• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Berkonflik dengan PTPN, Koalisi dan Warga Enrekang Lapor Ombudsman
PERWAKILAN: SULAWESI SELATAN • Jum'at, 03/08/2018 •
 
Foto: Safar/Mongabay Indonesia

Selasa (31/7/18), pukul 10.00, Kantor Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sulawesi Selatan, di Kompleks Plaza Alauddin, Jalan Sultan Alauddin, Makassar, masih lengang. Bangunan itu ruko tiga lantai. Bagian depan berkaca hitam. Duah meja, tempat mengisi buku tamu. Meja lain seorang petugas menerima aduan.

Baca juga :Konflik dengan Warga, Tanpa HGU PTPN XIV di Enrekang Mulai Tanam Sawit

Hari itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Agraria beranggotakan beberapa lembaga swadaya masyarakat, bersama dua petani dari Enrekang, Saparuddin dan Rahim, akan melaporkan kasus konflik lahan dengan PTPN.

Rahim, selalu membawa kantong kresek berisi surat panggilan dari kepolisian, aduan kepolisian, dan koleksi foto perusakan lahan sawah.

Baca juga :Sengkarut PTPN di Enrekang, Konflik pun Bakal Berlarut

Mereka memasuki ruangan pengaduan Ombudsman jelang pukul 11.30, diwakili Andi Haerul Karim dari LBH Makassar. Di dekatnya ada Ketua Konsorsium Pembaharuan Agraria Sulawesi Selatan, Rizki Anggriani Arimbi.

Haerul mengeluarkan puluhan lembar dokumen lalu diperiksa satu per satu oleh Puji Dian Lestari, asisten yang menerima pengaduan.

Proses pengaduan berlangsung sekitar 35 menit. Mereka berharap, Ombudsman jadi lembaga yang bisa menjawab kegelisahan masyarakat dalam pelayanan publik oleh pemerintah.

Muslimin B. Putra, Asisten Bidang Pemeriksaan Laporan, menjelaskan, kasus masyarakat dan PTPN XIV di Maiwa sedang mereka dalami. "Kami sebenenarnya sudah mendapatkan laporan awal tahun ini (2018). Kami sudah ke lapangan dan melihat," katanya.

"Kami akan lihat bagaimana, laporan dan dokumen teman-teman ini. Kemauan saya mencoba merumuskan melalui program tanah obyek reforma agraria itu," katanya.

Haerul mengingatkan, soal Brimob yang jadi tameng perusahaan dalam aksi perusakan lahan warga hingga intimidasi.

"Betul. Itu memang aneh. Brimob itu dari Bone, padahal lebih dekat dari Parepare, saya juga belum mengerti itu," kata Muslimin.

Bagi dia, ketika HGU PTPN XIV Enrekang berakhir 2003, dan sampai sekarang belum keluar, lahan itu jadi status quo. Artinya, perusahaan tidak boleh juga masuk dan masyarakat pun tidak boleh. "Jika kemudian ada yang tetap menggarap, alas hak tidak ada."

Rizki melihat berbeda. Duan dibawa ke Ombudsman dengan harapan ada upaya pemerintah mendesak penyelesaian konflik agraria yang melibatkan Brimob. "Kenapa Ombudsman, karena kami berharap lembaga ini dapat jadi jembatan di tengah situasi yang merugikan warga," katanya.

Fakta lapangan, katanya, lokasi eks HGU PTPN XIV, sudah ada bangunan Villa Bupati Sidrap, tempat pembuangan akhir sampah, sekolah, resorvoir, kebun raya, Briding Center Universitas Hasanuddin, dan pemukiman baru.

"Lalu kenapa warga tidak berhak menggarap lahan untuk sumber kehidupan, sementara yang lain bisa?"

Tujuh Juli sekitar pukul 09.00, puluhan karyawan PTPN XIV bersama 10 Brimob, mendatangi lahan Saparuddin, petani Desa Botto Mallangga, Maiwa, Enrekang, Sulawesi Selatan. Pagar pembatas di lahan yang diklaim sebagai tanah garapan, diserobot. Pagar tiang kayu, dipotong rata dengan tanah.

Saparuddin tak ada di tempat. Dia sedang mengerjakan kebun di sisi lain kampung. Istri dan anaknya datang melihat kejadian. Istrinya merekam melalui telepon genggam. Saya menerima salinan rekaman sekitar pukul 10.00. Suara mesin sinsau menggema nyaring.

"Ini bukan foto pak, ini hanya ambil video," kata istri Saparuddin. Ajaib petugas Brimob yang bersenjata lengkap itu memperbolehkan.

Saparuddin datang belakangan. Seorang kerabatnya berlari mengabarkan kisah itu. "Saat sudah sampai, penghancuran pagar sudah hampir diujung kebun," katanya. "Saya tidak bisa lagi bikin apa-apa. Saya cuman bilang, ini salah. Saya marah, tapi meredam sedikit."

Saya menemui Saparuddin di Makassar. Dia datang membawa aduan ke LBH Makassar. Pagar kebun dirusak mencapai 200 meter. "Iya, itu pagar selalu dirusak sama orang PTPN, tapi bagian atasnya. Jadi saya perbaiki lagi," katanya.

Sehari sebelumnya, Rahim-paman Saparuddin-juga menggarap lahan di Bangkala, bagian dari eks HGU PTPN, juga menerima nasib sama. Sinsaunya di sita Brimob. Alasannya, karena penebangan dalam kawasan hak perusahaan.

"Jadi om saya itu besoknya ke Pos Brimob, minta kembali sinsau. Dia malah diperlihatkan senjata yang disusun rapi."

Sebelumnya, seperti pemberitaan di Mongabay, luasan lahan PTPN XIV di Enrekang mencapai 5.230 hektar. Lahan ini dikuasai sejak 1979 hingga sekarang. Padahal, masa HGU telah berakhir pada 2003. Hamparan itu tak tergarap dengan maksimal. Bersama Pemerintah , Enrekang mengeluarkan rekomendasi melepaskan 2.230 hektar, untuk fasilitas umum seperti sekolah, kebun raya, hingga pemukiman. Sarana lain diberikan pada Universitas Hasanuddin untuk pusat penelitian peternakan-tetapi tak pernah berjalan maksimal.

Setelah HGU tak diperpanjang hingga kini, dengan dalih masih tahap proses, beberapa warga yang tinggal di sekitar lahan eks HGU menggarap lahan. Mereka bikin sawah sampai tanam jagung.

Sejak PTPN XIV di Sulawesi Selatan berdiri, perusahaan ini neraca keuangan terus merugi tetapi tetap dipertahankan. Subsidi negara jadi penyambung roda bisnis ini.

Di Enrekang, PTPN mengubah haluan bisnis, dari awal peternakan, jadi tepung tapioka, sekarang sawit.

Di wilayah PTPN XIV Sulsel, perusahaan menargetkan tanam sawit 2.500 hektar. Enrekang menjadi target 80 hektar, untuk 2018. Penanaman sawit 2017.

Setahun sebelumnya, 2 Juni dan 13 Juli 2016, Pemerintah Enrekang mengeluarkan surat dan meminta PTPN XIV menghentikan segala aktivitas selama HGU belum terbit.

Surat itu tetap tak diindahkan, bersama DPRD Enrekang, dibentuk panitia khusus menyelesaikan sengketa. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel menuding, sengketa ini berlarut karena banyak kepentingan. "Kami menemukan ada orang yang berhasil mendapatkan sertifikat tanah dalam eks HGU itu," kata Kiki, sapaan akrab Rizki.

Dia bilang, nasib warga sekitar eks HGU PTPN XIV Enrekang, sangat menyedihkan. "Mereka petani. Mereka memerlukan lahan untuk memenuhi kebutuhannya," katanya.

Aliansi lembaga swadaya masyarakat, dari KPA, KontraS Sulawesi, LBH Makassar, Federasi Petani Sulawesi Selatan, Serikat Perani Massenrempulu, Suara Lingkungan dan Yayasan Pendidikan Rakyat Bulukumba, mengeluarkan pernyataan sikap atas konflik PTPN XIV dan masyarakat. Aliansi ini mengatakan, kondisi ini sudah darurat agraria.

"Saya coba memehami substansi dari surat ini (pernyataan sikap aliansi). HGU perusahaan sedang proses perpanjangan. Perusahaan pemegang hak legal dengan dokumen. Masyarakat yang menggarap tidak dapat memperlihatkan bukti legal," kata Jemmy Jaya, Sekretaris Perusahaan PTPN XIV.

Bagi dia, sudut pandang antara penggarap dan perusahaan sulit bertemu. Aliansi mengatakan perusahaan merampas.

"Siapa yang merampas? Masyarakat yang bercocok tanam itu harusnya bersyukur karena menggarap lahan tanpa izin dan menikmati hasil panen. Perusahaanlah yang membayar pajak," katanya.

Laporan polisi tak digubris

Rahim, seorang petani yang sawahnya diratakan buldoser PTPN XIV pada 7 Maret 2018. Dia bersitegang dengan beberapa orang Brimob yang datang mengawal. Baju robek dan leher mendapat cekikan. Mocong senapan di hadapannya. Dia tak gentar.

Setelah peristiwa itu, bersama LBH Makassar, Rahim melaporkan peristiwa ke Polsek Sektor Maiwa, Enrekang, 8 Maret 2018. Surat itu ditindaklanjuti pada hari sama, sebagai Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP).

"Nah ini sudah hampir empat bulan. Kita belum mendapatkan tanggapan dari kepolisian, apakah sudah ditindaklanjuti atau belum. Harusnya kepolisian memberikan kita jawaban, apakah bukti atau apapun yang dianggap kurang. Atau sudah sempurna," kata Firmansyah dari LBH Makassar.

Dia nilai, tidak tak ada itikad baik kepolisian memberikan respon. Mungkin mereka anggap kasus sepele.

Keterangan foto utama:Perusakan sawah menggunakan alat berat di Maroangin, Maiwa, Enrekang, Sulsel. PTPN XIV berdalih bahwa lahan sekitar kawasan bisa digunakan warga untuk pertanian, selain untuk sawah.




Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...