Ombudsman NTT Apresiasi Langkah Wakil Gubernur Atasi Pungutan Sekolah yang Memberatkan Orang Tua

KUPANG - Menanggapi pertemuan para kepala sekolah SMA dan SMK Negeri se-Kota Kupang yang diinisiasi oleh Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur, Joni Asadoma, Ombudsman RI Perwakilan Provinsi NTT memberikan apresiasi atas langkah cepat dan responsif tersebut. Pertemuan yang digelar pada Rabu (2/7/2025) di ruang rapat Wakil Gubernur itu membahas berbagai isu pendidikan, utamanya mengenai pungutan pendaftaran dan pungutan komite dalam proses Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang dinilai membebani orang tua.
"Meskipun dalam pertemuan tersebut tidak disampaikan paparan Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) yang seharusnya menjadi dasar utama dalam menentukan besaran pungutan, Ombudsman NTT menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada Wakil Gubernur NTT yang telah bersedia mendengar serta menindaklanjuti keluhan para orang tua," ujar Kepala Perwakilan Ombudsman NTT, Darius Beda Daton. Menurutnya, langkah ini menjadi pintu masuk penting untuk mendengarkan langsung masukan dari pihak sekolah, dalam rangka menyempurnakan draf Peraturan Gubernur yang tengah disusun untuk mengatur mekanisme pungutan di sekolah, agar praktik serupa tidak terus terulang setiap musim penerimaan murid baru.
Wakil Gubernur menegaskan pentingnya empati terhadap kondisi ekonomi orang tua dan menginstruksikan kepada para kepala sekolah untuk mendata ulang kemampuan orang tua sebagai dasar penentuan besaran pungutan komite. Hasil pendataan tersebut diminta untuk disampaikan kembali kepada Wakil Gubernur dalam waktu satu pekan.
Menurut Ombudsman NTT, arahan Wakil Gubernur agar sekolah mendata ulang kemampuan orang tua merupakan langkah yang sangat tepat. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, khususnya Pasal 52, yang mengatur bahwa pungutan oleh satuan pendidikan hanya dapat dilakukan apabila memenuhi sejumlah persyaratan, yakni pertama, didasarkan pada perencanaan investasi dan/atau operasi yang jelas dan dituangkan dalam rencana strategis, rencana kerja tahunan, serta anggaran tahunan yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. Kedua, perencanaan investasi dan/atau operasi diumumkan secara transparan kepada pemangku kepentingan satuan pendidikan. Ketiga, tidak dipungut dari peserta didik atau orang tua/walinya yang tidak mampu secara ekonomis. Keempat, digunakan sesuai dengan dan tidak dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar peserta didik, dan/atau kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Kelima, sekurang-kurangnya 20 persen dari total dana pungutan peserta didik atau orang tua/walinya digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan. Keenam, tidak dialokasikan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk kesejahteraan anggota komite sekolah/madrasah atau lembaga representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan. Ketujuh, pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan dana diaudit oleh akuntan publik dan dilaporkan kepada Menteri, apabila jumlahnya lebih dari jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Menteri.
Bila mengacu pada ketentuan tersebut, maka masih banyak SMA dan SMK Negeri di NTT yang belum memenuhi syarat untuk melakukan pungutan. Faktanya, pungutan komite di banyak sekolah dilakukan terhadap seluruh siswa, tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi orang tua. Bahkan, pungutan tersebut kerap menjadi syarat bagi siswa untuk mengikuti ujian atau mengambil ijazah saat lulus. Lebih parahnya lagi, tidak sedikit sekolah yang mengalokasikan dana pungutan untuk kepentingan kesejahteraan komite sekolah atau lembaga representatif lainnya-baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam klarifikasinya, pihak sekolah menyatakan bahwa seluruh pungutan telah melalui proses kesepakatan bersama antara sekolah dan orang tua, yang dibuktikan dengan rapat dan penandatanganan berita acara. Namun, menurut kami, istilah "kesepakatan" perlu ditelaah kembali. Dalam ruang-ruang rapat orang tua murid, tidak semua kesepakatan lahir dari kerelaan. Banyak orang tua merasa terpaksa menyetujui karena tekanan sosial. Tidak semua berani menolak. Tidak semua punya pilihan.
"Sering kali, demi menghindari konflik atau demi memastikan anak mereka diterima di sekolah yang diidamkan, orang tua memilih diam. Dalam relasi yang timpang seperti ini, 'kesepakatan bersama' mudah berubah menjadi bentuk keterpaksaan yang dibungkus formalitas. Tanda tangan kehadiran atau persetujuan orang tua tidak selalu mencerminkan kerelaan yang sejati. Praktik seperti ini berpotensi melanggar prinsip keadilan dalam layanan publik," ujar Darius.
Ia melanjutkan bahwa masyarakat tidak boleh terus-menerus menormalisasi keadaan ini seolah menjadi bagian wajar dari sistem. "Pendidikan bukanlah jasa biasa, ia adalah pondasi masa depan bangsa. Ketika biaya menjadi penghalang, kita sedang mencabut hak masa depan dari anak-anak yang terlahir di keluarga miskin. Yang kita butuhkan bukan sekadar pembelaan dari pemerintah atau pembenaran dari sekolah. Yang kita perlukan adalah keberanian bersama untuk mengoreksi kebijakan dan budaya. Pendidikan seharusnya menjadi ruang pembebasan, bukan arena penghakiman atas kemampuan finansial," pungkasnya.