• ,
  • - +
Temukan Potensi Maladministrasi, Ombudsman Rilis Hasil Kajian Pemenuhan Akomodasi yang Layak Bagi Disabilitas dalam Proses Penyidikan Polri
Siaran Pers • Senin, 28/06/2021 •
 
Anggota Ombudsman RI, Dr. Johanes Widijantoro, S.H., M.H.

Siaran Pers

Nomor 028/HM.01/VI/2021

Senin, 28 Juni 2021

 

JAKARTA- Ombudsman Republik Indonesia menemukan adanya potensi maladministrasi pada penyelenggaraan pelayanan publik oleh Kepolisian RI (Polri) terhadap penyandang disabilitas khususnya dalam proses penyidikan. Yaitu belum terpenuhinya akomodasi yang layak pada aspek pelayanan dan sarana prasarana sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.

Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro mengatakan, Ombudsman memperoleh sejumlah temuan usai melakukan Kajian Singkat/Rapid Assessment mengenaiPemenuhan Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Penyidikan. "Ombudsman pada kurun waktu April-Mei 2021 melakukan kajian singkat tentang pemenuhan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas di tujuh lokasi yakni Kepolisian Daerah (Polda) Lampung, Polda Sulawesi Utara, Polda Jawa Tengah, Polda Riau, Polda DIY, Polrestabes Semarang, Polres Kota Manado," terangnya dalam Konferensi Pers Daring, Senin (28/6/2021).

Widijantoro menerangkan, kajian ini bertujuan untuk mendorong pemenuhan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses penyidikan serta mendorong agar Polri dapat membuat dan mengembangkan standar pelayanan pemeriksaan terhadap penyandang disabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Huruf f Undang-Undang 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas serta Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020.

Lebih lanjut, Widijantoro menyampaikan beberapa temuan Ombudsman RI di lapangan, sebagai berikut:

1.   Belum adanya petugas/penyidik di Polri yang memiliki kualifikasi tertentu dalam proses pemeriksaan terhadap penyandang disabilitas.

2.   Kurangnya pemahaman dan sensitivitas penyidik terhadap penyandang disabilitas;

3.   Belum adanya standar pemeriksaan dalam penanganan laporan Polisi terkait penyadang disabilitas,

4.   Belum adanya unit khusus di Polri yang menangani laporan terkait penyandang disabilitas,

5.   Kepolisian belum berperan aktif dalam menyediakan pendamping bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, sehingga pada beberapa daerah pendampingan dilakukan oleh keluarga/orang terdekat. Selain itu, pada beberapa satuan kerja Polri, pendamping harus memenuhi kualifikasi tertentu,      

6.   Belum terpenuhinya sarana dan prasarana bagi penyandang disabilitas, seperti belum adanya ruang khusus pemeriksaan bagi penyandang disabilitas serta media atau alat bantu lainnya,

7.   Kurangnya koordinasi/belum adanya kerjasama antara satuan kerja Polri di daerah dengan Pemda, OPD, jejaring/organisasi disabilitas guna melakukan pendampingan ataupun kerjasama terkait pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas pada saat berhadapan dengan hukum,

8.   Belum adanya anggaran yang dialokasikan khusus terkait pemenuhan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas di Polri.

Ombudsman juga menemukan hambatan dan kendala dalam pemenuhan akomodasi yang layak bagi disabilitas dalam proses penyidikan, di antaranya sebagian besar Petugas/ Penyidik di Polri belum mengetahui terkait dengan amanat Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2019 Tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi Terhadap Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas jo. Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. "Sehingga pemenuhan anggaran untuk penyediaan pelayanan maupun sarana prasarana belum maksimal, hal ini mengakibatkan terhambatnya pemenuhan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas pada pelayanan publik yang diselenggarakan Polri," terang Widijantoro.

Ombudsman telah menyampaikan saran perbaikan kepada Kepala Kepolisian Indonesia (Kapolri), agar:

1.   Membuat  peraturan internal di Polri mengenai standar pemeriksaan terhadap penyandang disabilitas dalam proses penyidikan.

2.   Menyiapkan penyidik yang memiliki kualifikasi tertentu untuk melakukan pemeriksaan terhadap penyandang disabilitas di tingkat Mabes Polri dan satuan wilayah.

3.   Meningkatkan pemahaman dan sensitivitas penyidik ketika berhadapan dengan pelaku, saksi maupun korban yang merupakan penyandang disabilitas. Hal ini diharapkan mampu menciptakan etika/sikap dan pola komunikasi yang efektif antara penyidik dengan penyandang disabilitas.

4.   Menyediakan pendamping disabilitas dan penerjemah dalam proses penyidikan di tingkat Mabes Polri dan satuan wilayah. Dalam hal penyediaan pendamping dan penerjemah, Polri diharapkan berkoordinasi dan bekerjasama dengan pemerintah daerah, lembaga/organisasi penyandang disabilitas yang memiliki pemahaman terhadap kebutuhan serta hambatan yang dialami penyandang disabilitas.

5.   Menyediakan ruang pemeriksaan khusus bagi penyandang disabilitas, aksesibel serta fasilitas bangunan gedung dengan memperhatikan ragam penyandang disabilitas. Selain itu, Polri juga harus fokus pada penyediakan sarana prasarana pro justitia, seperti dokumen administrasi penyidikan yang dapat dibaca atau dimengerti, serta media atau alat bantu lain yang dapat mempermudah penyandang disabilitas memberikan keterangan atau informasi selama proses penyidikan.

6.   Mengembangkan metode komunikasi audio visual jarak jauh dengan mempertimbangkan hambatan penyandang disabilitas untuk menghadiri proses penyidikan.

7.   Menyediakan anggaran secara berkesinambungan agar pemenuhan kewajiban Polri sebagaimana diamanatkan oleh PP No.70 Tahun 2019 dan PP No. 39 Tahun 2020 dapat dilaksanakan secara bertahap dan terukur. (*)

 

Narahubung :

Anggota Ombudsman Republik Indonesia 2021-2026

Dr. Johanes Widijantoro, S.H., M.H.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...