ORI Berikan Hasil Investigasi Kasus di Temon, Ditemukan Dugaan Maladministrasi

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYAÂ - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengeluarkan hasil investigasi terkait dugaan maladministrasi.
Hal ini terkait pelaksanaan pengosongan tanah, pembongkaran rumah dan bangunan serta pembongkaran meteran dan pemutusan aliran listrik di lahan pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Desa Palihan, Temon, Kulon Progo pada 28 November 2017.
Hasil investigasi langsung diberikan kepada ketiga pihak terkait masalah tersebut yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Angkasa Pura I (AP I) dan Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta.
Hasil dari investigasi yang dilakukan ORI DIY menunjukkan adanya dugaan maladministrasi.
Kepala ORI perwakilan DIY, Budhi Masthuri mengatakan, bahwa dari hasil investigasi pihaknya menunjukkan bahwa terdapat indikasi maladministrasi kepada tiga pihak tersebut.
Untuk pihak PLN, pihaknya merasa bahwa seharusnya PLN melakukan peringatan terlebih dahulu mengenai pembongkaran meteran dan pemutusan aliran listrik.
"Dari PLN, kita temukan hal bahwa PLN tidak melakukan peringatan terlebih dahulu saat dilakukan pembongkaran meteran dan pemutusan aliran listrik," katanya, Rabu (17/1/2018).
Ketika ditelusuri, alasan pihak PLN melakukan hal itu karena permintaan dari pihak AP I.
Meski demikian, pihaknya menilai hal tersebut tidak selayaknya dilakukan PLN mengingat warga yang berada di Temon adalah pelanggannya.
"Alasan PLN lakukan pembongkaran karena permintaan AP I. Tapi menurut hasil telaah kami, meskipun AP I yang meminta, masih ada hubungan kontraktual perdata antara PLN dan pelapor yang merupakan pelanggan. Jadi seharusnya dilakukan peringatan dan pemberitahuan sebelum diputus," jelasnya.
"Jadi kesimpulannya, kalau dalam konteks maladministrasi PLN adalah penindakan tidak patut," imbuhnya.
Sedangkan dari hasil investigasi kepada pihak Kepolisian berdasarkan keterangan saksi dan dokumen-dokumen, pihaknya menilai bahwa tindakan Kapolsek Temon dirasa perlu dievaluasi.
Mengenai aksi kekerasan belum ditemukan oleh pihaknya.
"Dari hasil investigasi, keberadaan polisi atas keinginan AP I. Untuk Kapolsek temon tidak ditemukan fakta-fakta bahwa melakukan kekerasan. Untuk beberapa ucapan-ucapan yang di sampaikan di laporan, menurut peraturan Kapolri memang memungkinkan memberi suatu perintah lisan seperti utuk mundur dan sebagainya," jelasnya.
"Sikap dan tindakan Kapolsek dilapangan itu sangat aktif. Bahkan aktifnya memberi kesan angkasa puranya aja kapolseknya, tapi sepatutnya tidak dilakukan. Sehingga dugaan maladminstrasi yang ditemukan dalam tindakan Kapolsek Temon adalah perbuatan atau tindakan tidak patur karena seakan-akan memerankan AP I," ujarnya.
Diungkapan oleh Budhi, bahwa seharusnya tugas pihak Kepolisian tersebut melakukan pengamanan, bukannya bertindak tidak sepantasnya dan melakukan tindakan yang bertentangan dengan mottonya yang mengayomi dan melindungi masyarakat.
"Karena tugas kepolisan itu kan mengamankan proses pengosongan dan pembongkaran, bukan melakukan pengosongan dan pembokaran itu sendiri, itu hal yang beda. Jadi seharusnya hanya bersikap terkait pengamanan saja," tukasnya.
Dari investigasi kepada AP I, pihaknya mendapati bahwa terjadi juga dugaan maladministrasi pada pengajuan surat permohonan konsinyasi kepada warga. Selain itu didapati tindakan tak sepatutnya yang dilakukan oleh pihak AP I.
Menurut hasil dari investigasi pihaknya, pengosongan dan pembongkaran bisa dilakukan karena sudah ada penetapan penitipan penggantian ganti rugi.
Setelah pihaknya meneliti dokumen tersebut, khusunya menurut Undang-undang No. 2 tahun 2012 Pasal 42 ayat 1 dan 2 kemudian peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 tahun 2013 menjelaskan bahwa syarat untuk diajukannya konsinyasi yang pasti perlu syaratnya adana penolakan terhadap penawaran dalam bentuk dan besaran pengganti kerugian.
Namun hal tersebut tak ditemukan selama ini.
"Dalam Perma, salah satu lampirannya harus ada surat penolakan bentuk dan besaran ganti rugi. Kami temukan fakta dilapangan warga belum pernah musyawarah mengenai ganti rugi. Selain itu, warga tidak pernah melakukan penolakan terhadap bentuk dan besaran ganti rugi, yang ditolak warga hanyalah bandaranya.
"Usai kami cek dokumen penetapan pengadilan dan pengadaan, tidak ada surat pengadaan dan tidak ada surat penolakan itu dari warga. Sehingga yang dilampirkan hanya surat penolakan undangan. Itu nggak bisa dipersamakan dengan surat penolakan ganti rugi," imbuhnya.
Terkait hal tersebut, pihaknya menetapkan bahwa terjadi ketidaksesuaian dalam proses pengajuan permohonan penetapan dalam pengosongan lahan tersebut.
"Kami berkesimpulan bahwa proses pengajuan permohonan penetapan tak sesuai uu dan perma tersebut. Jadi untuk AP I maladminstrasi yang kami dapat simpulkan mengenai permohonan konsinyasi tak sesuai prosedur dalam uu dan perma. Penggalian lubang itu juga merupakan tindakan yang tak patut, jadi dalam konteks maladministrasi disebut tindakan tak patut itu," tukasnya.
Saran dari ORI Untuk Pihak-pihak Terkait
Selain menyampaikan hal tersebut, ORI juga menyampaikan beberapa saran kepada beberapa pihak tersebut. Menurutnya, untuk pihak Kepolisian disarankan melakukan evaluasi terhadap anggotanya.
Mengenai, masalah kekerasan belum bisa dipastikan, meski demikian pihaknya menyarankan pihak Kepolisian menyelesaikan permasalahan tersebut.
"Untuk polisi, kami sarankan untuk Kepolisian khususnga pada Kapolda DIY dan Irwasda untuk melakukan evaluasi terhadap Kapolsek Temon, atas tindakan tak patutnya. Maladministrasi kekerasan belum dapat disimpulkan. Yang jelas kami sarankan agar Kepolisian menindaklanjuti kekerasan itu benar atau tidaknya," urainya.
Sedangkan untuk PLN pihaknya menyarankan juga untuk melakukan evalusai di lapangan terkait pemutusan dan pembongkaran tersebut. Untuk AP I, pihaknya meminta agar dilakukan penundaan kegiatan pengosongan dan pembongkaran di Temon, Kulon Progo dan melakukan dialog kembali dengan masyarakat Temon dengan mengedepankan beberapa aspek.
"Sarannya pada AP I agar pengosongan dan pembongkaran rumah dan tanah milik pelapor dihentikan sementara, dihentikan hingga ditemukan solusi yang diterima antara kedua belah pihak dengan mengedepankan sapek kepentingan umum," katanya.
"Selain itu, kedua belah pihak buka kembali membuka dialog yang libatkan multi stakeholder, jadi semua dilibatkan dengan mengedepankan aspek hubungan kebatinan pelapor serta mempertimbangkan budaya agraria dan aspek jaminan ekonomi," ujarnya.
"Ketiga, kami menyarankan Dirut AP I untuk mengevaluasi projek manager karena misal diatas stetmen tak ada kegaduhan tapi dibawah prosesnya yang menyulut kegaduhan tetap dilakukan, kan tidak sesuai itu," timpalnya.
Beri Batas Waktu
ORI mengharapkan pihak-pihak terkait segera melaksanakan saran yang diberikan dalam kurun waktu yang ditentukan.
"Hasil akhirnya, kami beri waktu 30 hari untuk melaksanakan langkah-langkah sesuai saran itu, tidak harus tak tuntas tapi terlihat," paparnya.
Ditambahkannya, bahwa jika nantinya pihak-pihak terkait tidak melaksanakan saran yang diberikan pihaknya. Maka, pihaknya akan menaikkan permasalahan tersebut ke pusat agar memberi rekomendasi yang bersifat wajib.
"Sesuai peraturaan ORI No. 26 tahun 2017, jika tidak ada tanda-tanda melaksanakan saran, akan dinaikkan ke pusat untuk diterbitkan rekomendasi mengenai kasus ini. Kalau sudah rekomendasi, konsekuensi hukumnya nanti beda karena rekomendasi wajib dilakukan dan akan kena sanksi jika tak dilakukan," pungkasnya.(TRIBUNJOGJA.COM)