Pelayanan Publik di Reformasi Birokrasi Periode Ketiga

Reformasi birokrasi bukan merupakan bahasan baru dalam konteks penyelenggaraan pemerintah. Secara umum, reformasi birokrasi digadang-gadang sebagai supaya melakukan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintah. Tujuannya tentu untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, atau dikenal dengan istilahgood governance.
Semangat perubahan dalam kerangka reformasi birokrasi terus digaungkan oleh pemerintah. Jika dilihat pada Perpres No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, agenda reformasi birokrasi dirancang sedemikian rupa dan dilakukan dalam beberapa periode agar setiap periode dapat terus dilakukan evaluasi dan perbaikan, sehingga diharapkan di tahun 2025, visi pemerintah menjadi pemerintahan berkelas dunia dapat terwujud.
Berdasarkan rancangan dan tahapan Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 di atas, maka terdapat 3 periode reformasi birokrasi. Pertama di tahun 2010-2014, kedua tahun 2015-2019, dan ketiga tahun 2020-2024. Sehingga saat ini, kita tengah menjalani periode ketiga pelaksanaan reformasi birokrasi. Lantas bagaimana fokus pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik di periode ketiga ini?
Reformasi birokrasi periode ketiga dilaksanakan berdasarkan Permenpan-RB No.26 Tahun 2020 Tentang Pedoman Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Setidaknya terdapat 8 area perubahan reformasi birokrasi yang harus dilakukan untuk mewujudkan pemerintahan berkelas dunia. Antara lain melakukan manajemen perubahan, deregulasi kebijakan, penataan dan penguatan organisasi, penataan tata laksana, penataan sumber daya manusia aparatur, penguatan akuntabilitas, penguatan pengawasan dan peningkatan pelayanan publik. Terlihat pelayanan publik masih menjadi fokus pemerintah dalam konteks reformasi birokrasi periode ini.
Salah satu fokus pelayanan publik dalam tahap reformasi birokrasi ketiga ini adalah peningkatan kualitas pelayanan publik, yang tujuannya tentu saja untuk mewujudkan pemerataan kualitas di semua tingkatan penyelenggara pelayanan publik, baik pada level kementerian/lembaga, pemerintah daerah. Peningkatan kualitas pelayanan publik tersebut harus sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat. Karena setidaknya terdapat tiga target dalam Permenpan-RB No.26 Tahun 2020. Pertama, mewujudkan pelayanan publik (lebih cepat, lebih murah, lebih aman, dan lebih mudah dijangkau). Kedua, meningkatnya jumlah unit pelayanan yang memperoleh standardisasi pelayanan, dan ketiga, meningkatnya indeks kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik oleh masing-masing penyelenggara di semua level, baik kementerian/lembaga, hingga pemerintah daerah. Lantas bagaimana langkah untuk mewujudkan tiga target peningkatan kualitas pelayanan publik tersebut?
Target pertama adalah mewujudkan kualitas pelayanan publik yang lebih cepat, lebih murah, lebih aman, dan lebih mudah dijangkau. Ini dapat diwujudkan dengan beberapa alternatif, misalnya untuk layanan yang lebih cepat, proses pendaftaran, mulai dari antrian, hingga memasukkan berkas dapat dilakukan secara online, sehingga jika memang diperlukan untuk datang langsung adalah hanya pada tahap verifikasi berkas saja. Bahkan hasil akhir layanan publik, misal dalam bentuk dokumen dapat diantar langsung ke alamat yang pengguna layanan. Sehingga tak banyak menyita waktu untuk mengakses layanan.
Sebenarnya model seperti ini telah dilakukan dibeberapa instansi penyelenggara layanan. Namun hingga tahun 2020, masih terlihat pelaksanaannya belum merata di semua lini layanan publik. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya laporan dalam kategori dugaan maladministrasi penundaan berlarut. Di Ombudsman Kalsel misalnya, laporan penundaan berlarut atas layanan, berulang kali masuk, bahkan hampir setiap bulan datang laporan dengan ketegori tersebut. Uniknya lagi, laporan penundaan berlarut tersebut didominasi untuk satu substansi layanan, yakni pertanahan: layanan yang diselenggarakan oleh kantor pertanahan yang merupakan bagian dari instansi vertikal (Kementerian Agraria/BPN. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa pada level kementerian/instansi vertikal pun masih belum selesai dengan target mewujudkan pelayanan cepat tersebut.
Alternatif lain juga dapat dilakukan dengan mendekatkan layanan kepada masyarakat, baik melalui UPT, mobil layanan, atau corner layanan. Hal ini juga sudah dilakukan beberapa instansi pelayanan sebagai salah satu inovasi dalam rangka meningkatkan performa layanan kepada masyarakat. Namun lagi-lagi belum semua instasni penyelenggara menyadari pentingnya hal ini dilakukan. Hingga saat ini masih banyak penyelenggara layanan yang "terlanjur nyaman" dengan pola kerjanya, dikantor, bersifat pasif, hanya menunggu pengguna layanan. Belum lagi di masa Pandemi Covid-19, masyarakat masih terkendala untuk mendapatkan pelayanan yang mudah dijangkau. Seperti yang dilihat langsung oleh Ombudsman Kalsel, salah satu UPT Disdukcapil di masa pandemi tidak memberikan pelayanan secara tatap muka, hanya dilakukan melalui call center (untuk menanyakan layanan) danwhatsApp (untuk mengirim berkas persyaratan), namun tidak diinformasikan secara baik kepada masyarakat. Terbukti masih banyaknya masyarakat yang datang ke UPT karena ingin mengakses layanan, namun tidak ada seorang pegawai pun yang dapat dimintai informasi.
Inovasi layanan melalui digital ataupun berbasis online memang bagi sebagian kalangan dapat memudahkan dan mempersingkat waktu. Namun bagi kalangan lain yang tidak mempunyaismart phone, hal ini akan menyulitkan bahkan menghambat hak masyarakat untuk mengakses layanan. Bayangkan saja, untuk mengurus Kartu Keluarga misalnya, berkas persyaratan harus dikirimkan melalui whatsApp, sementara masyarakat tidak mempunyainya tentu akan menjadi sulit. Ironisnya pihak penyelenggara tidak memberikan alternatif atas layanan tersebut.
Kedua, target untuk meningkatkan jumlah unit pelayanan yang memperoleh standarisasi pelayanan dapat dilakukan dengan memenuhi komponen standar pelayanan sebagaimana UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam lampiran Permenpan-RB No.26 Tahun 2020, dijabarkan bahwa ukuran keberhasilan yang digunakan sebagai hasil antara, peningkatan kualitas pelayanan publik berjalan dengan baik di kementerian/lembaga/pemerintah daerah adalah dengan Penilaian Tingkat Kepatuhan Terhadap Standar Pelayanan Publik Sesuai Undang-undang 25 Tahun 2009. Hingga saat iini, nampaknya lembaga yang fokus untuk melakukan penilaian tingkat kepatuhan terhadap standar pelayanan publik tersebut adalah Ombudsman RI. Penilaian bahkan telah dilakukan Ombudmsan sebelum terbit Permenpan-RB No.26 Tahun 2020 tersebut, mengingat penilaian kepatuhan sebagai salah satu konsen Ombudsman untuk terus mengawal terwujudnya pelayanan publik yang berkualitas dan tentunya telah memenuhi dan menerapkan komponen standar layanan sebagaimana UU Pelayanan Publik.
Jika dilihat dari hasil penilaian kepatuhan tersebut, tentu terdapat peningkatan di tiap tahunnya, bahkan cenderung ada penambahan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang menjadi objek penilaian. Seperti data yang dilansir melalui website Ombudsman (20/11/2019), Survei Kepatuhan tahun 2019, dilakukan terhadap 4 kementerian, 3 lembaga, 6 pemerintah provinsi, 36 pemerintah kota dan 215 pemerintah kabupaten. Namun pertanyaannya, apakah semua Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah telah patuh terhadap UU Pelayanan Publik, khususnya pada pemenuhan komponen standar layanan? Jawabannya belum semua patuh. Hal ini terlihat dari masih bermacam warna (Hijau: Kepatuhan Tinggi, Kuning: Kepatuhan Sedang, dan Merah: Tidak Patuh) yang disematkan pada Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang menjadi objek penilaian kepatuhan Ombudsman RI.
Bahkan pernah terjadi di Kalsel, tepatnya pada Kabupaten Banjar, dimana dua tahun berturut-turut menjadi objek penilaian kepatuhan, namun hanya memperoleh Tingkat Kepatuhan Sedang. Di tahun ketiga barulah mendapatkan predikat Kepatuhan Tinggi. Hal ini menunjukkan bukan perkara mudah untuk menyadarkan dan mengajak semua perangkat daerah untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana UU Pelayanan Publik dalam konteks memenuhi komponen standar layanan. Padahal tujuan dilengkapinya adalah untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dalam mengakses layanan di sebuah instansi layanan, juga sebagai "penjaga" penyelenggara dari tuduhan bekerja tak profesional, karena penyelenggara sudah bekerja berdasarkan standar operasional yang berlaku, dimana standar operasional merupakan salah satu komponen yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pelayanan publik. Sehingga perlu digaungkan kembali pentingnya pemenuhan komponen standar layanan sebagaimana UU Pelayanan Publik tersebut agar seluruh penyelenggara layanan dapat mencapai tingkat Kepatuhan Tinggi, yang harapannya berimbas pada pemenuhan hak masyarakat dalam pelayanan publik.
Ketiga, target meningkatnya indeks kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik oleh masing-masing penyelenggara. Target ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai goals akhir pelaksanaan pelayanan publik. Karena pada hakikatnya penyelenggaraan pelayanan publik adalah untuk masyarakat. Lantas apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan indeks kepuasan mayarakat tersebut? Tentu yang harus dilakukan adalah memperbaiki citra layanan, baik dari segi tampilan layanan, juga sikap pemberi layanan. Penilaian acapkali dilakukan secara konvensional, kebanyakan dengan mengisi formulir kepuasan pelanggan. Namun telah banyak instansi penyelenggra pelayanan publik yang telah melakukan survei kepuasan masyarakat melalui media digital. Yang menjadi titik tekan pada target ini adalah bukan bagaimana metode menjaring kepuasan masyarakat terhadap layanan. Namun yang menjadi penting adalah setelah didapat hasil survei kepuasan masyarakat, hasil tersebut harus dilakukan evaluasi secaara berkesinambungan, sehingga perbaikan layanan terus berjalan dan meningkat dengan memperhatikan masukan/kritik yang disampaikan masyarakat melalui survei kepuasan masyarakat tersebut.
Selain dilakukan evalusi terhadap hasil dan upaya perbaikan berdasarkan hasil evaluasi tersebut, juga perlu publikasi yang masif terhadap hasil survei kepuasan masyarakat tersebut, sehingga dapat diakses secara terbuka oleh siapapun. Dengan harapan jika beberapa hal tersebut terus dilakukan secara berkesinambungan, akan terwujud kepuasan masyarakat terhdap layanan dalam bentuk indeks persepsi kualitas pelayanan dengan hasil maksimal (amat baik), yang berbanding lurus dengan perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan publik pada instansi penyelenggara pelayanan publik.