Penting Penguatan Kapasitas dan Evaluasi Petugas Lapas, Aparat Penegak Hukum dan Aktor-aktor Negara lainnya terkait Larangan Penyiksaan dan Perlakuan Tidak Manusiawi
Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) Tentang Temuan-temuan dan Rekomendasi-rekomendasi Sementara DKU wilayah Tengah
"Penting Penguatan Kapasitas dan Evaluasi Petugas Lapas, Aparat Penegak Hukum dan Aktor-aktor Negara lainnya terkait Larangan Penyiksaan dan Perlakuan Tidak Manusiawi"
Dengar Keterangan Umum (DKU) wilayah Tengah terkait penyiksaan dan ill-treatment
dalam kerangka Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, tidak Manusiawi atau Merendahkan Kemartabatan Manusia (CAT)
dilaksanakan secara hybrid (daring dan luring) oleh Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) di Denpasar Bali pada 3-5 Oktober 2023. Kasus-kasus yang diperdengarkan meliputi daerah Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat. DKU wilayah Tengah ini menghadirkan korban, saksi, korban, pendamping korban, penanggap ahli, aparat penegak hukum dan dinas-dinas pemerintahan daerah terkait.
Delapan kasus penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi serta semena-mena termasuk berbasis gender, anak, dan disabilitas di antaranya kasus pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (P2GP), kematian pekerja migran dengan indikasi adanya penyiksaan dan organ tubuh hilang, perhambaan, pengabaian dan pemasungan terhadap penyandang disabilitas psikososial, penyiksaan dan hukuman mati pelaku pencabulan, penjebakan dan perlakuan tak manusiawi terhadap transpuan dengan narkoba, penundaan berlarut (delayed in justice), dan extra judicial killing.
Berdasarkan keterangan dan tanggapan atas delapan kasus yang diperdengarkan dari para pihak, diperoleh temuan: (1) dugaan penyiksaan dan dugaan ill-treatment, perbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia pada 6 (enam) kasus lainnya, yang terjadi selama proses hukum berlangsung (penangkapan dan penahanan) maupun karena faktor agama dan tradisi budaya; (2) para pelaku adalah kepolisian, sipir lapas, aktor negara dari lembaga-lembaga negara lainnya, juga diduga pelaku adalah keluarga, majikan, dan sesama tahanan dengan diketahui petugas lapas; 3) Tindakan-tindakan penyiksaan dan ill treatment terjadi bukan saja di institusi milik negara, tetapi juga di rumah yang mengkerangkeng penyandang disabilitas mental (pemasungan dalam bentuk lain) dengan menggunakan dana desa dan diketahui oleh dinas-dinas terkait; 4) para korban terentang mulai dari tahanan termasuk transpuan, hamba, anak perempuan di antaranya balita, penyandang disabilitas, dan perempuan pekerja migran.
Dari 8 (delapan) kasus yang diperdengarkan, secara umum dugaan penyiksaan dan ill-treatment meninggalkan luka fisik, psikis, "hidup" yang hilang seperti yang dialami disabilitas mental maupun beban seumur hidup seperti harus menanggung anak hasil perlakuan buruk tersebut. Dari keterangan yang diperoleh terdapat dampak fisik terhadap panca-indera berupa suara dengung dalam telinga maupun penglihatan yang memburuk, dan kesulitan buang air besar dan kecil. Sementara dampak psikis yang ditemukan antara lain, trauma berkepanjangan yang dialami seorang anak, dan trauma dan kecemasan orang tua terhadap kesehatan mental dan reproduksi anak yang mengalami pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (P2GP).
Di samping itu ditemukan penderitaan berkepanjangan termasuk hidup dalam ketakutan sebagai akibat berlarutnya penyelesaiaan perkara - yang kemudian membawa implikasi pada terlanggarnya hak-hak dasar korban lainya. Penyiksaan atau ill-treatment juga berdampak pada kehidupan sosial dan perekonomian dari korban beserta keluarganya. Terjadi siklus perlakuan buruk khususnya dalam kasus perlakuan buruk yang berakar pada adat. Normalisasi terhadap perlakuan buruk oleh masyarakat ikut melanggengkan penyiksaan dan perlakuan buruk tersebut. Dalam kasus perlakuan buruk berakar pada adat, pemahaman masyarakat tersebut juga menjadi hambatan untuk menghapuskannya. DKU wilayah Tengah juga mencatat hambatan maupun permasalahan struktural yang dialami oleh korban dugaan penyiksaan atau ill-treatment, yang mencakup hambatan kelembagaan, hambatan tradisi budaya dan agama, problem regulasi, dan kemikinan.
DKU wilayah tengah merekomendasikan di antaranya:
a. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum (kepolisian, militer, lapas) dalam penafsiran, penerapan, dan penggunaan pasal-pasal berkaitan dengan narkotika, implementasi HAM dalam setiap aktivitas dalam menjalankan tugas;
b. Mendorong penegakan hukum terhadap pelaku penyiksaan, yang plaksanaannya diawasi, serta melakukan evaluasi berkala kondisi lapas di seluruh Indonesia;
c. Pembuatan kebijakan pembinaan dan perlindungan hak-hak warga binaan sesuai dengan identitas gender di Rutan dan Lapas.
d. Mendorong penguatan sosialisasi mengenai urgensi penghentian praktik P2GP dan melakukan pengawasan terhadap lembaga kesehatan untuk menghentikan praktik (P2GP) dan memberikan layanan psikologis terhadap anak dari pemulihan pasca penyunatan, termasuk pemulihan terhadap ibu/korban P2GP;
e. Mendorong adanya kebijakan dan langkah terukur untuk memastikan penghapusan praktik penghambaan, termasuk memastikan akses pendidikan dan pengembangan kemandirian ekonomi bagi warga yang rentang eksploitasia dan kekerasan;
f. Mendorong peningkatan kapasitas APH untuk penanganan kasus kekerasan seksual yang berperspektif korban;
g. Kerjasama berbagai pihak terkait dalam melakukan pencegahan dan penanganan TPPO;
h. Membangun perspektif inklusi (turunan prinsip Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas) dalam melakukan pengobatan dan pemulihan terhadap ODGJ.
Komisioner Inkuiri DKU Wilayah Tengah
1. Andy Yentriyani (Komnas Perempuan)
2. Rainy Hutabarat (Komnas Perempuan)
3. Anis Hidayah (Komnas HAM)
4. Sylvana Apituley (KPAI)
5. J. Widijantoro (ORI)
6. Jemsly Hutabarat (ORI)
7. Jonna Aman Damanik (KND)