Ombudsman dan Paradoks Pengawasan Ketenagakerjaan
"Ironi adalah bentuk paradoks. Paradoks adalah apa yang baik dan hebat pada saat bersamaan". Begitu ungkapan seputar paradoks yang dikutip dari Friedrich Schlegel (1772-1829) seorang filsuf, pengkritik, penulis dari Jerman. Kutipan tersebut makin ke sini makin relevan dalam layanan pengawasan ketenagakerjaan karena faktanya memang terdapat paradoks yang selalu dan akan berulang. Secara kasat mata, dalam pelayanan ketenagakerjaan seperti seakan tak ada masalah. Semuanya tampak indah bak taman berbunga, namun faktanya banyak sekali permasalahan yang mengakar.
Di tengah meningkatnya tren laporan masyarakat bidang ketenagakerjaan di Ombudsman, pada akhirnya Ombudsman turut dipaksa untuk mengurai paradoks yang mengakar parah. Tak ada kewajiban Ombudsman untuk menyelesaikannya, tapi setidaknya ada hal yang bisa dilakukan Ombudsman, seperti mendorong pengawas ketenagakerjaan agar optimal dan maksimal dalam melaksanakan tugas. Lantas, apa dan bagaimana sesungguhnya paradoks layanan ketenagakerjaan? Bagaimana posisi Ombudsman dan apa yang bisa dilakukan?
Paradoks Layanan Pengawasan Ketenagakerjaan
Benar bahwa ruang lingkup pelayanan publik di bidang ketenagakerjaan sangat luas. Masalah-masalah klasik seperti keterbatasan pengawas, anggaran yang terbatas sampai perusahaan yang menjadi fokus pengawasan sangat banyak seringkali mempengaruhi kualitas pelayanan pengawasan ketenagakerjaan oleh instansi terkait. Belum lagi dihadapkan pada rumitnya birokrasi dan regulasi ketenagakerjaan yang sepertinya membingungkan. Tapi tak mengapa, untuk permasalahan klasik tersebut diyakini akan selesai walaupun untuk jangka waktu yang agak lama. Namun untuk sejenak, mari kita bergeser ke masalah kunci yang sampai saat ini masih menjadi paradoks dalam pengawasan ketenagakerjaan.
Ketegasan. Hal itu adalah bagian yang sangat krusial dalam paradoks pengawasan ketenagakerjaan. Dalam Permenaker Nomor 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagkerjaan sejatinya sudah cukup jelas mengatur prosedur pengawasan dan penegakan ketenagakerjaan. Namun faktanya justru pengawas ketenagakerjaan kurang tegas dalam pelaksanaannya. Bagaimana mungkin akan tercipta kepatuhan perusahaan atas hukum ketenagakerjaan jika justru pengawas dan penegak hukum yang tidak berani mengambil sikap yang tegas.
Banyak hal yang melatarbelakangi pengawas ketenagakerjaan cenderung tidak tegas dalam melakukan pengawasan ketenagakerjaan. Pertama, dari sisi regulasi. Permenaker Nomor 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan melalui tahapan preventif edukatif, represif non yustisial dan represif yustisial. Namun untuk pengawasan yang bersumber dari rencana kerja pengawasan atau pengaduan pekerja, sangat sulit diukur efektifitasnya karena seringkali tahapan yang dilalui cenderung preventif edukatif (pembinaan, penasihatan teknis, dan pendampingan) dan represif non-yustisial (Nota Pemeriksaan atau surat pernyataan kesanggupan pemenuhan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan). Pendekatan pembinaan memang akan lebih dominan, namun bayangkan jika para pengusaha tidak kooperatif dan tidak melaksanakan Nota Pemeriksaan. Pembinaan saja tidak akan cukup. Kalau pengawas ketenagakerjaan terus berfokus dalam sisi pembinaan saja pasti akan mempengaruhi kualitas layanan pengawasan ketenagakerjaan seperti waktu penyelesaian yang akan semakin panjang.
Kedua, dari sisi dampak hubungan industrial dan perekonomian. Upah minimum, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kesehatan dan uang lembur adalah masalah hubungan industrial yang sering muncul. Untuk satu isu seperti upah minimum saja polemiknya banyak sekali bahkan diyakini masih sangat banyak pengusaha yang standarisasi pengupahannya tidak sesuai dengan upah minimum. Kalau dalam pengawasan ketenagakerjaan ditemui hal demikian, tentunya akan sangat berpengaruh pada iklim hubungan industrial dan perekonomian. Bagaimana tidak, jika hasil temuan Nota Pemeriksaan terdapat perusahaan yang pengupahannya yang tidak sesuai dengan UMP (Upah Minimum Provinsi) secara prosedur akan dilakukan penindakan bagi pengusaha. Tentunya penindakan tersebut akan berdampak pada banyaknya pekerja yang diberhentikan, penutupan perusahaan, pemidanaan bagi pengusaha dan lain sebagainya. Begitu juga dengan perekonomian, akan terdampak parah karena akan ada banyak perusahaan yang bangkrut. Hal ini juga menjadikan pengawas menjadi sulit dalam mengambil sikap, secara regulasi wajib ditegakkan namun fakta dilapangan justru sangat memberatkan.
Ketiga, dari sisi penegakan hukum. Tak perlu banyak mengurai bentuk tindak pidana dalam ketenagakerjaan. Untuk satu pelanggaran seperti membayar upah lebih rendah dari upah minimum saja tentunya adalah perbuatan tindak pidana. Dalam Pasal 185 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja secara tegas telah mengatur sanksi pidana bagi pengusaha yang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Namun faktualnya apakah benar penegakan hukum tersebut bisa dilaksanakan? Sanggupkah aparat penegak hukum menindak jutaan pengusaha yang ada di Indonesia kalau dalam sistem pengupahannya tidak sesuai dengan upah minimum? Bagaimana dengan dampak pemidanaan tersebut terhadap keberlangsungan usaha perusahaan jika pengusahanya dipidana semua.
Sedikit alasan di atas paling tidak bisa sedikit menggambarkan bagaimana peliknya posisi pengawas dalam pengawasan ketenagakerjaan. Sebenarnya masih banyak lagi alasan ketidaktegasan pengawas dalam penegakan hukum ketenagakerjaan. Sangat banyak hal yang jadi pertimbangan. Banyak hal yang harus diperhatikan. Dalam sudut pandang pengwas, tidak hanya melihat dari sisi layanan dan penegakan regulasi, tapi juga pengawas ketenagakerjaan dituntut bijaksana terhadap dampak keputusan yang akan diambil. Namun bagaimana dari sisi pelayanan publiknya. Bukankah kalau regulasi tidak dilaksanakan justru potensi maladministrasinya akan semakin besar?
Posisi Ombudsman Dalam Pengawasan Ketenagakerjaan
Pertama-tama, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana posisi Ombudsman Republik Indonesia dalam pelayanan sektor ketenagakerjaan. Sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik tentunya sektor ketenagakerjaan turut menjadi fokus pengawasan Ombudsman RI. Apalagi kini tren aduan di bidang ketenagakerjaan semakin meningkat tiap tahunnya. Kemudian Ombudsman RI bukanlah lembaga penegak hukum, sehingga terhadap bentuk paradoks pengawasan ketenagakerjaan di atas, Ombudsman RI hanya berfokus pada dimensi pelayanan publiknya saja.
Sebagai contoh,Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Kepulauan Bangka Belitung pernah menerima laporan masyarakat terkait dugaan maladministrasi (penundaan berlarut) pelayanan pangawasan ketenagakerjaan oleh salah satu instansi pemerintah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pelapor adalah pekerja yang melaporkan adanya dugaan pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pengusaha. Dalam pemeriksaan, didapati fakta bahwa Terlapor telah menerbitkan Nota Pemeriksaan II dengan banyak temuan diantaranya pembayaran upah yang tidak sesuai dengan UMP. Terlapor juga mengakui bahwa terdapat keterlambatan dalam pelaksanaan pengawasan dan tindaklanjutnya dikarenakan pandemi Covid-19. Selain itu Terlapor juga menyampaikan bahwa terdapat polemik yang dikhawatirkan akan terjadi jika dilaksanakan tahapan represif yustisial (penegakan hukum) kepada pengusaha seperti pemidanaan bagi pengusaha, terganggunya hubungan industrial dalam perusahaan tersebut sampai dengan dampak tutupnya perusahaan.
Terhadap alasan di atas tentunya Ombudsman Bangka Belitung memandang bahwa telah terjadi maladministrasi (penundaan berlarut) karena tidak ada kepastian waktu dan tindaklanjut dalam layanan yang diberikan. Selain itu, kekhawatiran yang ditakutkan oleh Terlapor tidak dapat dijadikan alasan menurunnya kualitas pelayanan publik sektor ketenagakerjaan karena secara regulasi tahapan represif yustisial masih dapat dilaksanakan. Terhadap temuan tersebut, Ombudsman Bangka Belitung meminta ada penyelesaian atas laporan Pelapor dan akhirnya instansi Terlapor pun berkomitmen memberikan tindaklanjut kepada Pelapor atas dorongan Ombudsman Bangka Belitung.
Dalam konteks pelayanan publik, kepastian layanan adalah keniscayaan. Ombudsman RI hadir untuk memastikan setiap pelayanan publik diselenggarakan secara berkualitas. Pun begitu dalam layanan ketenagakerjaan. Bukan bermaksud mengenyampingkan paradoks yang terjadi dalam pengawasan ketenegakerjaan, namun memang diperlukan terobosan yang tegas untuk memutus polemik pada pengawasan ketenegakerjaan. Salah satunya dengan penegakan hukum. Tentunya kita sama-sama berharap bahwa ironi yang terjadi dalam pengawasan ketenagakerjaan dapat berangsur hilang secara bertahap. Karena memang saat ini dalam pengawasan ketenagakerjaan segalanya tampak indah seakan tanpa masalah. Namun justru menyimpan banyak polemik berkepanjangan yang merepotkan. Semoga pelayanan publik sektor ketenagakerjaan dapat terus lebih baik ke depannya. (KCF)