• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

OMBUDSMAN REKOMENDASIKAN JUKNIS PPDB SMA DIY DIREVISI Sultan : Wajar Masyarakat Keberatan Zonasi
PERWAKILAN: D I YOGYAKARTA • Rabu, 29/05/2019 •
 
Penyerahan berkas pengaduan masyarakat kepada Sri Sultan HB X terkait zonasi dalam PPDB SMA/SMK DIY (KR-Juvintarto)

"Wajar jika banyak yang keberatan," ujar Sri Sultan kepada wartawan, Selasa (28/5) di DPRD DIY, usai menerima berkas pengaduan Forum Masyarakat Yogyakarta Istimewa Peduli Pendidikan.

Forum yang merupakan gabungan para orang tua murid dipimpin oleh Najib M Saleh, selain menyerahkan surat pengaduan dan permohonan tuntutan terkait perubahan Petunjuuk Pelaksana Penerimaan Peserta Didik Baru (PPBD) SMA/SMK DIY 2019 yang meresahkan masyarakat, juga melampirkan 400 lembar pengaduan masyarakat terkait zonasi berbasis kelurahan yang sempit.

Menurut Najib, pihaknya mengharapkan agar dikembalikan pada radius murni. Tahun lalu, pembagian zonasi sekolah berdasarkan radius murni yakni sekitar 5 km. "Juknis Zonasi PPDB DIY 209, menimbulkan protes dan penolakan karena adanya perubahan drastis antara tahun 2019 dengan versi 2018. Juknis 2019 berdampak pada stresnya siswa, orang tua karena zonasi berbasis kelurahan dianggap skema klasterisasi, sebagai bentuk intervensi yang terlalu dalam dari Dinas Dikpora DIY," ujar Najib didamping anggota forum lainnya, yakni Ipan Pranasakti, Heriyanti Suzana dan Satoto Endar Nayono.

Selain mengadu ke Sultan, ratusan orang tua murid juga menyampaikan pengaduan ke Ombusman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY. Ombudsman juga mempertemukan dengan Kepala Dinas Dikpora DIY, Kadarmanta Baskara Aji.

ORI Perwakilan DIY Beri Saran Revisi Juknis PPDB

Dari hasil pertemuan tersebut, ORI Perwakilan DIY memberikan saran kepada Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY untuk melakukan revisi Petunjuk Teknis PPDB SMAN dan SMKN DIY 2019/2020. Khususnya terkait penetapan zonasi, sehingga lebih luas. Jumlah sekolah dalam zona 1 untuk setiap wilayah domisili calon siswa, bisa ditingkatkan, dengan tetap memperhatikan calon siswa tidak mampu serta penyandang difabel.

"Kemudian melakukan sosialisasi atas hasil revisi tersebut kepada seluruh sekolah dan orang tua calon siswa secara intensif, dan mengoptimalkan fungsi help desk yang sudah ada untuk mendukung sosialisasi tersebut," tegas Kepala ORI DIY Budhi Masturi ketika dikonfirmasi KR, Selasa (28/5) petang.

Saran tersebut hasil perumusan Tim ORI DIY usai menerima perwakilan orang tua/wali murid Dari SMP 5, SMP 8, SMP 1, SMP 4 Pakem, dan beberapa SMP Negeri lainnya pagi hingga siang harinya, di Kantor ORI DIY, Jalan Wolter Monginsidi Yogya. Orangtua siswa mengeluhkan Juknis PPDB SMA/SMK Negeri 2019/2020 di DIY yang meresahkan dan dinilai justru bisa menghancurkan masa depan siswa yang sudah biasa berkompetisi.

Dalam penyampaian pengaduan, orang tua murid yang juga mantan Ketua Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM, Dr Kuncoro Harto Widodo STP M yang pernah tinggal selama 6 tahun di Jepang mengungkapkan, zonasi yang didengungkan oleh Kemendikbud dengan melihat pengalaman di Jepang, tidak bisa begitu saja dilaksanakan di Indonesia. Karena desain pembangunan sekolah di Jepang sejak awal berbeda di Indonesia. Di Jepang, pembangunan sudah direncakanan dan didesain sama, termasuk dalam hal jarak. Sedangkan di Indonesia, tidak demikian.

Dalam pertemuan itu, orangtua meminta aturan zonasi bisa direvisi kembali karena banyak kelemahan yang merugikan bahkan mengancam masa depan calon siswa. Setidaknya bisa dikembalikan ke Juknis 2018 dengan perbaikan.

"Zona 1 yang hanya 1 sekolah di tiap Kelurahan membuat anak tidak punya pilihan lain, padahal anak-anak Angkatan ini masuk dengan jalur UNBK di SMP dan sudah berjuang berkompetisi 3 tahun untuk mendapatkan nilai UNBK terbaik mewujudkan cita-cita masuk ke SMA pilihan, dimana jalur prestasi hanya 5 persen, 90 persen zonasi, 5 persen lagi perpindahan tugas orangtua. Dalam kondisi sekolah saat ini yang fasilitasnya belum merata, seharusnya anak juga diberi kesempatan untuk mencoba bersekolah yang diinginkan. Kenyataannya nilai UNBK hanya menjadi faktor penentu ketiga, setelah zonasi dan pilihan," keluh Evi, orangtua siswa dari SMP 1 Yogya yang tinggal di Banyuraden Gamping Sleman ini.

Evi menyatakan anaknya mendapat zonasi di SMA 1 Gamping, padahal jarak rumahnya lebih dekat ke SMA 2 Yogya. "Anak saya terpukul dan lebih banyak berdiam diri, bukan berarti saya menganggap SMA 1 Gamping tidak bagus namun setidaknya beri kesempatan anak untuk mencoba mendaftar ke SMA pilihannya bila tidak diterima baru anak legawa masuk di SMA yang sudah ditentukan zonasi," ucap Evi yang puteranya selalu meraih rangking atas di sekolahnya itu.

Demikian pula Tantie, orangtua siswa SMP 8 ini menyatakan, keluarganya dari orangtua mempunyai tradisi untuk bersekolah di SMA pilihannya. "Sekolah bisa jadi favorit melalui proses, Ikatan alumni, orangtua, dan lainnya. Anak-anak sudah start dengan bagus, berkompetisi tetapi ketika finish, ternyata mereka tidak punya pilihan bahkan terancam tidak dapat sekolah kalau tidak berhati-hati mengikuti zonasi walau nilai bagus. Jelas mentalnya jadi down, kami berharap ada revisi bisa kembali ke Juknis 2018 yang lebih manusiawi, jangan anak-anak kami dikorbankan," tegasnya.

Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY, Baskara Aji, meminta orangtua untuk bisa mengerti posisinya, Sebab dirinya hanya menjalankan Peraturan Mendikbud, Sementara Juknis 2018 Peraturan Menteri sudah dicabut diganti 2019. "Kami bisa mengerti perasaan orangtua, dan penyusunan zonasi sudah dilakukan secara matang untuk memberi kesempatan yang sama para siswa memperoleh kesempatan belajar," ungkapnya.

Baskara mengakui, hari-hari terakhir ini dirinya tidak populer dan banyak mendapat protes, kecaman dari orangtua siswa. "Disdikpora terus meningkatkan mutu guru, kualitas sekolah yang diukur dari hasil akreditasi. Siswa SMA 3, SMA 1 paling banyak di UMPTN, Namun Nilai tertinggi akreditasi dengan 8 standar pendidikan justru di SMA 1 Bantul. Dari hasil penilaian akreditasi semua SMAN nilainya lebih dari 91. Jadi standar nasional pendidikan SMA Negeri di Yogya setara," tegasnya.

Lebih lanjut Budhi menyatakan saran ORI DIY dengan melihat pendapat dan kesimpulan dari hasil pertemuan. "Sistem zonasi dalam PPDB 2019 sudah menjadi kebijakan nasional. Penerapan yang dilakukan dalam kondisi belum terjadinya pemerataan sarana prasarana sekolah, dan kesenjangan kualitas guru serta sumber daya manusia yang mengelolanya, harus tetap dalam kerangka transisional dan bertahap menuju pelaksanaan yang ideal sebagaimana telah dijalankan oleh negara-negara maju," tegasnya.

Penerapan zonasi yang menitikberatkan pada aspek demografi populasi kepadatan calon siswa adalah ideal apabila ketersediaan sarana prasarana, dan kualitas guru serta sumber daya manusia yang mengelolanya sudah merata. "Dalam kondisi sebaliknya penerapan zonasi dengan titik berat pada aspek demografi dan populasi kepadatan jumlah siswa tersebut telah menimbulkan rasa ketidakadilan dan kurang sesuai dengan tujuan kebijakan zonasi itu sendiri," ungkapnya.

Dalam konteks pe|ayanan publik, lanjutnya petunjuk teknis (juknis) adalah termasuk bagian dari standar pe|ayanan karena di dalamnya mencakup syarat, prosedur, waktu dan sebagainya. "Karena itu proses penyusunannya pun harus mengikuti ketentuan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang melibatkan orang tua sebagai stakeholder, Namun Kenyataannya dalam penyusunan zonasi separti diakui Kadinaspora DIY tanpa melibatkan perwakilan orangtua, " ucapnya.

Penetapan zonasi yang dilakukan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, dengan prinsip mendekatkan domisili peserta didik dengan SekoIah. "Oleh karena itu apabila diperlukan, pada dasarnya Pemerintah Daerah c.q Dinas Dikpora dapat mengambil tindakan diskresi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, sepanjang tidak melanggar ketentuan," tegas Budhi.

Orangtua siswa juga mempertanyakan penggunaan parameter demografl kepadatan populasi jumlah calon siswa juga memunculkan inkonsistensi jarak dalam menentukan zona. "Kelurahan Patehan masuk Zona 1 SMA 3 padahal jaraknya lebih dekat SMA 10 atau SMA 7," jelas Budhi mengutip keluhan orangtua.

Dalam kasus yang lainnya di Kelurahan Hargomulyo, sekolah yang terdekat adalah SMAN 1 Temon (2 3 km), namun yang ditetapkan sebagai zona 1 adalah SMAN 1 Kokap yang jarak tempuh terjauhnya 11,5 km. Demikian juga di Patangpuluhan yang harusnya lebih dekat ke SMAN 1 Kota Yogyakarta, tetapi zona 1 nya justru ditetapkan SMAN 2 Yogyakarta.

"Penetapan zonasi dengan mengutamakan aspek demografi kepadatan populasi calon siswa ini justru tidak sesuai dengan tujuan kebijakan zonasi itu sendin adalah mendekatkan siswa dengan sekolahnya sesuai Pasal 20 Permendikbud No 51 Tahun 2019," tegas Budhi. (M-3/Jon)


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...