Protokol Kesehatan di Angkutan Massal Sudah Baik walau Masih Bercelah
JAKARTA, KOMPAS - Penerapan protokol kesehatan di angkutan umum massal secara garis besar sudah membaik, terutama kesadaran penumpang untuk menjaga jarak fisik. Meskipun begitu, masih ada beberapa celah yang harus diperbaiki dengan cara menambah sarana dan sumber daya manusia, seperti petugas pengawas.
Hal itu mengemuka dalam pemaparan hasil survei kerja sama Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Ombudsman DKI Jakarta, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta, Kamis (18/2/2021). Mereka melakukan survei selama tiga hari, yaitu 16-18 Februari, di halte-halte Transjakarta dan sejumlah stasiun kereta api. Belum ada rincian jumlah orang yang disurvei karena sifatnya merupakan pengamatan secara umum.
"Pelayanan dan pengawasan oleh petugas selama jam-jam sibuk, yaitu jam berangkat kerja dan pulang kerja, masih menjadi simpul masalah," kata Alvin Lie dari Ombudsman Jakarta.
Pelayanan dan pengawasan oleh petugas selama jam-jam sibuk, yaitu jam berangkat kerja dan pulang kerja, masih menjadi simpul masalah.
Ia mengambil contoh di halte Transjakarta yang walaupun di puncak kesibukan hanya memiliki satu petugas untuk mengukur suhu calon penumpang. Di dalam bus juga hanya ada pengemudi, tidak ada kernet. Akibatnya, pengawasan terhadap penumpang tidak maksimal.
Ia menggarisbawahi bahwa penumpang seluruhnya sudah memakai masker. Akan tetapi, masih terdapat penumpang yang tidak memakai masker sesuai standar keamanan di masa pandemi Covid-19. Ada penumpang yang memakai masker tanpa menutupi hidung dan ada pula yang mengenakan masker dari bahan kain skuba ataupun model buff. Padahal, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nasional dan gugus tugas di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengatakan, masker dari kedua jenis bahan tersebut tidak bisa mencegah penyebaran virus korona jenis baru.
"Petugas tidak menegur pelanggar pemakaian masker ini. Mereka hanya melarang orang-orang yang sama sekali tidak bermasker untuk memasuki halte," papar Alvin.
Di stasiun kereta rel listrik, risiko terbesar ada di pemakaian mesin penjual tiket otomatis karena tidak disediakan cairan antiseptik, padahal mesin itu dipakai oleh ratusan orang setiap hari. Ketika petugas stasiun dimintai pertanggungjawaban, mereka mengatakan botol-botol cairan antiseptik sering dicuri oleh penumpang. Masalah ini juga diperparah dengan tidak berfungsinya wastafel dan keran-keran portabel untuk mencuci tangan karena kehabisan air ataupun sabun.
"Mungkin pemerintah perlu membuat aturan setiap individu wajib membawa cairan antiseptik sendiri sehingga mereka bisa menyemprot tangan masing-masing setiap selesai menyentuh fasilitas umum," ucap Alvin.
Masalah kerusakan atau ketiadaan sarana untuk membersihkan tangan juga diakui oleh Polana Pramesti, Ketua BPTJ. Butuh koordinasi dan pengalokasian anggaran untuk memastikan sarana seperti wastafel permanen ataupun portabel berfungsi sepanjang hari, terlepas ramai atau tidaknya halte dan stasiun.
Di samping itu, ia juga meminta agar pengelola stasiun dan halte memperhatikan penyebaran penumpang di dalam kendaraan. Contohnya ialah KRL yang terdiri atas 12 gerbong. BPTJ menemukan gerbong 1-3 biasanya disesaki penumpang. Harus ada sistem petugas stasiun, baik petugas organik maupun dari kepolisian dan TNI, mengerahkan penumpang agar mengambil tempat di gerbong-gerbong lain sehingga kerapatan bisa dihindari.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi meminta pemerintah pusat dan daerah memperhatikan terminal-terminal bus reguler, seperti terminal bus antarkota dan antarprovinsi, minibus seperti Metromini dan Kopaja yang secara sporadis masih ditemukan di Jabodetabek, serta angkutan kota berupa mikrolet. Keberadaan mereka yang tersebar dan kurang terkoordinasi membuat pemantauan penerapan protokol kesehatan lebih sukar dilakukan.
"Dari pengamatan sehari-hari saja kerap tampak pengemudi mikrolet dan penumpang lalai memakai masker. Bahkan, ada juga yang mengisi penuh mobilnya dengan orang," ujar Tulus.
Ekonomi dan Kesehatan
Pada kesempatan yang berbeda, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, interaksi dan transaksi adalah kunci pemulihan ekonomi Ibu Kota. Satu-satunya cara kegiatan ini bisa terjadi ialah dengan mengembalikan kondisi kesehatan masyarakat. Pemprov DKI Jakarta sudah memulai memberi vaksin Covid-19 kepada tenaga kesehatan dan akan disusul dengan penduduk yang membutuhkan perlindungan segera. Namun, warga tetap harus menerapkan protokol kesehatan tanpa terkecuali.
Saat ini, Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat ada 13.627 kasus aktif, yaitu pasien yang tengah dirawat ataupun menjalani isolasi. Sistem pelaporan Dinas Kesehatan DKI masih dalam pemutakhiran sehingga belum bisa menampilkan penambahan kasus terbaru. Sejauh ini, sudah 5.049 penduduk Jakarta yang meninggal akibat Covid-19.
Epidemiolog Universitas Respati Indonesia yang juga anggota Satgas Covid-19 Nasional, Cicilia Windiyaningsih, mengingatkan bahwa sistem pelacakan dan penelusuran kontak masih belum ideal sehingga angka yang terungkap merupakan fenomena gunung es. Tidak ada cara selain menerapkan pemakaian masker dan menjaga jarak serta rajin membersihkan tangan sebagai senjata perlindungan diri dan orang lain.