Soal Penempatan TNI di Jabatan Sipil, Ombudsman Nilai Ada Potensi Maladministrasi
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Ombudsman RI Ninik Rahayu mengungkapkan, pihaknya saat ini sedang melakukan kajian terkait rencana penempatan perwira TNI di jabatan sipil. Sebab, Ombudsman melihat ada potensi maladministrasi dalam konteks penyalahgunaan wewenang dan prosedur pembuatan kebijakan.
"Sedang mengumpulkan informasi dan data terkait dengan rencana keterlibatan TNI pada jabatan sipil. Jadi tunggu sampai kami mengumpulkan secara utuh supaya nanti yang diharapkan oleh masyarakat seharusnya seperti apa TNI posisinya dalam pertahanan dan sipil itu," kata Ninik di kantor Ombudsman RI, Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Ombudsman juga mendiskusikan persoalan ini dengan pihak terkait, seperti Kementerian Pertahanan, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Ombudsman juga membahas
hal ini dengan perwakilan masyarakat sipil dan ahli dari perguruan
tinggi.
"Mudah-mudahan pertengahan Maret atau akhir Maret (kajiannya selesai). Sabar," ujarnya. Di satu sisi, Ninik menyebut kajian ini penting mengingat adanya kemungkinan rencana penempatan perwira TNI ditambahkan ke 9 lembaga negara lainnya. Dalam pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, prajurit TNI aktif bisa menduduki jabatan pada 10 lembaga terkait di sejumlah bidang saja. Seperti, Lembaga Ketahanan Nasional, Mahkamah Agung, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue Nasional, Badan Narkotika Nasional, Mahkamah Agung.
"Karena beberapa kali kan ada rencana usulan revisi Undang-Undang 34 dan kalau semula di pasal 47 UU TNI itu ada 10, ada penambahan 9. Jadi ada 19," kata dia. Namun demikian, Ninik enggan membeberkan 9 lembaga negara lainnya tersebut.
Saat ini Ombudsman masih berkoordinasi lebih lanjut dengan TNI
untuk memahami persoalan.
"Kami juga masih akan menghadiri ke AD, AL dan AU karena masing-masing
juga punya jumlah SDM dan kepentingan posisi yang berbeda-beda. Jadi
sabar sebentar. Saya belum bisa mengeluarkan," kata Ninik.
Ninik mengingatkan,
apabila rencana kebijakan baru itu ingin diterapkan, harus mengacu pada
Pasal 5 UU TNI.
Pada Pasal 5 UU TNI, TNI berperan sebagai alat negara di bidang
pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan
keputusan politik negara.
"Kalau memang nanti sudah terjadi perubahan kebijakan, ya tentu
pembahasannya prosesnya harus clear. Siapa pembahasannya? Sesuai dengan
Pasal 5 karena harus sesuai kebijakan dan politik negara, ya dibahas
dengan DPR," ujar dia.