• ,
  • - +
Temukan Keanehan pada Surpres Jokowi, Hati-Hati, kata Ombudsman RI
Kliping Berita • Jum'at, 13/09/2019 •
 
Ombudsman RI. (foto istimewa)

Jakarta, Akuratnews.com - Persetujuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Revisi UU KPK) mendapat sorotan dari anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu. Presiden telah menandatangani Surat Presiden (Surpres) dan sudah dikirim ke DPR RI.

Ninik mengatakan, ada keanehan dalam Surpres nomor 42/2019 tersebut. Ninik menegaksan, keanehan ada pada penugasan Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Pertahanan.

Menurut Ninik, seharusnya dalam Surpres itu melibatkan kementerian atau lembaga terkait. Seperti halnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang melibatkan Kementerian PPA.

"Kalau melihat kebiasaannya, seharusnya Surpres ini juga memasukkan KPK sebagai institusi yang terkena langsung dengan pembahasan revisi UU KPK," kata Ninik dalam siaran pers yang diterima redaksi, Kamis (12/9/2019).

"Harus hati-hati, jangan sampai ada cacat prosedur," tegasnya.

Peringatan Ninik bukan tanpa landasan, sebab menurutnya, sesuai pedoman penyusunan perundangan, pembahasan revisi UU KPK juga seharusnya mempertimbangkan masukan masyarakat sipil dan berbagai pihak, seperti perguruan tinggi untuk menghindari adanya judicial review.

"Harus mempertimbangkan masukan untuk menghindari adanya 'judicial review' ketika revisi sudah ditetapkan. Buka ruang dialog yang seluas-luasnya dan tidak terburu-buru," kata Ninik.

Polemik revisi UU KPK ditenggarai sebagai bagian dari pelemahan kewenangan KPK dalam memberantas korupsi. Persetujuan Jokowi dalam revisi itu disayangkan banyak pihak. Bahkan Praktisi hukum senior Muara Karta, revisi UU KPK berpotensi menimbulkan kebocoran informasi terkait penyadapan dan penindakan yang dilakukan KPK.

Menurut Karta, penyadapan yang dilakukan KPK itu sudah diawasi, diaudit, dan diatur dengan standar prosedur operasional yang khusus.

"Revisi UU KPK merupakan cara balas dendam DPR," tegasnya.

Sebab, sebagian besar pelaku korupsi yang terjaring operasi tangkap tangan alias OTT berasal dari kalangan legislatif yang umumnya melakukan secara berjamaah.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...