Temui Pertamina, Ombudsman RI Ungkap Potensi dan Upaya Pencegahan Maladministrasi Kebijakan Pengecer Jadi Sub-Pangkalan LPG 3 Kg
JAKARTA - Ombudsman RI melakukan pertemuan dengan Pertamina Patra Niaga sebagai tindak lanjut hasil pengawasan lapangan terkait kebijakan pemerintah yang mendorong pengecer menjadi sub-pangkalan LPG bersubsidi 3 Kg. Pertemuan berlangsung pada Selasa (19/8/2025) di Kantor Pertamina Patra Niaga, Jakarta Selatan.
Dalam kesempatan tersebut, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika didampingi Kepala Keasistenan Utama III Yustus Maturbongs dan jajaran, disambut oleh Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Mars Ega Legowo dan Direktur Pemasaran Regional Eko Ricky Susanto beserta jajaran.
Yeka menjelaskan bahwa pertemuan ini menjadi awal dari rangkaian komunikasi Ombudsman RI dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Kementerian ESDM, Kemenko Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, hingga BPS dalam rangka penyampaian saran perbaikan terhadap rencana kebijakan tersebut.
"Dalam hal ini, Ombudsman RI hadir bukan untuk menghakimi, melainkan mencatat ketidaksempurnaan yang ada di masa lalu untuk menjadi pedoman perbaikan ke depan," ujar Yeka.
Hasil pengamatan Ombudsman di 12 provinsi menemukan berbagai persoalan yang berpotensi menimbulkan maladministrasi dan menghambat akses masyarakat terhadap LPG bersubsidi 3kg. Evaluasi lapangan dilaksanakan melalui kegiatan permintaan keterangan kepada tiga unsur responden, yaitu pangkalan, pengecer/calon sub-pangkalan, dan konsumen (rumah tangga serta UMKM).
Hasilnya, sebanyak 72,67% pengecer mengaku tidak mengetahui adanya rencana kebijakan pemerintah terkait peningkatan pengecer menjadi sub-pangkalan resmi. Meskipun demikian, mayoritas (61,33%) menyatakan bersedia, walaupun masih terbentur keterbatasan modal, legalitas usaha, serta pemahaman tata kelola distribusi LPG Bersubsidi 3kg.
"Uji petik menunjukkan bahwa pengecer belum siap sepenuhnya, baik dari sisi legalitas usaha, modal, maupun pemahaman regulasi. Kondisi ini rawan menimbulkan penyimpangan dan ketidaksesuaian harga dengan HET," jelas Yeka.
Dari aspek harga, Ombudsman menemukan seluruh pengecer di wilayah uji petik menjual LPG 3 Kg di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), dengan kisaran Rp30 ribu hingga Rp70 ribu per tabung. Sementara di tingkat pangkalan, 11,27% masih menjual di atas HET karena alasan tambahan biaya transportasi maupun keterbatasan pasokan.
Masalah serupa juga terlihat pada aspek pasokan. Sebanyak 36,62% pangkalan dan 36,67% pengecer mengaku pernah mengalami kelangkaan LPG 3 Kg. Dari sisi konsumen, setengah responden (50,85%) menyatakan kesulitan memperoleh LPG terutama pada awal tahun dan menjelang hari besar keagamaan.
Selain itu, Ombudsman RI juga menyoroti adanya praktik maladministrasi, seperti dominasi oknum Ketua RT dan pihak kelurahan dalam bisnis pangkalan yang mempersulit penerbitan surat keterangan usaha.
Ombudsman RI menilai lemahnya pengawasan turut memperparah persoalan. Sebanyak 96% pengecer menyatakan tidak pernah diawasi oleh pemerintah maupun Pertamina, berbeda dengan pangkalan yang lebih rutin mendapat pengawasan.
"Apabila tantangan ini tidak segera diperbaiki, kebijakan pengecer menjadi sub-pangkalan berpotensi menimbulkan maladministrasi, terutama dalam hal kepastian distribusi, harga, dan pasokan," tegas Yeka.
Menanggapi temuan dan saran Ombudsman RI, Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Mars Ega Legowo menyampaikan bahwa pihaknya berharap aspek regulasi menjadi dasar bagi perbaikan yang dilakukan. "Nanti kami akan follow up temuan dan saran Ombudsman ini. Kami juga mengapresiasi bahwa Ombudsman menitikberatkan hasil pengawasan dengan tujuan perbaikan secara menyeluruh dan sistemik," jelas Ega.
Sebagai tindak lanjut, Ombudsman RI memberikan sejumlah saran perbaikan. Pertama, pemerintah diminta mempertimbangkan agar pengecer langsung menjadi pangkalan, bukan sub-pangkalan, guna mempersingkat rantai distribusi. Kedua, mempercepat penerbitan Peraturan Presiden tentang pensasaran pengguna LPG bersubsidi 3 Kg, khususnya mengenai detail kriteria Rumah Tangga dan UMKM, mengingat Perpres yang berlaku saat ini masih menggunakan regulasi lama (Perpres No. 104 Tahun 2007). Ketiga, mendorong kebijakan LPG Bersubsidi 3Kg satu harga secara nasional atau minimal dilakukan pembagian dalam tiga zona wilayah. Keempat, memperbaiki mekanisme ketersediaan pasokan dan distribusi pasokan agar lebih merata, serta memastikan pengawasan yang lebih ketat.
"Saran perbaikan ini kami sampaikan untuk mencegah maladministrasi dan memastikan masyarakat, khususnya rumah tangga dan UMKM sasaran, tetap mendapatkan akses energi bersubsidi secara adil dan terjangkau," tutup Yeka. (MIM)