Kekerasan LDK SMAN 1 Diduga Turun-Temurun

RADARSEMARANG.ID, SEMARANG-Pelaksanaan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) bagi calon pengurus OSIS di SMA Negeri 1 Semarang ternyata kerap diwarnai praktik kekerasan. Bahkan, praktik bullying itu diduga sudah berlangsung turun-temurun. Ironisnya, Kepala SMAN 1 Semarang Endang Suyatmi Listyaningsih yang mengetahui hal itu tak bisa berbuat banyak, karena tak ditemukan bukti. Ironisnya lagi, dia menganggap kegiatan siswa tersebut ilegal.
Endang Suyatmi mengatakan, pihaknya belum bisa menindak aksi kekerasan yang ada di lingkungan sekolahnya, karena dilakukan tersembunyi dan tidak ada bukti. Selain itu, ia mengklaim bahwa kegiatan tersebut ilegal. "Itu bukan LDK, itu anak sendiri yang menamakannya. LDK ilegal," tegasnya saat jumpa pers, Jumat (2/3/2018) lalu.
Dalam kesempatan itu, empat orangtua siswa membeberkan praktik bullying yang menjurus pada kekerasan di sekolah favorit tersebut. Mereka adalah Santi, Dwi, Riana, dan Tari. Tari sendiri adalah ibu almarhum Bintang, yang tewas di kolam renang Jatidiri Semarang. Mereka menilai praktik kekerasan itu terjadi secara turun-temurun. "Kami tidak pernah meminta ditindaklanjuti secara hukum, dikeluarkan juga tidak. Tetapi, kami ingin diputus mata rantai kekerasannya," kata Dwi.
Dwi mengaku sejak mengetahui anaknya mengikuti OSIS di sekolahnya, ia selalu dihinggapi perasaan gelisah. Sebab, anaknya langsung berubah. Kerap pulang malam, namun tak pernah terbuka ketika ditanyai habis dari mana. Bahkan, anaknya sampai jatuh sakit cukup lama, yang semakin menimbulkan kecurigaan dirinya sebagai seorang ibu.
"Saya periksakan sampai ke laboratorium, memang hasilnya tidak apa-apa. Tapi, sebagai ibu, saya memiliki feeling pasti ada yang tidak beres. Namun, saya tidak punya bukti," ujarnya.
Kecurigaannya memuncak saat ia mendapat kabar dari Tari, orangtua Bintang, yang memberitahu bahwa anaknya mengalami kritis, dan akhirnya meninggal dunia dalam perawatan usai lompat dari papan loncat indah di Kolam Renang Jatidiri, Semarang. Kepada Dwi, Tari juga mengaku merasa ada yang tidak beres pada kematian anaknya itu.
Tari mengaku sempat membuka handphone milik Bintang beberapa hari sepeninggal anaknya. Berawal dari rasa kangennya terhadap Bintang, Tari justru menemukan sejumlah video bullying bahkan kekerasan. Didasari itu pula yang membawa Tari membuka obrolan di akun Line milik anaknya. "Saya lihat satu persatu, rekaman video sampai percakapan Line. Saya bagaikan tak bertulang, darah saya mendidih," tutur Tari dengan tegar.
Tari menuturkan, dalam percakapan Line tersebut, ia menemukan foto Bintang mengenakan bra di dalam fitting room sebuah mal yang dikirimkan pada seniornya. Sementara video menampilkan adegan Bintang diminta ngesot di mal dan berkeliling mal memakai rok mini. "Ini pendidikan mental seperti apa? Ajaran agama mana yang memakaikan anak laki-laki dengan bra dan rok mini. Saya kumpulkan data ini dan cerita pada Bu Dwi sambil menangis," kenangnya.
Bukti lain yang ditemukannya adalah dua pasang rok mini warna putih dan hitam di dalam tas dan jok motor Bintang. Dalam jok motor juga ditemukan kertas bertuliskan Ketinggian 6 meter dan Kedalaman 5,3 meter. Hal ini semakin menguatkan alasan Bintang berani melompat di kolam renang yang mengakibatkan dirinya meninggal.
"Anak saya juga pernah biru-biru di bagian uluhatinya, meringis kesakitan, tapi ditanya dia bilang tidak apa-apa. Kemudian saya pikir mungkin latihan fisik seperti senam atau lari karena tidak pernah olahraga, makanya sampai membiru," ujarnya.
Diakui, Tari sempat bertanya kepada teman-teman putranya saat peringatan kematiannya yang akhirnya menguak bahwa Bintang meloncat karena disuruh seniornya, tetapi temannya tidak mau menyebutkan nama. Kemudian, bukti-bukti yang dikumpulkannya pun ia bawa untuk dilaporkan kepada Kepala SMAN 1 Endang Suyatmi.
Baik Dwi, Santi, Riana maupun Tari mengaku tidak ada keinginan untuk membawanya ke jalur hukum. Saat melaporkan temuan tersebut, mereka hanya menginginkan agar mata rantai kekerasan yang terjadi dapat diputus. Mereka tidak ingin nantinya peristiwa tersebut terjadi saat anak-anak mereka naik kelas XII, dan mengulangi hal yang sama. "Bukti (dari Bintang) kita bawa, Bu Endang silakan cari bukti lain," imbuhnya.
Tari menegaskan, dirinya sudah ikhlas dengan kepergian Bintang. Namun, masih ada yang mengganjal di hatinyna lantaran ingin tahu siapa pelaku bullying terhadap anaknya. Kendati demikian, Tari akan berlapang dada memaafkan jika pelaku bersedia mengakui. "Saya belum lega, siapa yang menyuruh anak saya. Saya ingin tahu saja, saya akan memaafkan, saya rangkul. Saya ingin tahu siapa yang menyuruh anak saya terjun di kolam renang Jatidiri," jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, salah satu perwakilan alumni yang enggan menyebutkan namanya membenarkan tindak kekerasan dalam pelaksanaan kegiatan LDK OSIS telah terjadi secara turun-temurun. Namun pihak sekolah tidak memiliki cukup bukti untuk mengambil tindakan hingga terkuak oleh orang tua Bintang.
"Benar ini sudah terjadi sejak lama, saya rasa alasan pihak sekolah belum menindak karena tidak ada bukti yang cukup. Justru pihak sekolah sudah berusaha untuk tidak membesarkan masalah ini dengan pertimbangan anak-anak," tuturnya.
Sementara itu, Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah hingga saat ini masih melakukan investigasi secara komprehensif, menindaklanjuti laporan orang tua siswa SMAN 1 Semarang terkait dikeluarkannya dua siswa, Anindya Puspita Helga Nur Fadhila (AN) dan Muhammad Afif Ashor (AF) lantaran diduga melakukan aksi bullying saat kegiatan LDK calon pengurus OSIS, November 2017 lalu. Secara menyeluruh Ombudsman belum bisa menyampaikan hasil investigasi dan klarifikasi.
Namun secara tersirat adanya potensi terjadinya pelanggaran maladministrasi yang dilakukan oleh pihak sekolah. Salah satunya mengenai sanksi 'pecat' atau dikeluarkannya dua siswa tersebut menggunakan dasar atau acuan dari buku tata tertib sekolah yang memunculkan sistem poin. Akibat nilai poin tinggi tersebut, sekolah mewajibkan siswa mengundurkan diri.
"Aturan-aturan tata tertib sekolah memang bertujuan untuk mengatur. Tetapi pengaturan ini juga harus dilihat. Pidana saja bisa diselesaikan secara restoratif justice, masak aturan tata tertib sekolah tidak bisa diselesaikan secara bijak. Perlu lihat dampak secara komprehensif, tidak hanya menggunakan kacamata kuda saja," kata Plt Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah, Sabarudin Hulu, Minggu (4/3/2018).
Dikatakannya, seharusnya pihak sekolah memiliki kewenangan untuk membina dan mendidik. Sehingga sanksi berat yang dikeluarkan tidak hanya melihat pasal-pasal di tata tertib. "Ini yang harus ada sinergitas pihak sekolah, komite sekolah, orang tua dan masyarakat. Tidak bisa serta merta hanya berdasarkan satu sumber informasi kemudian mengambil keputusan (mengeluarkan siswa) dari sekolah. Ini yang kami kira berpotensi terjadi maladministrasi yang dilakukan oleh pihak sekolah," ungkapnya.
Terpisah, Ketua Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI) PGRI Provinsi Jawa Tengah, Dr Sudharto, meminta agar kasus yang menimpa dua siswa SMAN 1 Semarang ini dihentikan atau ditangguhkan. Ia menyayangkan, kepala sekolah tidak menyelesaikan secara bijak. Justru menyulut kasus ini berbuntut panjang dan membuat gaduh tanpa mempertimbangkan dampak psikologis siswa. Apalagi para siswa sedang persiapan menghadapi Ujian Nasional (unas). "Sudahlah, lingkungan sekolah, kepala sekolah, guru, siswa, lingkungan belajar-mengajar, jangan dibuat gaduh," katanya.
Tindakan kepala sekolah, menurutnya, sebagai seorang pendidik harus bekerja menggunakan prinsip keprofesionalan. "Profesional itu bekerja demi orang lain. Nah, orang lain itu adalah peserta didik, yang kebetulan sebentar lagi menghadapi ujian," ujarnya.
Guru, lanjut dia, semestinya memiliki prinsip untuk kepentingan peserta didik. "Teman-teman guru ini dulu kan melamar (pekerjaan), setelah memenuhi syarat seleksi, kemudian diangkat dan melaksanakan tugas pokok dan fungsi. Jadi, seharusnya berpikir apakah tindakan sekolah berdampak negatif atau tidak," katanya.
Salah satu guru Bimbingan dan Konseling (BK) SMAN 1 Semarang, Tulus Wardoyo menggalang petisi di Change.Org dengan topik Stop Bullying-Save SMANSA. Dalam petisinya, ia menyampaikan, selamatkan dan lindungi anak-anak dari praktik bullying di sekolah.Ia juga mengajak bersama untuk memutus mata rantai praktik bullying di sekolah, dengan cara mendukung tindakan tegas SMAN 1 Semarang terhadap pelaku bullying.
Wakil Ketua Umum Pimpinan Cabang Khusus (PCK) Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Progdi BK Universitas PGRI Semarang ini juga meminta masyarakat menyelamatkan generasi penerus bangsa dan bersama mewujudkan pendidikan yang berkarakter. Petisi tersebut dapat diihat secara lengkap di website: https://www.change.org/p/bullying-crisis-centre-tindak-tegas-pelaku-bullying-di-sman-1-semarang. Hingga pukul 16.06 petisinya sudah ditandatangani 1.280 orang, petisi tersebut diposting dalam account Facebook pribadinya, dengan nama Ki Wardoyo pada 3 Maret 2018 lalu.
Keprihatinan terhadap kasus SMAN 1 datang dari Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi yang juga alumnus sekolah tersebut. "Jujur sebagai alumni SMAN 1 Semarang, saya merasa sangat prihatin dengan kasus ini. Ada bullying dan demo, padahal para siswa ini harus meningkatkan prestasi dan grade sekolah. Kalau kayak gini kan malah grade-nya turun," katanya saat ditemui Jawa Pos Radar Semarang, kemarin.
Pria yang akrab disapa Hendi ini juga menyayangkan terjadinya kasus tersebut, karena ranah kebijakan SMA ada di tingkat provinsi. Namun ia menyarankan kepada orang tua siswa untuk sowan ke gubernur agar bisa mencarikan solusi terbaik. "Sowan ke Pak Gubernur saja, soalnya ranahnya kan di provinsi, sehingga nanti bisa mencari solusi yang terbaik," sarannya.