• ,
  • - +
Sekolah Inkusi, Ekslusif Bagi Anak Didik Penyandang Disabilitas
Siaran Pers • Rabu, 10/10/2018 •
 

 Jakarta - Ombudsman RI merilis hasil investigasi atas prakarsa sendiri mengenai Aksesibilitas Sekolah Inklusi di Kalimantan Selatan. Investigasi sampai laporan akhir kajian dilakukan pada bulan April - Juli 2018 di Kalimantan Selatan. Lokasi kajian meliputi sejumlah besar wilayah di Kalimantan Selatan (Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Barito Kula, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Tabalong).  

 

Pasal 7 huruf d Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, Ombudsman melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik bidang pendidikan bagi anak didik penyandang disabilitas. Yakni, belum tersedia dan terbatasnya sarana dan pelayanan pendidikan bagi mereka, serta hasil investigasi tersebut memberikan saran perbaikan kepada instansi/lembaga terkait.

 

Dalam investigasi tersebut, Ombudsman RI menemukan komplikasi masalah yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus. Padahal, Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan mencatat penyandang disabilitas usia sekolah sebanyak 25% atau setara 24.839 orang anak. Mereka yang mendapatkan pendidikan di SLB sejumlah 1.453 anak, dan yang tertampung di sekolah inklusi sejumlah 4.453 anak. Nyatanya, peserta didik disabilitas ini mendapat penolakan untuk ikut dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sekolah inklusi. Pasalnya, tidak ada syarat standar peserta didik baru penyandang disabilitas. Termasuk tidak memadainya sarana dan prasarana di sekolah inklusi, proses belajar mengajar tidak sesuai kebutuhan anak didik disabilitas. Oleh karena tidak ada guru pembimbing, tidak ada kriteria kelulusan minimal bagi anak didik dengan disabilitas. Bahkan orangtua siswa disabilitas harus 'patungan' untuk membayar guru pembimbing, dan sayangnya guru dan siswa bukan penyandang disabilitas kurang menerima dengan baik siswa disabilitas.

 

Dari sisi pengawasan, ditemukan permasalahan pertama, terjadi pengabaian kewajiban oleh Pemerintah Provinsi/Pemerintah Kab/Kota dalam penyelenggaraan sekolah inklusi, sehingga sekolah inklusi tidak dapat diakses anak didik berkebutuhan khusus Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Banjar, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Tabalong.Kedua, terjadi penyimpangan prosedur penyelenggaraan sekolah inklusi di Kalimantan Selatan, dengan tidak tersedianya guru pembimbing khusus, tidak ada petunjuk teknis pelaksanaan PPDB bagi siswa penyandang disabilitas (sehingga ada sekolah inklusi yang menolak mereka tanpa alasan), tidak terdapat standar layanan penilaian (Kriteria Ketuntasan/kelulusan Minimal) padahal menurut Peraturan Menteri Pendidikan No. 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif  Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa, harus dibuat berdasarkan minat dan bakat siswa, dan tidak terdapat standar layanan minimal di sekolah inklusi.Ketiga, penyelenggaraan pelayanan pendidikan yang tidak kompeten di sekolah inklusi, karena mereka dididik bukan oleh guru pembimbing yang mempunyai kompetensi khusus.Keempat, terjadi penyelenggaraan pelayanan pendidikan yang tidak memadai, karena masih ada guru yang hanya mengelompokkan anak didik disabilitas dengan sesamanya, dan memisahkan dengan mereka yang non disabilitas.


Berdasarkan hasil temuan dan analisis ketentuan peraturan perundang-undangan, Ombudsman Republik Indonesia menyampaikan saran, sebagai berikut:

1.    Pemerintah Provinsi/Kab/Kota sebaiknya dapat memenuhi akses bagi siswa ABK  di sekolah inklusi;

2.   Pemerintah Provinsi/Kab/Kota semestinya menempatkan guru pendamping khusus paling sedikit 1 (satu) orang di setiap sekolah inklusi;

3.   Pemerintah Provinsi/Kab/Kota sebaiknya menyusun standar persyaratan dalam penerimaan peserta didik baru berkebutuhan khusus pada sekolah inklusi di Kalimantan Selatan;

4.   Dinas Pendidikan Kab/Kota segera mengeluarkan surat edaran tentang larangan melakukan pungutan kepada orang tua siswa ABK untuk membiayai guru pendamping khusus;

5.    Pemerintah Provinsi/Kab/Kota seyogyanya segera melakukan evaluasi terhadap kebijakan penetapan sekolah inklusi;

6.   Membentuk unit layanan disabilitas pada tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota;

7.    Sinkronisasi  kebijakan mencegah saling lempar kewenangan penyelenggaraan sekolah inklusi antara pemerintah Provinsi dan Kab/Kota.

 

Tim Kajian Sistemik Ombudsman RI

Herru Kriswahyu-Kepala Keasistenan

timkajiansistemik@ombudsman.go.id

 





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...