• ,
  • - +
Pro Kontra Pembatasan Internet di Papua: Ombudsman Minta Evaluasi, Pemerintah Menilai demi Kebaikan
Kliping Berita • Minggu, 01/09/2019 •
 
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

TRIBUNNEWS.COM - Keputusan untuk membatasi layanan internet di Papua mengundang kontroversi dari berbagai pihak.

Pembatasan internet dilakukan dengan tujuan meredam hoax yang bisa memperparah kondisi di Papua.

Berita bohong maupun hal-hal yang dapat memicu provokasi dipercaya beredar melalui media sosial.

Namun, keputusan pembatasan internet ini mendapat respon berbeda dari berbagai pihak.

Ombudsman meminta peninjauan ulang pembatasan internet di Papua.

Sedangkan Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla serta Polri menilai pembatasan internet ini sebagai hal yang wajar dilakukan dengan maksud untuk meredam kondisi di Papua.

1. Tanggapan Jokowi soal Pembatasan Internet di Papua: Untuk Kebaikan Kita Bersama

Mengutip Kompas.com, Presiden Joko Widodo menyebut pembatasan internet yang dilakukan di sejumlah wilayah di provinsi Papua dan Papua Barat adalah demi kebaikan.

"Ya itu semuanya untuk kepentingan, kebaikan kita bersama," kata Jokowi di Istana Bogor, Kamis (22/8/2019).

Senada dengan Jokowi, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara memastikan bahwa pembatasan akses internet di Papua adalah untuk kepentingan nasional.

Menurut Rudiantara, pembatasan akses itu juga telah dibahas dengan aparat keamanan.

Kemenkominfo melakukan pemblokiran data internet di Papua dan Papua Barat sejak Rabu (21/8/2019).

Pemblokiran ini dilakukan setelah terjadi kerusuhan massa di Papua dan Papua Barat, khususnya di Manokwari, Sorong, Fakfak, dan Timika.

2. Tanggapan Jusuf Kalla

Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai wajar apabila pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat masih berlanjut hingga saat ini.

Melansir Kompas.com, Jusuf Kalla menilai, pemblokiran masih dibutuhkan demi meredam penyebaran informasi hoaks yang berpotensi memperkeruh situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di sana.

"Itu (pemblokiran akses internet) kan untuk meredam. Karena diketahui, gelora suasana (kerusuhan) itu kan karena pengaruh medsos," ujar Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (27/8/2019).

"Karena itulah, dalam kondisi ini, internet dibatasi dulu," lanjut dia.

Lagi pula, Wapres Kalla mengatakan pembatasan akses internet itu hanya khusus pada fitur pengiriman gambar, bukan seluruh fitur percakapan.

"Anda kan tetap bisa berhubungan (melalui) WA (WhatsApp), cuma tidak bisa ada gambarnya. Itu kan untuk menghilangkan hoaks tadi, itu hanya untuk keadaan sementara," kata dia.

Wapres Kalla juga menyoroti pendapat yang mengatakan bahwa pembatasan akses internet ini berdampak negatif terhadap kegiatan perekonomian di bumi Papua.

Justru, Kalla menilai, kebijakan tersebut demi melindungi stabilitas perekonomian di Papua.

"Mana lebih banyak menghambat kegiatan ekonomi? Demo besar-besaran atau satu-dua orang yang mengikuti internet? Kan tetap bisa nonton TV, tetap bisa berhubungan, kan tidak (masalah). Hanya informasi-informasi yang tidak benar itu yang ditahan," kata Kalla.

3. Polri: Kondisi di Papua Bisa Lebih Parah Lagi kalau Internet Tidak Diblokir

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo menuturkan bahwa pembatasan internet dilakukan untuk tujuan yang lebih baik dengan meminimalisasi konten negatif yang dapat memprovokasi massa.

"(Pembatasan internet) memang salah satu, bisa memicu, cuman kalau itu enggak diblokir, tambah lebih parah lagi," ujar Dedi saat ditemui Kompas.com di Pulau Bidadari, Kepulauan Seribu, Jakarta, Sabtu (31/8/2019).

Pasalnya, lanjut Dedi, selain dugaan adanya provokasi di lapangan, polisi menduga masyarakat bertindak anarkis karena provokasi dari konten di media sosial.

Aparat kepolisian pun terus melakukan pemetaan atau mapping dan identifikasi terhadap akun-akun yang diduga membuat serta menyebarkan konten hoaks tersebut.

Dedi pun menegaskan bahwa situasi di daerah tersebut kini sudah kondusif, begitu pula di daerah lainnya di Papua dan Papua Barat.

Menurut Dedi, kegiatan masyarakat sudah kembali normal.

4. Ombudsman meminta Kemenkominfo mengevaluasi pembatasan internet di Papua

Ombudsman menerima banyak keluhan terkait dibatasinya akses internet di Papua dan Papua Barat, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun pelayanan publik.

Karena itu, Anggota Ombudsman RI Alvin Lie mengatakan, Ombudsman meminta Kemenkominfo mengevaluasi pembatasan internet di Papua yang dinilai telah merugikan masyarakat.

"Kami mengingatian Kementerian Kominfo bahwa warga di Papua dan Papua Barat mempunyai hak untuk akses informasi melalui internet dan itu menjadi landasan kami untuk minta seera dilakukan evaluasi," kata Alvin selepas pertemuan di Gedung Ombudsman, Rabu (28/8/2019).

Ombudsman berharap Kemenkominfo berangsur-angsur memulihkan internet di Papua supaya aktivitas masyarakat dapat kembali normal.

"Agar secara bertahap hak masyarakat di Papua dan Papua barat untuk akses internet ini secara bertahap dipulihkan. Supaya kehidupan sosial, kehidupan ekonomi di sana juga dapat segera pulih," ujar Alvin.

Alvin sekaligus menekankan kepada publik bahwa dalam pembatasan akses internet, Kemenkominfo hanya menjadi pelaksana dari rekomendasi yang diberikan oleh aparat keamanan.

5. Direktur SAFE Net Mneilai Dasar Hukum Kominfo soal Pembatasan Internet di Papua Lemah

Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFE Net) Damar Juniarto menilai, dasar hukum yang digunakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk membatasi akses internet di wilayah Papua masih lemah, dilansir Kompas.com.

Pertama, Damar menyoroti pernyataan Menkominfo Rudiantara yang menyatakan kebebasan berekspresi dijamin Undang-Undang Dasar 1945, tetapi bukannya tak terbatas.

Rudiantara menganggap hak asasi manusia itu tidak sepihak, tapi harus melihat hak orang lain pula.

"Memang benar hak menikmati informasi itu ada batasannya ya, tapi secara prinsip pembatasan seperti itu terhadap penikmatan hak tersebut harus berpegang pada beberapa hal," kata Damar kepada Kompas.com, Minggu (25/8/2019).

Menurut Damar, pembatasan akses internet harus didasarkan pada seberapa mendasaknya atau situasi darurat yang dianggap membuat negara atau pemerintah patut membatasi secara masif hak akses atas informasi.

"Rujukannya UUD 1945, memang boleh dikurangi tapi ada rujukannya di Pasal 12 bahwa situasi darurat hanya bisa disampaikan Presiden yang memiliki kewenangan dengan menyatakan secara terbuka ada situasi darurat lalu harus dinyatakan terbuka berapa lama situasi darurat itu terjadi," kata Damar.

Damar menjelaskan, ada dua jenis situasi darurat, yaitu darurat sipil dan darurat militer.

Sehingga, penyampaian situasi darurat tidak bisa disampaikan oleh level kementerian, harus Presiden.

"Dan harus dinyatakan dengan dasar yang jelas, disampaikan lewat surat selevel keputusan presiden atau keppres ya," ujar dia.

Kedua, Damar menyoroti pernyataan Rudiantara soal Pasal 40 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Rudiantara menyatakan, di pasal tersebut pemerintah wajib melindungi masyarakat, karena itu pemerintah diberi kewenangan.

Damar menyatakan, penggunaan Pasal 40 tersebut sepatutnya merujuk pada Pasal 12 UUD 1945 tadi.

Ia menilai Pasal 40 itu tidak bisa digunakan Kemenkominfo secara berlebihan.

"Tambahan lain, meskipun dalan Pasal 40 ini, pasal yang baru direvisi tahun 2016 meski memiliki kewenangan penuh, UU ITE itu belum ada turunan mekanisme pelaksanaannnya jadi baru hanya bunyi pasalnya saja," ujar Damar.

"Kenapa harus dituliskan kewenangan tersebut? Karena memang harus dijelaskan cara mekanismenya seperti apa," kata dia.

Menurut Damar, tidak pernah ada turunan yang menjelaskan bahwa ada diperbolehkannya pembatasan seperti yang dilakukan Kementerian Kominfo.

"Dalam bentuk pelambatan informasi atau internet throttling dan pembatasan akses informasi dalam bentuk blokir seperti yang terjadi di Papua dan Papua Barat," ucap Damar.

Jika tidak ada aturan turunan yang rinci, dasar hukum pembatasan internet dianggap lemah.

Oleh karena itu, Damar memandang pembatasan akses internet di Papua dan Papua Barat sebagai sebuah kekeliruan.

"Kita menganggap ini sebuah kekeliruan dalam pengambilan keputusan," ujarnya.





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...