Warga Tak Berpenghasilan Malah Tidak Dapat, Skema Bansos COVID-19 Diminta Diubah
Muhammad Hanif yang bekerja sebagai penjual tisu di lampu merah kota Medan merasa terbantu dengan adanya pemberian uang tunai dari Kementerian Sosial sebesar Rp300 hingga 600 ribu.
Namun, bantuan yang ia terima tidak bertahan lama.
Tiga hari yang lalu, Hanif yang tinggal dengan ibunya yang lumpuh karena penyakit Parkinson, mendengar kabar jika namanya tidak lagi tercantum dalam daftar penerima bantuan sosial.
"Tidak tahu menahu kenapa," kata Hanif, yang mengatakan bahwa bantuan uang tunai tersebut "membantu walau tidak seberapa".
"Istilahnya, saya menerima apa adanya, seperti uang 'pampers' mama saya, karena beliau sudah tidak bisa apa-apa, jalan pun tidak bisa."
Ketika masih sehat, ibu Hanif, yang bernama Ratna, mengandalkan pendapatan dari bisnis warungnya.
Namun, sejak tiga tahun yang lalu, ia hanya dapat terbaring di atas kasur dan harus mengandalkan pendapatan anaknya untuk bertahan hidup.
Kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia, Hanif mengaku jika pendapatannya sudah "tidak cukup" bahkan sebelum pandemi COVID-19 dan kini semakin menurun.
"Berpengaruh sekali pandemi ini, biasanya target saya bisa menjual lima sampai enam bungkus tisu, tapi sekarang hanya dua bungkus."
Menurut pria berusia 39 tahun tersebut, bantuan dari pemerintah saat ini "tidak tepat sasaran" karena hanya diberikan kepada "orang yang berada".
Sejak mengalami penyakit Parkinson tiga tahun lalu, ibu Hanif, Ratna (kiri) tidak dapat lagi menjalankan bisnis warungnya.
Pandangan yang sama juga dimiliki oleh tetangga Hanif, M. Zulkarnain, akrab disapa Zul, yang kini kesulitan mencari pekerjaan di tengah pandemi.
"Ada yang rumahnya tidak layak lagi, ada yang sudah tua dan tidak ada penghasilan, tapi malah tidak dapat," ujarnya.
"Yang dapat? Yang masih bisa bekerja, yang anggota keluarganya semua kerja."
Zul harus membiayai keperluannya dan ibunya yang menderita gejala stroke ringan dari hasil dagang nasi bungkus ibunya, setelah mengetahui jika nama mereka dihapus dari daftar penerima.
"Kami langsung datang ke Dinas Sosial, mereka juga bilang tidak tahu karena itu data dari Kemensos," kata Zul yang berusia 27 tahun.
Zul (kiri) yang namanya dicoret dari daftar penerima bansos di Medan hanya bertahan hidup dari penjualan nasi bungkus ibunya yang menderita gejala stroke.
'Produk sama, jumlah berbeda'
Faisal adalah warga Jakarta yang menerima bantuan sosial dan ia sempat bertanya pada sejumlah warga lainnya tentang penerimaan bantuan sosial, karena didorong rasa penasaran.
"Saya bertanya kepada orang-orang yang saya kenal, saudara dan tukang kopi, ada yang dapat beras sekali, ada juga yang tidak dapat sama sekali," katanya.
Ia mengaku menemukan kejanggalan dalam pengedaran produk bansos yang dirasa tidak konsisten.
"Bagi yang dapat, untuk produknya sama, tetapi jumlahnya saja yang berbeda. Semisal saya dapat enam [produk bantuan bansos], saudara saya hanya dapat tiga," ujarnya.
Faisal juga merasa bahwa kualitas beras yang ia terima dalam bansos tersebut memburuk dari waktu ke waktu.
"Untuk di awal, bantuan sosial yang saya dapat tidak ada [kutu], tetapi akhir-akhir dapat, ada," katanya.
Sebagian besar warga DKI Jakarta mengatakan bahwa isi bansos yang mereka terima tidak sesuai dengan satu sama lain.
Pengalaman Faisal soal isi bansos sejalan dengan temuan lembaga Forum Indonesia Untuk Transpransi (FITRA).
Mereka menemukan sebanyak 59 persen dari 1.416 responden penerima bansos dari Kementerian Sosial di periode 24 Juni hingga 7 Juli 2020 mengeluhkan isi yang tak sesuai dengan yang disebutkan.
"Misalnya 39 responden hanya menerima 1 kantong beras lima kilogram, padahal yang dipublikasikan 10 kilogram, dan 43 persen responden hanya menerima 1 liter minyak goreng sementara publikasinya 2 liter," tutur Sekjen FITRA, Misbakhul Hasan.
Menurut komisioner Ombudsman RI, Alamsyah Saragih, jalan keluar untuk melindungi bantuan sosial yang rentan dikorupsi ini adalah dengan mengubah skema pemberian bansos.
Pengadaan Barang Rentan Dikorupsi
Minggu (6/12) lalu, Menteri Sosial Julari P Batubara ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang atau jasa terkait bansos penanganan COVID-19.
Ia diduga menerima uang suap sekitar Rp8,2 miliar dalam pengadaan paket bansos sembako periode pertama.
Salah satu barang pengadaan bansos adalah ikan kaleng.
Kepada ABC Indonesia, Asosiasi Industri Pengalengan Ikan Indonesia (APIKI) yang mewadahi 36 pabrik ikan kaleng di Indonesia mengaku pengadaan sarden kaleng dalam bansos Kemensos masih menyisakan "tanda tanya besar".
"Sampai detik ini, kami belum pernah tahu berapa jumlah [produk ikan kaleng] yang dibutuhkan untuk bansos, kapan waktunya, dan di level harga berapa plafon dari budget negara untuk ini," kata Ady Surya, ketua APIKI.
Untuk keperluan bansos di masa pandemi, Ady mengatakan pihaknya "selalu mendapat tawaran murah" untuk memproduksi produk ikan kaleng dari para vendor.
Ketua APIKI, Ady Surya, mengatakan pihaknya tidak menerima permintaan dari Kemensos untuk memproduksi sarden kaleng untuk bansos di tengah pandemi.
Padahal biasanya, setiap ada bencana, mereka selalu menerima permintaan dari pemerintah daerah atau badan sosial untuk mengedarkan produk dengan "merek terbaik".
"Ketika negara mau bikin bansos tapi diminta yang murah, kami ada tanda tanya dalam hati, 'masa negara minta yang murah?', sedangkan kita mau bikin murah sekarang cost nya naik semua."
Di awal pandemi, masalah pengadaan barang sempat tidak menjadi perhatian lembaga Ombudsman RI, yang berkewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, karena lebih memikirkan bagaimana warga bisa mendapatkan bantuan secepatnya.
Namun setelahnya, komisioner Ombudsman, Alamsyah Saragih mengatakan hal tersebut harus diperhatikan dengan serius, karena pengutipan sedikit saja akan membawa "manfaat" yang begitu besar.
"Ini terjadi. Menterinya mengambil Rp10.000 per paket [bantuan], dari Rp300.000. Mungkin kecil nilainya, tapi dikali sekian juta paket ya jadi sangat besar," kata Alamsyah kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.
Sebaiknya Jenis Bantuan Diubah
Jalan keluar untuk melindungi bantuan sosial yang rentan dikorupsi menurut Ombudsman RI adalah dengan mengubah skema pemberian bansos dari bentuk konvensional.
"Kalau bisa integrasikan dengan skema bantuan pangan non-tunai yang sudah dirancang bekerja sama dengan perbankan atau retail lokal," kata Alamsyah.
"Jadi orang ditransfer dengan e-money untuk bisa digunakan untuk membeli kebutuhan pokok di retail terdekat yang sudah ditunjuk. Sesederhana itu sebenarnya."
"Secara politik mungkin pengadaan barang baik, [karena] pemerintah ingin menunjukkan bahwa negara hadir. Tapi setelah tiga bulan pertama, menurut kami sebaiknya segera ditiadakan dan diintegrasikan ke skema elektronik," tambahnya.
Sekjen FITRA Alamsyah Saragih mengatakan unsur penyelenggaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) juga mempengaruhi skema bansos.
Sebanyak 82 persen penerima bansos di Jakarta juga menyatakan jika pemberian uang tunai adalah jenis bansos yang ideal, seperti dijelaskan Misbakhul dari lembaga FITRA.
"Bantuan sebaiknya tidak dalam bentuk barang, tetapi berupa tunai, cash-transfer ke masing-masing rekening penerima," katanya.
"Jadi data yang ada diverifikasi terlebih dahulu, kemudian ditambahkan dengan data nomor rekening, pemerintah kemudian bekerja sama dengan bank menyalurkan dana bansos ini."
Alamsyah dari Ombudsman RI mengatakan modus korupsi yang menjerat Juliari Batubara sangat mungkin terjadi di kementerian mana saja.
Ia mengatakan salah satu alasannya adalah karena tidak ada pembangunan sistem pengawasan internal yang bisa menjadi alat pendeteksi dini praktik korupsi.
"Memang sih, pembangunan sistem memang nggak seheboh pembangunan infrastruktur. Tapi bisa menyelamatkan banyak uang negara."