Strategi Peningkatan Pelayanan Publik melalui Penurunan Tarif RT-PCR

Permasalahan COVID-19 merupakan kejadian serius yang harus dihadapi bersama, sehingga peran serta seluruh elemen masyarakat sangat diharapkan dalam rangka memutus mata rantai penyebarannya. Berada dalam suasana darurat kesehatan di tengah pandemi COVID-19, terdapat beberapa metode yang dilakukan untuk mendiagnosis COVID-19. Salah satunya adalah melalui tes PCR (Polymerase Chain Reaction), yaitu metode pemeriksaan virus SARS-CoV-2 atau COVID-19 dengan mendeteksi DNA virus. Berdasarkan tes yang dilakukan, maka akan didapatkan hasil apakah seseorang positif COVID-19 atau tidak.
Kemudian dalam pelaksanaannya, tes PCR memiliki kelebihan tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibandingkan dengan rapid test. Sedangkan kekurangannya adalah prosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan waktu hasil pemeriksaan yang lebih lama. Selain itu, harga alat yang tinggi juga menjadi salah satu kendala bagi masyarakat dalam menggunakan metode ini sebagai pilihan untuk mengetahui hasil diagnosis COVID-19. Berdasarkan hal tersebut, menurut hemat penulis diperlukan adanya perbaikan untuk menutupi kekurangan dalam penggunaan tes PCR. Salah satunya adalah dengan pemberlakukan kebijakan baru oleh pemerintah sebagai bentuk pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat.
Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah pada tanggal 16 Agustus 2021 sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor: HK.02.02/l/2845/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan Reserve Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Berdasarkan Surat edaran tersebut, pemerintah telah menetapkan tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR sebesar Rp495.000 untuk pulau Jawa dan Bali dan Rp525.000 untuk luar Pulau Jawa dan Bali. Batas tarif tertinggi tersebut berlaku untuk masyarakat yang melakukan pemeriksaan RT-PCR atas permintaan sendiri.
Batas tarif tertinggi tidak berlaku untuk kegiatan penelusuran kontak atau rujukan kasus COVID-19 ke rumah sakit yang penyelenggaraannya mendapatkan bantuan pemeriksaan RT-PCR dari pemerintah, atau merupakan bagian dari penjaminan pembiayaan pasien COVID-19. Menanggapi hal tersebut, menurut hemat penulis bahwa kebijakan pemerintah terkait penurunan tarif pemeriksaan RT-PCR sudah tepat dan bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam melakukan testing guna memutus mata rantai penyebaran COVID-19.
Selain itu, penurunan tarif pemeriksaan RT-PCR juga dilakukan sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap masyarakat agar dapat melakukan pemeriksaan tanpa terkendala harga yang tinggi. Walaupun penurunan harga yang tidak terlalu drastis, kebijakan tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat dalam melakukan pemeriksaan diagnosis COVID-19 untuk berbagai keperluan. Kebijakan penurunan tersebut merupakan salah satu bentuk optimalisasi pelayanan publik dalam rangka memberikan pelayanan yang berkualitas bagi masyarakat di tengah pandemi COVID-19.
Selanjutnya untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pelayanan publik dalam bidang kesehatan, maka perlu adanya pengawasan secara internal oleh pengawas rumah sakit yang terbentuk dalam Satuan Pengawas Internal. Apabila terjadi penyimpangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, maka masyarakat dapat berperan sebagai pengawas eksternal dengan menyampaikan keluhannya kepada Ombudsman RI, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Badan Pengawas Rumah Sakit yang ada pada masing-masing tingkat provinsi di Indonesia.
Berdasarkan ketentuan dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pasal 4 poin a dan b, bahwa penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan kepentingan umum dan kepastian hukum sehingga fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau dalam hal ini menyesuaikan tarif RT-PCR sebagaimana ketentuan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor: HK.02.02/l/2845/2021. Selanjutnya berdasarkan ketentuan dalam Pasal 18 huruf f, g, dan h disebutkan bahwa masyarakat berhak memberitahukan kepada pelaksana untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan, serta berhak untuk mengadukan pelaksana maupun penyelenggara kepada Ombudsman RI.
Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 7 poin a, b, c, dan d UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yaitu Ombudsman bertugas menerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, melakukan pemeriksaan substansi atas laporan, menindaklanjuti laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman, dan melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Berkaitan dengan hal tersebut, penulis berpendapat bahwa sebagai lembaga negara yang berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, apabila terdapat laporan masyarakat yang berkaitan dengan adanya dugaan penyimpangan standar pelayanan publik yang diberikan ataupun terjadi penyalahgunaan wewenang dalam hal batas tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR, maka pihak Ombudsman RI harus sigap dan konsisten dalam menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut. Langkah tersebut dilakukan agar permasalahan dapat diselesaikan dengan baik, pemberi pelayanan dapat memperbaiki kesalahan yang dilakukan, serta masyarakat dapat merasakan manfaat dari pelayanan publik yang berkualitas.
Selanjutnya, selain adanya pengawasan yang dilakukan baik secara internal maupun eksternal, keterlibatan beberapa instansi yang berwenang juga diperlukan, dalam hal ini Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kabupaten/Kota juga diharapkan dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemberlakuan pelaksanaan batas tarif tertinggi untuk pemeriksaan RT-PCR berdasarkan kewenangan masing-masing. Hal ini dilakukan agar kebijakan tersebut dapat berjalan sesuai dengan kaidah peraturan yang berlaku dan untuk mencegah terjadinya tindakan maladaministrasi oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.