Potensi Maladministrasi pada Kabinet Mendatang
SIARAN PERS
Kamis, 12 Agustus 2019
Pada Kabinet baru mendatang, besar kemungkinan akan terlihat beberapa hal seperti perubahan nomenklatur, pembentukan organisasi baru dan pembentukan formasi bagi pejabat baru. Perubahan nomenklatur yang mungkin terjadi adalah penggabungan kementerian dengan tupoksi baru, penghapusan kementerian dan penurunan tupoksi kementerian menjadi badan, peningkatan tupoksi dari badan menjadi kementerian baru juga Perubahan/penambahan/penghapusan tupoksi di kementerian.
Sebagai produk politik, keputusan pembentukan kabinet kemudian dilanjutkan dengan kerja-kerja administrasi yang rumit, panjang dan melelahkan oleh birokrasi guna menyusun SOTK dan prosedur kerja yang baru. Demikian pula harus segera diselesaikan masalah mulai dari migrasi data, migrasi SDM hingga migrasi asset. Menjadi tidak wajar, apabila dalam prosesnya kemudian terjadi berbagai keterlambatan, kesalahan, pelanggaran, ketidakpatutan dan sebagainya, yang biasa dikenal dengan sebutan "maladministrasi".
Maladministrasi tentu tidak diharapkan terjadi, apalagi bila dilakukan oleh instansi-instansi yang memiliki fungsi penyelenggara pelayanan publik. Adanya keterlambatan, kesalahan, ketidakpatutan hingga yang berujung pada kegagalan memberikan layanan, perlu dihindari oleh Presiden Jokowi.
Berikut ini beberapa situasi yang mungkin terjadi dan berpotensi menimbulkan maladministrasi. Hal-hal di bawah ini seyogyanya dihindari melalui perencanaan
yang matang :
· Apabila Presiden memilih menteri yang sejauh ini tidak melaksanakan Rekomendasi Ombudsman RI.
· Apabila Presiden memilih menteri yang diduga terlibat korupsi, pelanggar HAM, memiliki kiprah bisnis yang merusak lingkungan atau yang diduga terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran etik, administrasi hingga hukum.
· Apabila perubahan yang terjadi menyangkut kementerian negara yang disebutkan dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara sebagai tidak boleh diubah atau dibubarkan (Kemenlu, Kemhan dan Kemendagri).
· Apabila tidak dilakukan dengan hati-hati, maka pembentukan struktur baru, penghapusan struktur maupun perubahan tupoksi pada struktur yang sudah ada berpotensi menimbulkan tumpang-tindih pada satu sisi dan kekosongan pada sisi yang lain. Saat hal itu disadari, maka kembali dibutuhkan waktu beberapa lama untuk memperbaikinya. Hal tersebut, lagi-lagi, dapat berdampak pada pelayanan publik.
· Terkait kementerian yang akan digabung, kemungkinan dapat muncul permasalahan ego sektoral yang menyebabkan sulitnya mengambil keputusan perihal siapa yang berwenang terhadap hal apa, khususnya menyangkut otoritas penyelenggaraan suatu jenis layanan publik.
· Waktu yang dibutuhkan untuk menghitung ulang kebutuhan anggaran pasca pembentukan kabinet baru ternyata berkepanjangan sehingga mengganggu kegiatan pemberian layanan kepada publik. Ketidakjelasan anggaran juga berpotensi menimbulkan keterlambatan pemberian gaji bagi ASN yang ditempatkan pada suatu instansi.
· Terkait penempatan ASN, baik pada kementerian yang digabungkan maupun ASN yang akan ditempatkan pada kementerian baru, diperkirakan timbul masalah menyangkut ketersediaan formasi pegawai dikaitkan dengan jumlah dan kompetensi pegawai yang ada. Permasalahan juga timbul terkait ASN yang kementeriannya dihapus, khususnya menyangkut penempatan mereka kemudian.
· Pembentukan, penghapusan ataupun perubahan nomenklatur berpotensi mengacaukan Program Reformasi Birokrasi di banyak kementerian. Bahkan pada kementerian yang baru, proses Reformasi Birokrasi harus dimulai dari nol. Perlu diingat, Reformasi Birokrasi adalah program pemerintah sendiri. (*)
Anggota Ombudsman RI,
Prof. Adrianus Meliala