Siaran Pers Bersama LPSK, Komnas Perempuan, Kompolnas dan Ombudsman RI Tentang Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Di Pesantren Shidiqiyah, Jombang
Tentang
PENANGANAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL DI PESANTREN SHIDIQIYAH, JOMBANG: MEMBANGUN KERJA BERSAMA UNTUK PEMENUHAN HAK KORBAN ATAS KEADILAN DAN PEMULIHAN
Nomor 002/HM.01/I/2022
Kamis, 06 Januari 2022
Kasus kekerasan seksual yang menimpa MNK (22 tahun) seorang santriwati di Pondok Pesantren Shidiqiyah Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang yang diduga dilakukan oleh MSAT, anak dari pemilik dan pengasuh Pondok Pesantren Shidiqiyah dan pengelola sejumlah usaha pesantren, memasuki tahap baru yaitu dengan diterimanya berkas penyidikan dari Polda Jawa Timur oleh Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur atau P21.
Kekerasan seksual ini berlatar belakang relasi kuasa mengingat pelaku merupakan anak pemilik dan pengasuh pondok pesantren dimana para korban adalah anak didiknya, serta pemilik pusat kesehatan yang sedang melakukan rekrutmen tenaga kesehatan dengan mencari calon pelamar santri/santriwati dari pondok pesantren tempat para korban mondok. Pelaku memanfaatkan kepercayaan para korban kepadanya serta kekuasaannya atas korban untuk melakukan perkosaan dan pencabulan. Demikian pula fakta perkosaan dan pencabulan dilakukan di bawah ancaman kekerasan, ancaman tidak lolos seleksi, manipulasi adanya perkawinan, dan penyalahgunaan kepatuhan murid terhadap gurunya. Faktanya para santriwati yang telah menjadi korban dan berani melapor pun telah diberhentikan. Relasi kuasa demikian pula yang mengakibatkan para korban takut melapor dan kekerasan seksual berlangsung dalam kurun waktu lama dan makin meluas terjadi pada santriwati lain.
Sejak kasus ini dilaporkan ke Polres Jombang pada tanggal 29 Oktober 2019 dengan No. LPB/392/X/RES/1.24/2019/JATIM/RES.JBG membutuhkan waktu lebih dari dua tahun penyidikan sebelum kemudian ditingkatkan ke tingkat penuntutan. Hal ini terkait dengan perspektif aparat penegak hukum dalam memaknai 'kekerasan' dan 'ancaman kekerasan', kesalahan penulisan hasil visum dan barang bukti yang dimintakan telah hilang HP. Kasus ini berkembang pula dengan terjadinya tindak penganiayaan, ancaman kekerasan pada seorang Perempuan Pembela HAM (PPHAM) yang tergabung dalam Front Santri Melawan Kekerasan Seksual (FSMKS) pada 9 Mei 2021. Peristiwa penganiayaan tersebut adalah salah satu akibat dari penundaan berlarut terhadap penanganan kasus kekerasan seksual serta pada ketidakpastian hukum, impunitas pelaku kekerasan seksual, dan risiko pelanggaran hukum yang berkelanjutan.
Sejak Januari 2020, sebanyak 7 saksi dan/atau korban untuk kasus Kekerasan Seksual dan 4 saksi dan/atau korban untuk kasus penganiayaan pada saksi telah diberi perlindungan oleh LPSK. Program perlindungan yang diberikan adalah Pemenuhan Hak Prosedural, yaitu pendampingan dalam setiap tahapan penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan saksi baik untuk kasus Kekerasan Seksual dan Penganiayaan, serta rehabilitasi psikologis untuk kasus Penganiayaan.
Atas kasus ini, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) telah melakukan pemantauan dan berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk memastikan pemenuhan hak atas keadilan, perlindungan dan pemulihan korban sesuai tugas, pokok dan fungsi masing-masing lembaga. Dengan telah diterimanya berkas perkara ini oleh Kejaksaan, kami menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
-
Mengapresiasi keberanian dan kekukuhan saksi dan/atau korban dan pendamping dalam menyuarakan dan mengklaim keadilannya melalui sistem peradilan pidana;
-
Mengapresiasi Kepolisian Polda Jawa Timur yang tidak kenal lelah mengumpulkan bukti-bukti sesuai petunjuk Jaksa dan terbuka untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk membuat terang dugaan kekerasan seksual ini;
-
MengapresiasiJaksaAgungdanJaksaAgungMudaTindakPidanaUmum yang memberikan perhatian terhadap penanganan kasus ini;
-
Merekomendasikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengimplementasikan Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana dalam menuntut kasus ini;
-
Kementerian PPA yang memberikan layanan rujukan akhir melalui penyediaan ahli yang membantu terangnya kasus ini dan berkoordinasi dengan Jaksa Agung;
-
Merekomendasikan DPR RI dan Pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU TPKS agar hukum acara penanganan kasus kekerasan seksual yang meliputi (1) pelaporan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan; (2) hak-hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan; (3) Larangan mempidanakan atau menggugat saksi dan/atau korban kekerasan seksual; dan (4) perluasan sistem pembuktian kasus kekerasan seksual, agar dapat dipenuhi secara sistematis dan terlembaga;
- Lembaga pengawas dan lembaga non struktural akan mengembangkan pola kerja sama dan koordinasi dalam merespon kasus kasus kekerasan terhadap perempuan berdasarkan tupoksinya/wewenang masing masing.