Identifikasi Tantangan Modern, Ombudsman RI Diskusi Pelayanan Publik Bersama DPR dan Perguruan Tinggi
Siaran Pers
Nomor 17/HM.01/II/2025
Rabu, 26 Februari 2025
JAKARTA - Dalam rangka menggali berbagai perspektif dalam mengembangkan inovasi pelayanan publik di tengah tantangan perkembangan teknologi, Ombudsman RI menggelar Diskusi Publik bertajuk Membangun Ekosistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang Humanis & Modern, Rabu (26/2/2025) di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan. Acara ini menghadirkan Anggota Komisi VI DPR RI, Herman Khaeron dan Wakil Rektor Universitas Insan Cita Indonesia, Lely Pelitasari Soebekty untuk membahas upaya peningkatan kualitas layanan publik dengan pendekatan yang lebih humanis dan modern.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyoroti pentingnya perbaikan sistem pelayanan publik, khususnya di sektor ekonomi, termasuk pertanian, perdagangan, perbankan, dan perpajakan. Ombudsman RI mencatat bahwa sepanjang tahun 2021 hingga 2025, Keasistenan Utama III telah menangani 415 laporan masyarakat (LM) terkait sektor perekonomian, dengan 289 laporan telah ditutup, 26 laporan dilimpahkan ke Keasistenan Resolusi dan Monitoring, serta 100 laporan masih dalam proses penanganan.
Selain itu, Ia juga menyampaikan capaian dalam penyelamatan kerugian masyarakat akibat maladministrasi di sektor ekonomi. Dari tahun 2021 hingga 2024, Ombudsman RI berhasil menyelamatkan kerugian masyarakat senilai Rp496,69 miliar, atau sekitar 96% dari total potensi kerugian yang mencapai Rp520,08 miliar.
Dalam kesempatan ini, Yeka menegaskan komitmen Ombudsman RI untuk mencegah maladministrasi melalui penguatan sistem pengawasan dan peningkatan kualitas layanan publik. Ia menekankan bahwa kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat, menjadi kunci utama dalam membangun ekosistem pelayanan publik yang lebih humanis dan modern. Di sisi lain, era digitalisasi yang berkembang pesat juga menghadirkan tantangan bagi Ombudsman RI dalam memperkuat eksistensinya sebagai lembaga negara yang berperan dalam pengawasan pelayanan publik.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih menegaskan bahwa membangun ekosistem di masa modern bukan hanya semata-mata dari regulasi, melainkan dari insani atau pelaku. "Sehingga kami sangat mengapresiasi jika ke depan adanya kemampuan eksekutorial bagi Ombudsman RI untuk bisa melakukan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan, tanpa terkecuali," tegasnya.
Anggota Komisi VI DPR RI, Herman Khaeron, yang hadir sebagai narasumber, menyampaikan bahwa pelayanan publik ke depan harus mempertimbangkan valuasi kerugian negara. Menurutnya, valuasi ini akan mendorong evaluasi terhadap standar dan praktik layanan publik serta mendukung pemberlakuan sanksi bagi penyelenggara layanan yang tidak patuh. Sebagai Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI, Herman menegaskan dukungannya terhadap eksistensi Ombudsman RI. Ia menekankan bahwa Ombudsman RI harus memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap kebijakan publik, karena jika terjadi kebocoran dalam perumusannya, maka dampaknya akan meluas pada birokrasi yang tidak efisien serta pelayanan publik yang terabaikan. Oleh karena itu, pengawasan terhadap pelayanan publik dan maladministrasi harus dapat diukur dengan aspek tangibilitas, reliabilitas, responsivitas, empati, serta kepastian dalam memberikan pelayanan publik yang baik.
Selain sektor ekonomi, diskusi ini juga menyoroti tantangan dalam ekosistem pelayanan publik di bidang pendidikan tinggi. Berdasarkan data terbaru, tingkat partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu sekitar 32% pada tahun 2024. Beberapa tantangan utama yang dihadapi meliputi keterbatasan akses bagi masyarakat di daerah perbatasan, kesenjangan kualitas pendidikan antara perkotaan dan pedesaan, serta kebutuhan akan talenta digital yang diproyeksikan mencapai 9 juta orang pada tahun 2030.
Wakil Rektor Universitas Insan Cita Indonesia, Lely Pelitasari Soebekty, mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi potensi krisis talenta digital di masa depan. Menurutnya, saat ini Indonesia berhadapan dengan ancaman bonus demografi yang tidak diimbangi dengan kesiapan sumber daya manusia, sehingga dapat berujung pada defisit 9 juta talenta digital pada tahun 2035. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya ekosistem pendidikan tinggi yang lebih adaptif dan inklusif dengan mengedepankan aspek digitalisasi, regulasi dan kebijakan yang mendukung pendidikan berbasis pedesaan, transparansi, partisipasi, akuntabilitas, serta kolaborasi antara berbagai pihak.
Ombudsman RI menegaskan bahwa dalam perspektif hak dan kewajiban tata kelola yang baik, terdapat tiga prinsip utama yang harus dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. Hak-hak publik harus dipenuhi oleh penyelenggara layanan sebagai bentuk kewajiban yang harus dilaksanakan di era modern ini.(*)
Narahubung:
Anggota Ombudsaman RI
Yeka Hendra Fatika
(0819-4513-0676)