• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Kekerasan Seksual Mendominasi
PERWAKILAN: KALIMANTAN TIMUR • Jum'at, 23/02/2018 •
 
Anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu

PROKAL.CO, BALIKPAPAN bisa dibilang menjadi sarang bagi kekerasan terhadap anak. Kasus tersebut di kota ini meningkat tajam dari tahun ke tahun.

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Balikpapan mencatat kekerasan terhadap anak pada 2017 sekitar 112 kasus. Jumlah itu jauh lebih besar ketimbang setahun sebelumnya sebanyak 80 kasus. Tahun lalu, kasus kekerasan seksual mendominasi di Kota Minyak dengan 33 kasus. (lihat grafis)

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Balikpapan Sri Wahyuningsih menuturkan, pihaknya turut memberikan pendampingan kepada korban melalui tim P2TP2A Balikpapan. Tentu sudah sesuai dengan prosedur operasional standar (POS). Apalagi setiap kasus memiliki solusi yang berbeda.

"Kalau korban kekerasan fisik perlu bantuan dokter. Sedangkan kekerasan psikis dibawa ke psikolog. Bergantung jenis kasusnya. Kemudian, kami juga memberikan pendampingan secara hukum dan mengawal kasus hingga ke pengadilan," sebutnya.

Selain itu, DP3AKB tidak melulu berkutat dalam perlindungan anak. DP3AKB berkewajiban menjalankan program pemenuhan hak anak. Ada 31 poin hak anak yang harus terpenuhi. Mulai hak anak untuk tercatat di lembaran negara berupa akta kelahiran hingga hak anak untuk mengetahui siapa orangtua kandungnya.

"Dari 31 poin itu, secara garis besar berisi tentang empat hak anak, yaitu hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, hak berpartisipasi, dan hak untuk mendapat perlindungan," paparnya. Salah satu yang menarik, hak anak untuk berpartisipasi. Anak mendapat kesempatan menyuarakan pendapatnya.

"Kalau soal partisipasi, anak-anak juga sudah ikut serta dalam kegiatan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Jadi, pendapat dia sebagai anak bisa terdengar, kemungkinan mereka memiliki sudut pandang yang berbeda dari orang dewasa," tuturnya.

Dia berpendapat, masyarakat dan penegak hukum perlu meningkatkan sinergitas dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak. Masyarakat harus memiliki keberanian melapor. Sementara penegak hukum wajib mengawal kasus hingga terbit putusan hukum. Termasuk juga adanya peran dari dunia usaha seperti pers untuk membantu menyebarluaskan informasi perlindungan anak.

LAPOR ORI

Kasus kekerasan terhadap anak turut mendapat sorotan dari Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Salah satu yang disoroti adalah penyelesaian perkara kekerasan terhadap anak kerap lambat di kepolisian. Diduga terjadi malaadministrasi.

"Misalnya, kalau korban sudah melaporkan kasus ke kepolisian. Tapi, tidak ada kemajuan atau dipersulit, tidak ada tindak lanjut dari laporan berarti ada hambatan. Kami coba bantu penyelesaian agar ada keadilan bagi korban, mencari benang merah," papar anggota ORI Ninik Rahayu dalam sebuah diskusi di Balikpapan, kemarin (22/2).

Pengertian malaadministrasi sesuai Undang-Undang (UU) ORI Nomor 25 Tahun 2008 adalah sebuah tindakan penyalahgunaan, melawan hukum atau prosedur yang dilakukan lembaga pemerintah (legislatif, eksekutif, yudikatif), dan BUMN/BUMD. Bila ada institusi yang menyalahi prosedur atau standar pelayanan yang tidak sesuai, bisa disebut dengan tindakan malaadministrasi. "Indikasi malaadministrasi hanya dua, yakni birokrasi yang buruk atau ada korupsi dalam lembaga itu," terangnya.

Mantan anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan itu menuturkan, masyarakat menyampaikan pengaduan kepada institusi yang merupakan representatif pemerintah. Contoh kepolisian, rumah sakit, hingga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

"Kendala yang kami dengar, kadang membuat laporan ke aparat penegak hukum susah. Kemudian, pengaduan ke P2TP2A persoalan sebagian terhambat sumber daya manusia (SDM) dan anggaran yang terbatas," ucapnya.

Dalam kajian ORI tahun 2016 lalu, ada beberapa indikasi terjadi malaadministrasi. Misalnya, pada aspek pencegahan, tidak ada sinergi antarlembaga yang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Menurutnya, fenomena kekerasan terhadap perempuan dan anak ibarat gunung es. Tidak dapat diketahui secara pasti berapa angka kekerasan pada perempuan dan anak yang terjadi di Indonesia.

Berdasarkan laporan yang masuk ke ORI, aduan soal malaadministrasi kasus perempuan dan anak tidak terlampau banyak. Sepanjang 2017, angka aduan terhitung kecil hanya sekitar 5 persen dari total keseluruhan aduan sebanyak 9.000 kasus. Bahkan 2016, jumlah laporan malaadministrasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak hanya 0,65 persen dari total laporan sekitar 8.000 kasus.

Ninik menyebut, hanya ada dua indikasi yang dapat menjelaskan kondisi tersebut. Pertama, masyarakat mungkin tidak tahu tentang keberadaan ORI. Kedua, masyarakat tidak tahu jika ada tindakan malaadministrasi atau kasus yang tidak tertangani dapat mengadu ke ORI. Kenyataannya, banyak yang tidak paham tentang aturan tersebut.

Adapun lima hak minimal terhadap perempuan dan anak yang mengalami kekerasan. Semua tertuang dalam Peraturan Menteri Negara (Permeneg) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 01 Tahun 2010. Di antaranya, hak untuk mendapat tempat pengaduan, hak atas kesehatan, hak atas proses laporan, hak atas pemulangan, dan hak atas pemulihan.

"Misalnya, hak untuk mendapat tempat pengaduan yang nyaman dan pemenuhan yang utuh. Lalu, hak mendapat layanan kesehatan yang prima dan cukup dan sebagainya," ucap perempuan yang pernah menjabat sebagai ketua Pusat Studi Wanita Universitas Muhammadiyah Jember.

Dia memberi contoh pada kasus kekerasan fisik. Sering pihak kepolisian menganggap kekerasan fisik baru terjadi jika korban sudah tidak dapat bergerak. Padahal, kenyataannya, tindakan kekerasan fisik tetap terjadi meski korban dapat beraktivitas.

Hal yang tak kalah penting, polisi kerap membebankan korban untuk mencari saksi dan alat bukti yang seharusnya menjadi tugas polisi. Lalu, aparat penegak hukum juga kerap menyalahkan korban tanpa melihat fakta kejadian. "Polisi harus bertindak. Jadi, jangan kasus didiamkan begitu saja," pinta Ninik.

Selain itu, berdasarkan kajian ORI, hambatan mediasi di tingkat kepolisian lebih banyak merugikan kepentingan korban. Maksudnya, terjadi bias dan tidak responsif pada masalah. Sebab, banyak laporan atau pengaduan yang ditolak. "Sayang, saat kasus itu dilaporkan, bentuk penyelesaian terbanyak adalah jalur damai atau mediasi tanpa ada monitoring agar kejadian tidak terulang. Ini berbahaya karena tidak terpantau," bebernya.

Ninik menjelaskan, pihaknya akan menindaklanjuti setiap laporan malaadministrasi dari masyarakat. Kasus yang dapat dilaporkan kepada ORI dengan syarat masa waktu laporan selama dua tahun. Tindak lanjut pertama atas laporan, yakni melakukan klarifikasi ke instansi terkait. Jika pada tahapan ini masalah belum terselesaikan, ORI akan mengajak pihak terkait duduk bersama untuk mediasi mencari titik temu.

Kemudian, apabila sudah melalui proses tersebut juga tak berhasil, ORI dapat mengeluarkan laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) yang berisi saran kepada institusi. "Waktu menjalankan LAHP selama 3 bulan. Jika LAHP masih tidak berjalan, kami bisa beri rekomendasi sebagai produk tertinggi Ombudsman. Kalau masih tidak menjalankan rekomendasi itu, kami lapor ke presiden, DPR, dan media untuk memberikan rasa malu," ungkapnya.

Khusus bagi pemerintah daerah yang tidak menjalankan rekomendasi, mereka mendapatkan pembinaan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Salah satu pembinaan yang dilakukan Kemendagri bahkan bisa memberhentikan sementara kepala daerah.

Sebelum melakukan semua itu, ORI telah menawarkan pelapor untuk melakukan ajudikasi atau sidang ganti rugi. Apabila pelapor terbukti korban malaadministrasi, mereka bisa minta ganti rugi baik materiil atau immaterial. Keterangan tersebut akan terlampir saat rekomendasi.

Kemarin, setelah diskusi dengan sejumlah kalangan dan awak media, Ninik Rahayu datang ke Gedung Biru Kaltim Post, Balikpapan. Kedatangannya disambut Pemimpin Redaksi Kaltim Post Faroq Zamzami, Redaktur Pelaksana Kaltim Post Romdani, dan awak Redaksi Kaltim Post lainnya.

Diwawancarai terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Kaltim Kombes Pol Ade Yaya Suryana mengatakan, banyak kejadian terlambat dilaporkan. Korban biasanya sudah mengalami luka dan trauma berat bahkan meninggal dunia sehingga perlindungan tak maksimal. Padahal, kata dia, upaya hukum dan perlindungan lebih efektif jika lebih cepat dilaporkan.

Keadaan itu tidak lepas dari sulitnya mengendus kekerasan di dalam lingkungan keluarga. Kesaksian pelapor sering kali lemah karena hanya berdasarkan pendengaran. Para tetangga, misalnya, tidak mengetahui persis perlakuan bengis orangtua. "Kecuali saksi melihat langsung. Faktanya, banyak yang baru dilaporkan ketika korban sudah meninggal," terang Ade.

Sebelumnya, pada awal bulan ini, kekerasan pada anak terjadi di Samarinda. Seorang pasangan suami-istri, Dony dan Gayatri diduga menganiaya anaknya, Muhammad Mifzal Pahlevi. Mifzal meninggal dunia di Rumah Sakit Ibu dan Anak Aisyiyah Samarinda. (gel/*/lil/rom/k11)


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...