• ,
  • - +
Sengkarut Larangan Ekspor Nikel, Ombudsman Tegur BKPM
Kliping Berita • Jum'at, 15/11/2019 •
 
Foto: Hasil Rapat Kepala BKPM bersama Pengusaha Nikel di Indonesia dalam rangka membahas industri smelter di Indonesia. (CNBC Indonesia/Anisatul Umah)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ombudsman Republik Indonesia (RI) akhirnya menanggil Kementrian ESDM, Kementerian Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kemenko Maritim dan Investasi, Jumat, (15/11/2019), setelah drama pelarangan ekspor bijih nikel yang berlarut, hingga BKPM memajukan pelarangan menjadi per (29/10/2019) yang mulanya per 1 Januari 2020, meski sifatnya sementara.

Anggota Ombudsman Laode Ida mengatakan dalam konteks ini BKPM tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pelarangan ekspor nikel. "Iya harus diajarkan yang bersangkutan ini ya (Kepala BKPM), jangan asal melangkah dan ngomong ya," paparnya di Kantor Ombudsman.

Lebih lanjut dirinya menerangkan, yang pasti terjadi akibat percepatan larangan eskpor ini adalah ketidakpastian. Menurutnya tidak boleh terjadi sebuah aturan yang tidak berkepastian, dibuat oleh pejabat tata usaha negara yang sama karena melanggar prinsip pelayanan publik.

Kemudian, imbuhnya, dalam undang-undang administrasi pemerintahan kebijakan yang berdampak merugikan masyarakat juga dilarang.

Kebijakan pelarangan ekspor ini menurut Laode berpotensi koruptif, dalam artian bisa memberikan hanya untuk sekelompok orang pembisnis atau pemegang smelter di dalam negeri, di mana itu juga Penanaman Modal Asing (PMA) yang keuntungannya tidak lari ke dalam negeri.

"Itu hanya sebagian kecil saja yang ke dalam negeri, padahal memanfaatkan sumber daya alam (Indonesia). Lalu dari segi harga, hari ini harga nikel di London Metal Exchange itu US$ 70 per metrik ton untuk kadar 1,65 %," imbuhnya.

Sementara nikel yang diterima oleh di dalam negeri kadarnya 1,8% dengan harga yang jauh lebih rendah, yakni maksimal US$ 30 per metrik ton. Dirinya mempertanyakan kemana selisih harga yang jauh ini. Terkait permasalahan ini, Ombudsman akan melakukan investigasi dampak dari kebijakan ini.

"Merugikan sampai pada risiko lingkungan. Pertama harga nikel yang ditekan itu sudah pasti akan merugikan keuntngan dari para penambang atau pengusaha nikel, sementara lingkungan rusak," terangnya.

Investigasi ini, imbuhnya, akan mencakup semuanya. Mulai dari Kementerian ESDM, Kemenko Maritim dan Investasi, BKPM, dan lainnya. "Insyaallah minggu depan kami ajukan ini ke pimpinan untuk dijadikan satu alasan kajian khusus cepat. Saya kira pertengahan desember sudah ada hasil," terangnya.

Sebelumnya, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) melaporkan dugaan kartel harga nikel ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sejak tiga bulan lalu. Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan ada dua smelter besar yang beroperasi dan menyerap nikel di atas 60% sehingga menguasai harga.

"Perusahaan yang jadi barometer smelter-smelter kecil mengikuti harga. Menyerap di atas 60% demand yang mayoritas makanya menguasai harga smelter lain mau nggak mau ikut mereka," ungkapnya di Komisi VI DPR RI besok, Rabu, (13/11/2019).

Lebih lanjut dirinya mengatakan kewajiban selama ini sudah ditaati, sehingga pemerintah didesak untuk segera menangani tata kelola nikel. Berdasarkan kesepakatan yang disampaikan di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) harga nikel yang akan diserap smelter dengan harga US$ 30 per metrik ton.

Harga ini menurutnya terlalu murah, pasalnya berdasarkan Shanghai Metal Market harga nikel bisa mencapai US$ 46 per metrik ton. Hal ini yang menurutnya akan terus diperjuangkan, karena selama ini harganya selalu di bawah US$ 31 per metrik ton. "Kalau harganya di bawah US$ 31 yang untung smelter," imbuhnya.

Kepala BKPM Bahlil Lahadalia saat coba dihubungi belum memberikan jawaban terkait pernyataan Ombudsman bahwa pelarangan ekspor nikel bukan jadi kewenangannya.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...