• ,
  • - +
Menagih Janji Pejabat Publik
pelayanan,pejabtat,lapor,ombudsman,wewenang • Jum'at, 27/12/2019 • Bellinda W. Dewanty, S.H., M.H.
Bellinda W. Dewanty, S.H., M.H.

Filosofi Pemimpin

Pemimpin sebagaimana maknanya adalah seseorang yang diberikan kepercayaan mengemban tugas dan diharapkan mampu menjalankannya dengan penuh tanggungjawab. Pemimpin tentu harus memiliki pengaruh, baik dalam interaksi maupun pada kebijakan yang diambilnya.

Pengaruh ini pula harus diuji dari seberapa besar dampak yang dihasilkan. Oleh karenanya, publik patut untuk menguji pengaruh tersebut. Semakin banyak nilai kebaikan yang dipedomani pemimpin, maka semakin besar manfaat dari kebaikan tersebut yang dirasakan publik.

Sebagaimana kehidupan manusia lainnya, kehidupan pemimpin pun harus mengedepankan pada nilai-nilai luhur. Di Jawa misalnya, kehidupan sebagai manusia diibaratkan seperti wayang yang artinya setiap manusia harus mampu menerima kehendak Tuhan. Oleh karenanya, orang Jawa senantiasaelingatau sadar. Sadar untuk berbakti kepada Tuhan yang Mahatunggal[1]. Sadar bahwa mengasihi sesama jauh lebih berharga dibandingkan nafsu untuk menguasai dunia. Filosofi lain yang dapat diilhami para pejabat publik adalah sikaprila nrima (rela menerima)[2], yakni ketika dihadapkan pada aktivitas pelayanan, pejabat publik mampu melaksanakan tugas dengan penuh keikhlasan. Rela untuk mengedepankan kepentingan publik dan mengesampingkan kekuasaan.

Dipenghujung tahun 2019, publik dikejutkan oleh banyaknya prestasi pejabat publik. Sejumlah Provinsi, Kabupaten/Kota mendapatkan penghargaan. Satu pertanyaan yang menggelitik,"sudah begitu baikkah wajah pelayanan publik di negeri ini?" Pertanyaan senada lainnya pun laik untuk mendapatkan jawaban, "sudahkah regulasi yang ada sepenuhnya telah di taati dengan baik?"

Memotret wajah pelayanan publik dinegeri ini, mengingatkan kembali pada sistem kebijakan yang diterangkan David Easton. Dalam bukunya yang berjudul"The Political System",Easton menerangkan bagaimana hubungan pemimpin dengan masyarakat harus terjalin dengan harmonis. Bagaimana setiap input (masukan) masyarakat atas penyelenggaraan pelayanan harus ditanggapi secara bijak. Sehingga, menghasilkan suatu output (evaluasi) atas penyelenggaraan pelayanan yang telah diberikan tersebut.

Dalam konteks pelayanan publik, teori yang disampaikan David Easton ini dapat pula disandingkan dari bagaimana hubungan penyelenggara (pejabat publik) dalam menindaklanjuti laporan/pengaduan masyarakat. Terhitung sejak tahun 2014-2019 Ombudsman Republik Indonesia telah menerima laporan/pengaduan masyarakat sebanyak 44.166 laporan. Hal ini, mengisyaratkan bahwa setiap aktivitas pejabat publik tidak luput dari sorotan maupun penilaian masyarakat. Ragam cara telah dilakukan agar publik sebagai pengguna layanan dapat berinteraksi dan mendapatkan hak-haknya ketika mengakses suatu pelayanan. Baik meliputi kepastian layanan yang berisikan persyaratan, jangka waktu, tarif hingga informasi publik lain yang menjadi haknya dapat diketahui tanpa sekat. Publik bahkan juga diperkenankan untuk menyampaikan laporan/pengaduan apabila pemberi pelayanan ingkar atas janjinya bahkan enggan untuk memberikan layanan. Disinilah, publik dapat untuk menagih janji-janji tersebut dan menuangkannya dalam laporan/pengaduan.

 

Mengadu tanpa sekat

Kesempatan publik untuk menyampaikan laporan/pengaduan saat ini semakin mudah, Presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan memberikan jaminan bahwa laporan/pengaduan adalah suatu kebutuhan. Sehingga, pejabat publik harus sigap untuk menindaklanjuti. Tentu saja, Perpres tersebut tidak mempengaruhi esensi dari Undang-Undang Pelayanan Publik (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009), dimana salah satu kewajibannya adalah memberikan sarana sekaligus menindaklanjuti laporan/pengaduan masyarakat.

Sejalan dengan hal tersebut, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) melalui Permenpan Nomor 62 Tahun 2018 tentang Pedoman Sistem Pengaduan Pelayanan Publik Nasional mengintegrasikan pengelolaan pengaduan pelayanan publik melalui aplikasi LAPOR. Keberadaan LAPOR tentu menjadi angin segar bagi publik. Selain diberikan ruang kebebasan untuk melapor, Permenpan Nomor 62 Tahun 2018 ini juga memberikan kewajiban kepada pejabat publik untuk menyampaikan evaluasi atas pelayanannya.

 

Prestasi yang tidak diimbangi evaluasi

Evaluasi ini bertujuan untuk menguji apakah suatu layanan telah diselenggarakan dengan baik. Sayang, evaluasi pada pengelolaan pengaduan masyarakat tidak menjadi suatu indikator utama untuk memberikan gambaran wajah pelayanan publik di suatu instansi. Pengelolaan pengaduaan seringkali diukur berdasarkan bagaimana respon yang diberikan pejabat publik tanpa mengkaji lebih lanjut muatan substansi penyelesaian aduannya. Hal ini tentu menjadi tanda tanya bagi publik. Laikkah para pejabat publik tersebut diberi tanda prestasi?

Ramai-ramai berburu prestasi sejatinya dimaknai sebagai pencapaian tertinggi atas kerja keras suatu instansi. Publik berhak mendapatkan solusi atas permasalahan yang diadukannya. Publik juga memiliki hak mempertanyakan kembali makna lahirnya regulasi yang ada. Lebih lanjut, publik juga memiliki hak untuk mendapatkan kepastian bahwa SP4N LAPOR! tidak hanya menjadi wadah, akan tetapi menjadi suatu sarana bagi pembina untuk memastikan bahwa tiap laporan/pengaduan yang masuk tidak hanya sekadar ditindaklanjuti instansi. Pembina dalam hal ini, tentu perlu mengkaji kembali apakah tindak lanjut yang diberikan oleh instansi telah menyentuh persoalan. Jika hal ini dilakukan dengan baik, tentu pengelolaan pengaduan oleh pejabat publik tidak lagi hanya seremoni atau semata pemenuhan hasrat untuk taat pada regulasi.



[1] Niels Mulders, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari orang Jawa (Jakarta: Gramedia, 1986)

[2] De Jong, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1976), 18.




Loading...

Loading...