Ombudsman Segera Turun ke SMAN 1 Semarang

Menurut Dio, laporan ini bisa menjadi dasar Ombudsman untuk menyelidiki apakah ada maladministrasi di SMAN 1 Semarang. Pasalnya, dalam kasus dugaan pelanggaran ini, pihak sekolah langsung mengeluarkan siswa tanpa peringatan. "Tidak ada peringatan, skorsing, SP1 atau SP2. Tiba-tiba langsung dikeluarkan," ucapnya.
Apalagi, lanjutnya, LDK sudah menjadi sistem dan dikatakan tradisi di SMAN 1 Semarang. Mereka pun tidak melakukan tindak kekerasan yang berat. "Yang dilakukan itu kan di lingkup sekolah, dan memang sudah jadi tradisi. Kenapa sekarang dipermasalahkan. Sekolah juga langsung mengeluarkan," katanya.
Selain itu, maladministrasi juga diduga terjadi pada ketertiban sekolah. Sebab, hingga kedua siswa dikeluarkan, tidak ada kedit poin ketertiban yang sudah terpenuhi. Ketika dicek, buku tatib mereka masih kosong. Tidak ada keterangan mengenai pelanggaran atau melakukan kekerasan."Keterangan dari Pak Gatot (Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng, Gatot Bambang Hastowo), katanya sudah ada kredit poin yang sudah terpenuhi. Padahal kenyataannya kosong," bebernya.
Artinya, pengeluaran siswa ini bisa dibilang keputusan sepihak dari sekolah. Keputusan itu pun dianggap menyalahi hak azasi manusia (HAM) dan perlindungan anak. Sebab, dua minggu lagi, kedua siswa kelas XII tersebut harus menempuh ujian.
Plt Kepala Ombudsman Perwakilan Jateng, Sabarudin Hulu, mengaku menerima laporan secara resmi dari kuasa orang tua kedua siswa. Laporan itu berupa keberatan atas tindakan dari SMAN 1 Semarang dalam menyelesaikan persolan yang sedang dihadapi. "Mereka juga meminta agar pihak sekolah masih menerima kedua siswa karena sebentar lagi ada ujian. Selain itu, ada permintaan Ombudsman bisa memediasi antara orangtua, pihak sekolah, dan Dinas Pendidikan bisa duduk bersama," terangnya.
Dia mengaku, laporan ini akan segera diproses sesuai prosedur. Salah satunya menerjunkan tim untuk melakukan investigasi langsung di lapangan. Pihaknya pun sudah mendapat rekaman dan keterangan kronologi kejadian saat LDK. "Sebenarnya ini proses di penegak hukum. Tapi inginnya diselesaikan di sekolah saja. Jadi kami akan memeriksa apakah memang ada dugaan maladministrasi di pihak sekolah. Termasuk bagaimana sekolah melakukan pembinaan dan pengawasan," tegasnya.
Sekda Jateng, Sri Puryono, meminta pihak sekolah untuk mempertimbangkan keputusan secara matang. Jika memang diputuskan untuk mengeluarkan siswa, seharusnya sudah ada bukti fakta yang lengkap. "Saya berharap sekolah tidak gagabah soal ini. Siswa sekarang kan mengajukan keberatan, nanti dilihat saja," katanya.
Dia bercerita, kemarin malam kedantangan tamu. Tamu itu merupakan alumnus SMAN 1 Semarang yang sekarang menjadi polisi. "Dia mengakui kalau kegaitan (LDK) itu memang ada. Tapi saya tidak bisa menyimpulkan seperti apa kekerasannya. Jadi, pihak sekolah kalau memang lemah, jangan segan-segan untuk merevisi," tegasnya.
Wakil Kepala Humas SMAN 1 Semarang, Masrochan, saat ditemui di ruang kerjanya membantah terkait kata 'dikeluarkan' yang disebut di media. "Ini dari sekolah tidak mengeluarkan. Itu sifatnya pembinaan, karena (dua siswa, AF dan AN, Red) mendapatkan poinnya (nilai pelanggaran tata tertib sekolah, Red) dikeluarkan, kemudian pihak sekolah mengundang orang tua siswa," katanya, Senin (26/2/2018).
Dalam undangan orang tua siswa tersebut, kata dia, disampaikan laporan kegiatan yang dilakukan siswa bersangkutan. "Sehingga sampai puncaknya, sekolah meminta orang tua untuk menarik (pengunduran diri) anaknya, agar dari sekolah tidak mengeluarkan. Sehingga ini dengan cara bijaksana. Tidak dikeluarkan," ujarnya.
Masrochan menegaskan, pihak sekolah tidak bermaksud menelantarkan anak-anak tersebut. Karena pihak sekolah juga sudah melaporkan ke Balai Pengendali Pendidikan Menengah dan Khusus (BP2MK) Wilayah 1 Dinas Pendidikan Provinsi Jateng, termasuk Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jateng. "Bahwa anak ini difasilitasi (pindah), bahkan di sekolah negeri, SMAN 13 dan SMAN 11. Ini sudah mendapat rekomendasi langsung dari Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jateng. Jadi, tidak dikeluarkan, terus dilepas, itu tidak. Tapi setelah kepala sekolah menghubungi pihak kepala sekolah sana, ternyata belum mendaftar," katanya.
Sementara itu, salah satu orang tua siswa, Teddy, yang turut dipanggil pihak sekolah karena putrinya diskors menyampaikan protes. Putrinya menjadi bagian dari tujuh siswa lain yang diskors, selain dua siswa yang dikeluarkan. "Saya hanya minta penjelasan, soal buku tata tertib (Tatib) sekolah berisi pasal-pasal yang digunakan sebagai dasar dikeluarkannya sanksi. Kalau memang buku ini sudah disahkan, saya minta buktinya mana," ujarnya.
Dia mengaku menemukan sejumlah kejanggalan mengenai buku Tatib tersebut. "Saya pelajari, ada yang mengatakan tentang sanksi, yakni Pasal 24, disebutkan peringatan langsung atau lisan kepada peserta didik. Peringatan tertulis kepada peserta didik, dan atau orang tua wali yang bersangkutan. Nah, saya sejauh ini belum pernah merasa menerima peringatan tertulis," katanya.
Tatib tersebut menyebutkan, peserta didik yang melakukan pelanggaran akan dikenakan poin sesuai tingkat pelanggaran. Penegakan tata tertib ditempuh melalui tindakan persuasif, pemberian sanksi dan pemberian penghargaan dengan sistem poin. Ketentuan poin terlampir. "Saya cek, poin terlampir tersebut tidak ada. Nah, tolong carikan saya pasal 19. Silakan dilihat dan tafsirkan sendiri," ucapnya sembari menunjukkan Tatib.
Ternyata buku Tatib sekolah yang digunakan sebagai dasar untuk menghukum dua siswa, yakni AN, dan AF, dikeluarkan dan sebanyak tujuh siswa lain diskors tersebut cacat. Sebab, salah satu pasal, yakni pasal 19 'hilang' atau tidak ada. "Ini produknya berkekuatan hukum, karena dipakai untuk menghukum anak saya. Apa bisa mudah oh maaf salah cetak. Mosok pasalnya kelewatan," ujarnya.
Terpisah, Kepala SMAN 11 Semarang, Supriyanto, mengaku belum dihubungi salah satu siswa yang dikeluarkan dari SMAN 1. "Sampai hari ini (kemarin, Red) belum bergabung atau menghubungi sekolah. Kami terbuka menerima mereka asalkan mau mematuhi tata tertib sekolah," kata Supriyanto kepada Jawa Pos Radar Semarang, Senin (26/2/2018) siang.
Sebelumnya, dirinya memang menerima amanah dari dinas dengan harapan siswa yang bersangkutan bisa mengikuti ujian nasional (unas). Apalagi kedua siswa yang dikeluarkan saat ini duduk di kelas XII. "Tujuannya agar mereka tidak telantar, intinya kami siap memfasilitasi dan menyelamatkan siswa tersebut. Apalagi mau ujian sekolah dan ujian nasional," ujarnya.
Hal sama diungkapkan Kepala SMAN 13 Semarang, Endah N Wardani. Ia mengaku tidak masalah dititipi siswa yang telah dikeluarkan dari SMAN 1, terlebih dinas sudah mengarahkan dan memberikan fasiltas secara langsung. "Kami tidak masalah, mungkin setelah sekolah di sini bisa berubah lebih baik. Sayangnya, sampai saat ini belum bergabung atau menghubungi kami," ujar Endah.Â