020).

Musa mempertanyakan transparansi Pemerintah Daerah dalam menentukan tenaga honorer yang lulus dalam seleksi tersebut, karena tidak ada pengumuman secara resmi baik dari Gubernur Papua Barat dan Badan Kepegawaian Daerah yang memuat nama-nama peserta seleksi yang lolos menjadi CPNS melalui ruang-ruang publik seperti media masa lokal ataupun melalui website resmi Pemerintah.

"Pengumuman yang ditandatangani resmi oleh Pemerintah, belum ada sampai sekarang. Pemerintah hanya menyebutkan ada 1.283 orang, tapi dari mana peserta seleksi itu tahu kalau mereka lulus sedangkan tidak ada pengumumannya ? kalau ada pengumuman, mana buktinya?" Tanya Musa.

Dia melanjutkan, ketidakpastian itu ditambah lagi dengan keluhan beberapa tenaga honorer yang tidak dipanggil untuk mengikuti apel pengangkatan, pada Senin (3/8/2020), di Kantor Gubernur Papua Barat. Selain itu, ada laporan yang diterima Ombudsman terkait sejumlah nama yang selama ini bukan sebagai tenaga honorer (Data siluman) tetapi dingkat menjadi CPNS.

"Nah, tiba-tiba ada apel, yang dipanggil untuk ikut apel ini dasarnya apa? Pengumuman saja tidak ada tapi ada apel dan siap untuk pemberkasan. Semua itu bisa dilakukan berdasarkan adanya pengumuman. Makanya ada yang kecewa," kata dia.

Musa menambahkan, saat ini ada sekian banyak orang yang mengikuti apel dan diarahkan untuk melengkapi berkas yang tentu akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Hal tersebut akan menimbulkan persoalan baru, apabila mereka tidak termasuk dalam tenaga yang lolos dari proses seleksi karena belum ada pengumuman.

Dia lalu menegaskan, pernyataan yang disampaikan oleh Pemerintah Provinsi tentang pengangkatan 1.283 tenaga honorer menjadi CPNS dan P3K bukanlah pernyataan resmi Pemerintah dan tidak bisa dipegang sebagai dasar hukum. Hal itu hanya menimbulkan ketidak pastian hukum, karena pengumuman hasil harus ditandatangani resmi dan disertakan dengan tembusan yang ditujukan kepada DPR Papua Barat, MRP Provinsi Papua Barat dan instansi diatasnya seperti KemenPAN RB ataupun Badan Kepegawaian Nasional.

"Kami beranggapan bahwa yang terjadi saat ini adalah Pemerintah menyebarkan rumor tentang pengangkatan tenaga honorer jadi PNS. Karena perekrutan dan pengangkatan Aparatur Negara harus terbuka kepada publik. Bukan sembunyi dan kerja gelap-gelap. Sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten. Walaupun hasilnya kemudian menuai protes, tetapi pengumumannya dilakukan secara terbuka kepada publik," tegas Musa.

Ia juga menilai bahwa, langkah yang ditempuh oleh Pemerintah Provinsi dan sejumlah Kabupate/Kota yang berupaya menemui MenPAN RB dan Presiden Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan hasil seleksi CPNSD di sejumlah daerah di Papua Barat, menggambarkan manajemen pengelolaan SDM di Papua Barat masih buruk.

"ini persoalan yang sangat klise. Masalahnya sama, proses penyelesaiannya sama dan hasilnya kemungkinan sama. Sudah hampir 20 tahun Otsus Papua, penyelesaian persoalan ini hanya dilakukan dengan lobi ke pusat dan ujungnya adalah kekecewaan. Kita hanya berpegang pada sesuatu yang tidak pasti," ujarnya.

Persoalan CPNSD, menurut Musa selalu butuh perjuangan termasuk lobi ke pusat yang tentu saja megandung konsekuensi tertentu, termasuk janji dan dorongan-dorongan tertentu yang bisa jadi menimbulkan dampak.

"kalau berbicara janji pasti arahnya ke politik. Ini mengesankan bahwa ada ketidakkonsistenan antarapolitical will dengan realita," tambah Musa.

Musa mengungkapkan, persoalan CPNSD masih merupakan standar pekerjaan yang begitu menjanjikan baik bagi masyarakat maupun Pemerintah Daerah sehingga tidak ada upaya memaksimalkan para pencari kerja untuk terjun ke dunia kewirausahaan dan pekerjaan-pekerjaan swasta lainnya. Hal inilah yang seringkali memanjakan Pemerintah untuk tidak kreatif mengelola sumber daya yang ada untuk kesejahteraan rakyat, sesuai dengan visi-misi pembangunan yang semula menjadi janji politik.

"Kita lihat bangunan BLK terkesan mubasir dan tidak difungsikan secara baik untuk meningkatkan keterampilan generasi muda, sehingga mereka hanya berharap bisa mendapatkan pekerjaan dengan menjadi CPNS. Sementara kebutuhan PNS itu ada takarannya tersendiri. Ini butuh kemauan dan usaha yang serius dari Pemerintah dalam mengelola SDM di daerah ini," pungkasnya. (PB25)


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...