Ombudsman DKI Duga DPRD Ikut Bersalah Soal Revitalisasi Monas
JAKARTA - Ombudsman perwakilan DKI Jakarta menduga DPRD
DKI ikut bersalah atas pengerjaan revitalisasi sisi selatan kawasan
Monas, Jakarta Pusat. Sebab, sesuai ketentuan dalam Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, DPRD di tingkat provinsi merupakan bagian dari
pemerintah daerah.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jakarta Raya,
Teguh P Nugroho mengatakan apabila DPRD DKI Jakarta sebelum pelaksanaan
proyek yaitu ketika bertemu dengan mitranya dari Pemprov DKI Jakarta
mengoreksi dari awal dan menggali informasi, proyek revitalisasi Monas
tidak akan terjadi seperti ini.
"Sehingga kesalahan itu dapat
dikoreksi dari awal jika sungguh-sungguh menggali informasi proyek
per-SKPD. Jika Pemprov salah, DPRD juga ikut bersalah ketika proyek ini
berjalan tanpa sepengetahuannya, karena SKPD pelaksananya merupakan
mitra kerja DPRD," ujar Teguh di Jakarta, Minggu (2/2/2020).
Teguh meminta semua pihak untuk fokus pada upaya resolusi penyelesaian
kasus Revitalisasi Monas ini dalam kerangka pelayanan publik dan
penyelamatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Jakarta. Pihaknya menduga,
Pemerintah Daerah telah melakukan maladministrasi terkait perizinan
revitalisasi Monas itu.
Menurut Teguh, sangat mudah mencari
kesalahan. Pemprov DKI Jakarta jelas dapat diduga melakukan
maladministrasi terkait perizinan ke Menteri Sekertaris Negara
(Mensesneg) selaku Ketua Komisi Pengarah Kawasan Medan Merdeka sesuai
dengan Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1995 tentang Pembangunan
Kawasan Medan Merdeka di Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Dalam
Pasal 5 ayat (1) dalam Keppres itu mengatakan tugas dari Komisi
Pengarah ialah memberikan persetujuan terhadap perencanaan dan
pembiayaan pembangunan Taman Medan Merdeka yang disusun oleh Badan
Pelaksana.
"Pembangunan proyek revitalisasi tersebut dilakukan di Monas di
tengah-tengah antara Gedung Kantor Gubernur dan Istana Presiden, lokasi
di mana Menteri Sekretariat Negara (Mensesneng) berkantor. Sebagai Ketua
Komisi Pengarah Kawasan Medan Merdeka, tidak sulit bagi Mensesneg untuk
mengkonfimasi hal tersebut kepada Gubernur DKI Jakarta selaku
Sekretaris Komisi," tegasnya.
Meskipun demikian, Teguh juga
menduga Komisi Pengarah ini hanya bekerja ketika ada masalah muncul ke
permukaan dan tidak rutin menggelar rapat koordinasi. Hal ini terlihat
saat terjadinya kasus revitalisasi Monas menjadi polemik, sesama
pengurus Komisi Pengarah baru berkomunikasi ketika ada proses
revitalisasi sedang berlangsung.
"Kami khawatir, jangan-jangan
keduanya, baik Mensesneg maupun Gubernur, baru menyadari posisinya
sebagai Ketua Komisi Pengarah dan Sekretaris Pengarah juga setelah kasus
ini muncul ke permukaan. Kalau keduanya saling menyadari posisi
masing-masing dari awal, niscaya hal ini tidak perlu terjadi, apalagi
revitalisasi tersebut terjadi di tengah-tengah kantor Mensesneg dan
Gubernur," ungkapnya.
Saat ini, katanya, hal terpenting yang
perlu dilakukan Pemprov DKI adalah penyelamatan kawasan Monas sebagai
RTH. Sebab, jumlah RTH di Jakarta setiap tahun tidak bertambah secara
signifikan.
"Kami malah menduga RTH Jakarta berkurang karena
banyaknya pelaporan ke kami terkait penyalahgunaan RTH tanpa penindakan
setiap tahunnya," ungkapnya.
Berdasarkan data dari Dinas Cipta
Karya, Tata Ruang dan Pertanahan (Citata) Provinsi DKI Jakarta yang
terakhir kali melakukan pemetaan Ruang Terbuka Hijau tahun 2017, luasan
RTH Murni di Jakarta hanya 7% dan RTH Kombinasi sekitar 2% saja dari
keseluruhan luas DKI Jakarta. Untuk itu, katanya, Ombudsman Jakarta Raya
menghargai permintaan Mensesneg dan DPRD DKI Jakarta untuk menghentikan
Revitalisasi Monas sebelum ada persetujuan dari Komisi Pengarah.
"Ombudsman
Jakarta Raya juga menghargai penghentian pelaksanaan proyek tersebut
oleh Pemprov DKI Jakarta dan jajaran. Saatnya para pihak duduk bersama
dan memastikan bahwa Revitalisasi Monas tidak mengurangi RTH di wilayah
Jakarta secara umum, jika diperlukan perlu ada re-design terhadap proyek
tersebut," pungkasnya.