Ombudsman NTT Temui Komite Intelijen Daerah Bahas SPMB dan Penyaluran BBM Bersubsidi

KUPANG- Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi NTT, Darius Beda Daton menghadiri undangan Komite Intelijen Daerah (Kominda) dalam rangka membahas Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) dan Penyaluran BBM Bersubsidi di NTT, bertempat di Hotel Kristal Kupang, Rabu (26/6/2025).
"Saya menyambut baik forum penting ini yang menghadirkan perwakilan intelijen dari Kepolisian, Kejaksaan, TNI AD/Korem, Lantamal VII, Lanud El Tari, Imigrasi, Bea Cukai, dan Kesbangpol Provinsi NTT. Kami dapat berdiskusi dengan para intelijen dari berbagai instansi mengenai dua isu yang selama ini menjadi fokus pengawasan kami, yakni SPMB dan penyaluran BBM bersubsidi. Komite Intelijen Daerah (Kominda) sendiri merupakan forum koordinasi di tingkat daerah yang bertujuan mendeteksi dini berbagai ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan yang dapat memengaruhi stabilitas daerah, khususnya di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan keamanan," ungkap Darius saat dimintai keterangan.
Kominda melibatkan berbagai unsur penyelenggara intelijen negara di daerah dengan Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai koordinatornya. Dalam kesempatan tersebut, Darius menyampaikan sejumlah permasalahan dalam pelaksanaan SPMB yang tengah berlangsung, khususnya terkait maraknya pungutan oleh satuan pendidikan. Ia mengungkapkan bahwa pungutan yang terjadi meliputi uang komite sebesar Rp50.000 hingga Rp150.000 per siswa per bulan, uang pembangunan, pungutan delapan standar pendidikan, biaya kebutuhan melekat siswa, uang seminar parenting, hingga sumbangan paving block dan pembangunan pagar sekolah. Bahkan, siswa juga masih dibebankan pembelian seragam batik dan kotak-kotak, yang semuanya diberlakukan di sekolah negeri. Akumulasi total biaya pendaftaran pada SMA atau SMK negeri diketahui mencapai antara Rp750.000 hingga Rp2.500.000 per siswa.
Karena itu, Ombudsman memohon dukungan dari seluruh pemangku kepentingan agar bersinergi untuk mendorong rasionalisasi pungutan komite. Hal ini sangat mendesak, mengingat realitas layanan pendidikan di NTT saat ini yang masih diwarnai rendahnya angka partisipasi sekolah. Tidak sedikit pula peserta didik yang tidak dapat mengikuti ujian karena belum melunasi pungutan komite, dan bahkan ada yang belum bisa mengambil ijazah setelah lulus karena masih memiliki tunggakan pembayaran.
Terkait penyaluran BBM bersubsidi, Darius mengingatkan bahwa saat ini jenis BBM tertentu (JBT), seperti Pertalite dan Bio Solar, masih dijual bebas oleh pihak-pihak di luar penyalur resmi, seperti SPBU. Penjualan dilakukan oleh pelaku usaha ilegal seperti Pertamini atau pengecer dalam botol dengan harga yang mereka tentukan sendiri demi meraih keuntungan. Oleh karena itu, menurut Darius, pemerintah daerah perlu segera menerbitkan keputusan larangan penjualan BBM bersubsidi maupun non-subsidi secara eceran menggunakan fasilitas seperti Pertamini dan wadah lainnya di wilayah masing-masing. Kebijakan tersebut diharapkan dapat meminimalisasi penyalahgunaan dan penimbunan BBM yang tidak tepat sasaran.
Darius juga menjelaskan bahwa larangan ini memiliki dasar hukum yang kuat. Pertama, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah sebagian oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, yang menegaskan bahwa transaksi penjualan BBM hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memenuhi persyaratan dan memiliki izin usaha, seperti BUMN, BUMD, koperasi, atau badan usaha swasta. Kedua, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa konsumen berhak mendapatkan perlindungan hukum, sementara pedagang Pertamini tidak memiliki izin usaha dan dapat merugikan konsumen. Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi, yang mensyaratkan bahwa kegiatan usaha hilir harus dilakukan oleh badan usaha berizin dalam persaingan usaha yang sehat dan transparan.
Keempat, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2018 tentang Sistem Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian Nasional, yang mengatur bahwa penjualan BBM eceran harus memenuhi standar keamanan dan keselamatan tertentu. Kelima, Surat Edaran Menteri ESDM Nomor 14.E/HK.03/DJM/2021, serta keenam, Surat Edaran Dirjen Migas Nomor B-5214/2021, yang menegaskan bahwa penyaluran BBM hanya boleh dilakukan oleh penyalur resmi kepada pengguna akhir dan dilarang dijual kembali oleh pengecer. Terakhir, Surat Dirjen Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan RI Nomor 211/SPK/SD/10/2015 tanggal 23 Oktober 2015, yang menegaskan bahwa keberadaan Pertamini tidak sesuai ketentuan dan alat ukurnya tidak termasuk dalam lingkup metrologi legal, sehingga sangat berpotensi merugikan konsumen.
Sebagai penutup, Darius menyampaikan apresiasi kepada Ketua Kominda Provinsi NTT, Eko Hassep Nugrito, beserta jajaran atas terselenggaranya forum ini. Ia berharap, kegiatan koordinasi seperti ini dapat terus berlangsung untuk memperkuat pengawasan dan tata kelola layanan publik di daerah. "Semoga forum ini bermanfaat dan menjadi langkah awal sinergi lebih lanjut demi memperbaiki tata kelola sektor publik di NTT," pungkasnya.