Usulan Ombudsman Sikapi Hilangnya Dokumen TPF Kasus Munir
Ternyata tidak mudah menyelesaikan kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib. Seperti dilansir laman setkab.go.id, Asisten Deputi bidang Hubungan Masyarakat Kementerian Sekretariat Negara, Masrokhan menegaskan pihaknya tidak memiliki, menguasai, dan mengetahui keberadaan dokumen laporan akhir tim pencari fakta (TPF) kasus meninggalnya Munir.
Hal itu yang menjadi alasan pemerintah yang sampai saat ini belum mengumumkan hasil laporan akhir TPF kasus meninggalnya Munir. Presiden Jokowi juga telah memerintahkan Jaksa Agung untuk menelusuri keberadaan dokumen tersebut, tapi sampai sekarang belum diketahui bagaimana tindak lanjutnya.
Koordinator KontraS, Yati Andriyani menilai dokumen laporan akhir TPF sangat penting untuk membuka tabir gelap kasus pembunuhan Munir. Dokumen itu mengungkapkan banyak nama yang diduga terlibat dalam pembunuhan tersebut. Salah satu nama yang disebut dalam dokumen itu Pollycarpus Budihari Priyanto, dan terbukti PN Jakarta Pusat menghukumnya dengan vonis 14 tahun penjara.
Dia menjelaskan koalisi organisasi masyarakat sipil telah mengajukan sengketa informasi terkait dokumen hasil penyelidikan TPF kepada Komisi Informasi Pusat (KIP). Hasilnya, KIP menyatakan laporan hasil akhir TPF merupakan dokumen publik dan harus diumumkan kepada masyarakat.
Tapi pemerintah mengajukan banding dan putusan PTUN Jakarta menyatakan dokumen laporan akhir TPF itu tidak dikuasai pemerintah, sehingga tidak ada kewajiban untuk mengumumkannya kepada publik. Kasasi yang diajukan koalisi terhadap putusan itu kandas, MA memperkuat putusan PTUN Jakarta tersebut.
Yati mengatakan koalisi siap mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan ini, tapi sampai sekarang pihaknya belum menerima salinan putusan kasasi resmi dari pengadilan. "Dokumen TPF ini menurut kami tidak hilang, tapi 'dihilangkan'. Presiden Jokowi harus segera mengumumkan hasil laporan akhir TPF kepada masyarakat," pintanya dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Senin (23/9/2019).
Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu menilai dari aspek pelayanan publik, penyelesaian kasus pembunuhan Munir ini tidak tuntas dan mandeg. Pembunuhan Munir ini bukan kasus pembunuhan biasa, tapi sudah menjadi masalah publik. Pemerintah seolah punya komitmen untuk menyelesaikan kasus ini dengan menerbitkan Keppres No.111 Tahun 2006, tapi pemerintah tidak pernah membuka apa hasil kerja TPF ini.
Ninik mencermati sedikitnya 3 hal dalam kasus ini. Pertama, ada potensi diskriminatif dalam pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Harus ditelusuri kenapa kasus ini tidak tuntas dan mandeg. Penyelesaian kasus Munir sebagai pintu masuk untuk mencegah pembiaran dalam pengungkapan berbagai kasus pelanggaran HAM.
Kedua, Ninik berpendapat ada potensi penyimpangan prosedur karena dokumen laporan akhir TPF dinyatakan hilang. Ninik yakin TPF sudah bekerja keras menelusuri kasus pembunuhan Munir. Pengungkapan kebenaran ini sebagai upaya untuk mencegah agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.
Ninik mengingatkan Sekretariat Negara sebagai lembaga pemerintah seharusnya punya prosedur dan SOP dalam menyimpan dokumen, apalagi dokumen negara seperti laporan akhir TPF ini. Hilangnya dokumen ini harus ditelusuri dan diinvestigasi. "Ini berarti di Sekretariat Negara ada yang tidak beres karena dokumen negara bisa hilang," kritiknya.
Ketiga, ada potensi penundaan berlarut (undue delay). Baginya, pemerintah harus menindaklanjuti pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Presiden Jokowi harus menjadikan penuntasan kasus Munir sebagai salah satu prioritas. Langkah itu bisa dimulai dengan sejumlah hal antara lain mengumumkan secara resmi dokumen TPF hilang. Kemudian pemerintah membentuk TPF baru. Upaya ini penting untuk menghilangkan undue delay dalam penuntasan kasus Munir.
Selain itu, Ninik menegaskan Ombudsman memiliki mekanisme kerja sebagaimana diatur UU No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI. Jika persoalan ini mau ditangani Ombudsman, maka harus ada pengaduan. Untuk mekanisme pencegahan dan investigasi atas inisiatif sendiri, sampai saat ini kasus Munir belum masuk daftar prioritas kerja Ombudsman.
Sekjen Komite Aksi Solidaritas Munir (Kasum) Bivitri Susanti menilai pemerintah wajib mengumumkan hasil penyelidikan TPF kepada masyarakat. Hal ini sebagaimana mandat Keppres No.111 Tahun 2006. Mengingat Keppres ini ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 23 Desember 2004, bukan berarti pemerintahan Jokowi lepas tanggung jawab untuk mengumumkan hasil penyelidikan TPF.
Perempuan yang disapa Bibip itu menegaskan Keppres itu juga mengikat Jokowi dan jajarannya sebagai lembaga kepresidenan. Keppres ini belum bersifat final karena pemerintah belum mengumumkan hasil penyelidikan TPF. "Ini bukan urusan Susilo Bambang Yudhoyono atau Joko Widodo sebagai individu, tapi lembaga kepresidenan harus umumkan ini kepada publik. Tanggung jawab tetap ada di tangan Presiden," katanya.