Ombudsman Dorong Penguatan Layanan dan Pengawasan Keimigrasian: Cegah Migran Ilegal hingga Investasi Fiktif
Yogyakarta - Ombudsman RI menekankan pentingnya penguatan pengawasan dan kualitas pelayanan keimigrasian sebagai langkah strategis dalam menjaga kepentingan publik sekaligus kedaulatan negara. Isu-isu seperti pekerja migran non-prosedural, penyalahgunaan izin tinggal, hingga maraknya investasi fiktif oleh warga negara asing (WNA) dinilai tidak dapat diselesaikan secara sektoral, melainkan perlu kolaborasi lintas lembaga.
Pimpinan Ombudsman RI, Jemsly Hutabarat, menegaskan bahwa pelayanan publik merupakan hak konstitusional warga negara yang wajib dipenuhi oleh negara secara cepat, tepat, dan berkualitas. Namun, kecepatan pelayanan tidak boleh mengorbankan aspek pengawasan dan kepastian hukum.
"Pelayanan publik tidak boleh berhenti pada kecepatan. Ia harus berkualitas, bebas dari maladministrasi, dan berdampak langsung bagi masyarakat. Dua indikator yang selalu kami nilai di Ombudsman adalah kualitas layanan dan potensi maladministrasi. Kombinasi keduanya menjadi dasar penilaian Opini Pelayanan Publik," ujarnya.
Jemsly menilai, masih banyak masyarakat yang belum memahami hak dan kewajiban mereka dalam pelayanan keimigrasian. Oleh karena itu, sosialisasi yang intensif sangat dibutuhkan, termasuk penjelasan hukum jika terjadi penolakan permohonan paspor atau tindakan administratif lain dari pihak imigrasi.
"Petugas tidak sedang berhadapan dengan masyarakat secara pribadi, tetapi sedang menegakkan hukum atas nama negara. Jika ada penolakan atau tindakan, sampaikan dasar hukumnya secara jelas," katanya.
Lebih jauh, Jemsly menekankan pentingnya sinergi lintas sektor dalam pengawasan keimigrasian. "Permasalahan keimigrasian tidak dapat diselesaikan sendiri oleh satu instansi. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga lembaga pengawasan harus berjalan bersama agar negara hadir dan masyarakat terlindungi," pungkasnya.
Senada dengan itu, Kepala Kantor Imigrasi Yogyakarta, Tedy Riyandi, mengungkapkan tantangan terbesar yang dihadapi petugas saat ini adalah memastikan proses penerbitan paspor tidak disalahgunakan oleh calon pekerja migran non-prosedural.
"Secara dokumen administrasi seperti KTP, KK, dan ijazah terakhir, pemohon memang lengkap. Tetapi hasil wawancara sering menunjukkan indikasi bahwa mereka akan bekerja secara ilegal di luar negeri. Dalam situasi seperti itu, kami menunda penerbitan paspor dan meminta dokumen tambahan," ujar Tedy.
Langkah pengawasan tersebut, lanjutnya, kerap menimbulkan keluhan dari masyarakat, terutama karena biaya paspor dibayarkan lebih dahulu. "Banyak pemohon yang meminta pengembalian biaya karena merasa dirugikan. Ini menjadi dilema bagi kami, karena di satu sisi harus memberikan pelayanan, tetapi di sisi lain wajib melindungi warga negara dari risiko di luar negeri," ucapnya.
Meski begitu, Tedy menegaskan bahwa fungsi pengawasan tidak boleh dikalahkan oleh tuntutan pelayanan cepat. "Kalau pengawasan dilemahkan, negara bisa kacau. Penerbitan paspor bukan hanya soal administrasi, tetapi juga soal keamanan nasional," tegasnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya komunikasi publik yang lebih baik, termasuk soal layanan paspor berbahan polikarbonat yang saat ini belum tersedia di seluruh wilayah. "Saat ini baru kantor-kantor tertentu yang bisa melayani paspor polikarbonat, seperti Jakarta Selatan dan Jakarta Barat," tambahnya.
Dari sisi pengawasan orang asing, Kepala Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Yogyakarta, Sefta Adrianus Tarigan, menyampaikan sejumlah modus pelanggaran yang sering ditemui, mulai dari penyalahgunaan izin tinggal, kasus overstay, hingga investasi fiktif bernilai miliaran rupiah.
"Beberapa waktu lalu, kami menangani kasus investasi senilai lebih dari Rp10 miliar yang ternyata fiktif. Salah satu pelaku bahkan melakukan love scam terhadap seorang dosen PNS di Yogyakarta hingga korban nyaris menjual rumahnya. Untungnya kasus itu berhasil kami gagalkan dan pelaku sudah dideportasi," ungkap Sefta.
Selain itu, pihaknya juga menangani kasus pelanggaran yang berujung pada proses hukum. "Ada satu kasus yang telah divonis denda oleh Pengadilan Negeri Sleman dan akan segera kami eksekusi untuk dideportasi," ujarnya.
Sefta mencatat, kasus penyalahgunaan izin tinggal juga sering terjadi, termasuk penyalahgunaan visa kunjungan untuk mengajar bahasa Inggris. "Kami memperkirakan jumlah deportasi tahun ini bisa mencapai 39 orang," katanya.
Tantangan lain datang dari karakteristik wilayah Yogyakarta yang memiliki banyak pintu masuk, baik melalui udara, darat, maupun kereta api. "Data kami mencatat hanya sekitar 1.700 hingga 3.000 WNA yang mengurus izin tinggal, padahal jumlah sebenarnya diperkirakan mencapai 5.000 hingga 10.000 orang," papar Sefta.
Sebagai langkah pengawasan, pihaknya mengembangkan APOA (Aplikasi Pelaporan Orang Asing) yang mewajibkan pengelola penginapan melaporkan tamu WNA secara daring. "Hingga saat ini sudah hampir 30.000 tamu WNA yang dilaporkan melalui APOA, menempatkan Yogyakarta di posisi kedua nasional setelah Bali," tutupnya.
Dalam kesempatan ini, Ombudsman RI juga menyampaikan penilaian Opini Pelayanan Publik yang diselenggarakan oleh Ombudsman RI di bulan Oktober ini. Asisten Ombudsman RI Yogyakarta, Dhea Ayu Mustika, menyampaikan Ombudsman RI Yogyakarta sudah memulai penilaian di instansi vertikal yaitu Kantor Pertanahan, Kepolisian Resor, dan mulai tahun 2025 ini penilaian juga dilakukan di Kantor Imigrasi danLembaga Pemasyarakatan.
Ombudsman RI menegaskan akan terus mendorong penguatan kolaborasi antara lembaga pengawas, instansi teknis, dan pemerintah daerah dalam memastikan pelayanan publik yang lebih berkualitas dan bebas maladministrasi. Sinergi lintas sektor dinilai menjadi kunci dalam mencegah berbagai potensi pelanggaran keimigrasian sekaligus memberikan perlindungan maksimal kepada masyarakat.