Pembatasan Layanan Pasien BPJS Kesehatan Diskriminatif
JAKARTA, KOMPAS - Ombudsman RI menerima banyak pengaduan terkait praktik pembatasan layanan pasien peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan di sejumlah fasilitas kesehatan. Praktik ini dinilai diskriminatif sehingga perlu diawasi lebih ketat.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, pelayanan kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga untuk mendapat perlindungan dari negara. Akan tetapi, diskriminasi pelayanan kesehatan masih terus terjadi.
Menurut Robert, dalam pelayanan di fasilitas kesehatan (faskes), pasien dengan pembiayaan sendiri dan asuransi cenderung lebih diutamakan. "Sementara pasien (pengguna) BPJS Kesehatan selalu dianaktirikan. Perlu pembenahan sistemik ke depan," ujarnya dalam diskusi "Rupa-rupa Masalah Kuota Layanan BPJS Kesehatan", di Jakarta, Selasa (28/2/2023).
Kementerian Kesehatan, manajemen BPJS Kesehatan, dan Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) didorong lebih intensif mengawasi layanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL). Selain itu, juga diperlukan sanksi tegas terhadap pelanggaran komitmen kerja sama.
"Jika ada pelanggaran serius, harus ditindak supaya ada efek jera atas praktik berulang di masa depan," ucapnya.
Ombudsman RI meyakini, Kemenkes dan manajemen BPJS Kesehatan tidak mengatur pembatasan kuota layanan tersebut. Namun, banyaknya pengaduan mengenai hal itu menunjukkan praktik tersebut terjadi masif di lapangan.
Pembatasan tersebut meliputi pembatasan durasi, jenis, dan kualitas pelayanan. Hal ini menjadi salah satu tantangan besar dalam mewujudkan cita-cita cakupan kesehatan semesta.
"BPJS Kesehatan tidak boleh lepas tangan dari masalah yang dihadapi masyarakat hanya karena klaim tidak pernah mengatur itu (pembatasan). Jadi, harus tanggung jawab. Ini lebih besar dari sekadar pembiayaan, tetapi hak warga mengenai jaminan kesehatan," ujarnya.
Masyarakat juga perlu mendapat jaminan keterbukaan informasi secara utuh, seperti kapasitas layanan faskes, dokter yang melayani, dan proses rujukan pasien. Warga diminta tidak ragu melaporkan jika menemukan ketidaksesuaian pelayanan.
"Standar pelayanan masih menjadi PR (pekerjaan rumah) serius pemerintah. Hak publik atas transparansi informasi harus dibenahi," katanya.
Asisten Ombudsman RI Bellinda W Dewanty mengatakan, banyak masyarakat mengaku ditolak faskes karena terbatasnya kuota layanan peserta BPJS Kesehatan. Hal ini perlu ditelusuri untuk memastikan setiap faskes dapat melayani tanpa membeda-bedakan pasien.
"BPJS Kesehatan belum maksimal dalam menjalankan fungsi pengawasan. Harapannya bisa memastikan pengguna layanan BPJS Kesehatan tidak lagi ditolak oleh FKTP dan FKRTL," ujarnya.
Kementerian Kesehatan, manajemen BPJS Kesehatan, dan Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) didorong lebih intensif mengawasi layanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL). Selain itu, diperlukan sanksi tegas terhadap pelanggaran komitmen kerja sama.
Bellinda menuturkan, pengaduan masyarakat ke Ombudsman RI terkait pelayanan faskes meningkat. Jumlahnya mencapai 400 pengaduan pada 2022, naik dibandingkan setahun sebelumnya dengan 300-an pengaduan.
"Hal ini mencerminkan tanda tanya besar. Ada apa dengan sistem kesehatan di republik ini?" katanya.
Potensi malaadministrasi
Menurut Bellinda, terdapat sejumlah potensi malaadministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Tidak ada standardisasi atau regulasi yang mengatur bagaimana seharusnya rumah sakit melayani pasien pengguna BPJS Kesehatan setiap harinya. Begitu juga layanan pasien mandiri dan asuransi.
"Karena tidak ada standardisasi, manajemen rumah sakit menerapkan porsi supaya semua bisa terlayani. Namun, menurut kami, dalam pembagiannya butuh pengawasan lebih lanjut oleh Kemenkes dan dinas kesehatan," ucapnya.
Pemberlakuan kuota mengakibatkan diskriminasi pelayanan terhadap pasien BPJS Kesehatan. Penyebabnya, keterbatasan kemampuan dan kurangnya dokter, ketersediaan ruangan dan alat medis, serta adanya perbedaan pembiayaan bagi faskes.
"Ada bentuk malaadministrasi dalam pelayanan kesehatan. Ada pengabaian kewajiban hukum, tidak patut, diskriminatif, dan konflik kepentingan dalam pemberian kuota layanan bagi pasien BPJS Kesehatan," ujarnya.
Bellinda berharap Kemenkes, dinas kesehatan, BPRS, dan BPJS Kesehatan memastikan fungsi pengawasan berjalan utuh. Hal ini dilakukan dengan mengoptimalkan self asesmen sehingga tidak ada lagi penolakan pasien di rumah sakit.
Ombudsman RI mendorong penyusunan regulasi keterbukaan informasi publik dalam mengakses layanan kesehatan dan disosialisasikan secara masif. "Kami ingin agar disusun SOP (prosedur operasional standar) evaluasi pengelolaan pengaduan. Yang kami lihat sekadar pengaduan, tanpa dieskalasi, ditindaklanjuti, dan diselesaikan," katanya.
Analis Manajemen Mutu Layanan Fasilitas Kesehatan BPJS Kesehatan Triwidhi Hastuti Puspitasari mengatakan, pelayanan kepada masyarakat merupakan salah satu poin kesepakatan yang harus dilakukan oleh faskes. Jika terjadi penyimpangan, faskes dapat disanksi, mulai dari teguran lisan, tertulis, hingga pemutusan kerja sama.
"Untuk pencegahan, kami melakukan monitoring dan evaluasi dengan berbagai mekanisme, seperti supervisi yang melibatkan dinas kesehatan dan memberlakukan indikator-indikator kepatuhan," ujarnya.
Triwidhi menambahkan, pihaknya terus berupaya meningkatkan mutu layanan dengan berbagai inovasi. Beberapa di antaranya berupa antrean daring, display informasi jadwal operasi, simplifikasi layanan, dan validasi digital.
Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan Kemenkes Yuli Farianti mengatakan, fenomena pembatasan layanan oleh faskes disebabkan berbagai faktor, baik dari sisi regulasi maupun manajemen faskes. "Jika penolakan pasien didasarkan atas adanya kuota bagi pasien peserta BPJS Kesehatan, hal itu tidak dibenarkan dan dikategorikan sebagai perbuatan diskriminatif sehingga dapat dikenai sanksi administratif," ujarnya.
Menurut Yuli, praktik penolakan pasien peserta BPJS Kesehatan perlu ditelusuri lebih lanjut. Sebab, terdapat sejumlah faktor yang bisa memengaruhi penolakan, di antaranya, keterbatasan tenaga kesehatan dan kurang memadainya alat kesehatan.
"Jika menyangkut fraud, ada sanksi tertulis sampai pemutusan kontrak kerja sama dengan BPJS Kesehatan," ucapnya.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menuturkan, 700 pengaduan terkait layanan kesehatan ke Ombudsman RI pada 2021-2022 menunjukkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan sejumlah faskes. Padahal, hak memperoleh layanan kesehatan sudah dijamin konstitusi dalam Pasal 28 H Undang-Undang Dasar 1945.
"Semua masyarakat harus terlindungi. Tidak hanya pekerja formal, tetapi juga masyarakat miskin dan pekerja informal juga harus dapat jaminan," katanya.